Feature

Kokoda, Suku Nomaden Papua yang Mulai Berdaya

4 Mins read
Oleh: Muhammad Ridha Basri*

Ini kali pertama saya menikmati senja dari tengah laut lepas. Di kejauhan, matahari bergerak perlahan masuk ke perut bumi. Arak-arakan awan sesekali menghalangi pesona senja kemerah-merahan. Saya bersama tujuh lainnya sedang berada di atas bagan milik Kampung Warmon Kokoda.

Tim LP3M Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong beranggotakan Anang Trioso, Fathur, Andi, Yudi. Ada juga Syamsuddin, Daeng dan Maulana sebagai sawi. Indra dan saya ditugaskan meliput nominator Muhammadiyah Award 2019 di Indonesia Timur.

Setelah maghrib, kami turun ke lomboat yang diikat di bawah bagan. Bersiap kembali ke Kampung Warmon Kokoda, yang terletak di Distrik Mayamuk, Sorong, Papua Barat. Tidak mudah berjalan di atas rangka kayu yang mengitari bagan untuk mencapai lomboat yang terus bergerak-gerak diterpa angin dan arus air.

Bagan adalah semacam rumah perahu. Tempat menangkap ikan di laut yang menggunakan cadik untuk peletak jala yang dibenamkan, dilengkapi dengan beberapa lampu agar ikan datang mendekat.

Melalui bagan yang dikelola Badan Usaha Milik Desa, Kampung Warmon mulai berdaya. Hasil dari bagan ini dibagi menjadi tiga: sepertiga untuk biaya operasional, sepertiga untuk gaji sawi, dan sepertiga sebagai keuntungan yang masuk ke kas BUMDes. “Ke depan, kita berencana mengadakan Pasar Desa untuk penjualan hasil ikan dari bagan. Saya sudah lihat potensinya. Insyaallah ke depan kita adakan itu melalui dana Bumdes,” tutur Ari Syamsuddin Namugur (30 tahun), Kepala Kampung.

Lomboat mulai bergerak membelah laut menuju daratan. Terpaan angin malam dan percikan air membuat suasana begitu meneduhkan. Menjelang bibir pantai, Daeng yang bertugas di bagian mesin perahu kayu ini mulai memelankan kecepatan. Di bagian depan, Daeng awas melihat sekeliling. Kiri-kanan diperiksa dengan seksama. Kami memasuki sungai yang masih terbilang lebar dan liar. Perlahan, lomboat dengan panjang 8 meter dan menggunakan mesin tempel berkapasitas 40 PK ini merangsek ke sungai rawa-rawa.

Baca Juga  Liberal Bersendi Sunah

Selubung hitam semakin pekat ketika kami masuk ke tengah hutan. Lebar sungai di sana sini menyempit. Daeng dengan cekatan mengangkat mesin ketika melewati kawasan yang dipenuhi sampah dahan kayu. Maulana yang berdiri di depan terus memberi aba-aba.

Berulang kali terdengar kata: awas kepala! Belok kiri! Pelan! Angkat mesin! Mundur! Dua kru bagan (sawi) ini telah terbiasa. Tidak tampak raut kecemasan setiap tiba-tiba mesin lomboat mati karena kemasukan sampah, atau ketika ujung depan lomboat menabrak bakau.

Sementara itu, kami yang duduk di lambung perahu diminta menyalakan senter gawai. Semua senter diarahkan ke depan, kiri, dan kanan. Sawi tidak membawa senter karena kami berangkat siang dan berencana kembali di sore hari.

Ternyata, kami singgah terlebih dahulu ke Kampung Pulau Arar, salah satu binaan Unimuda Sorong dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah. Di antaranya pembinaan dan pendampingan budidaya rumput laut bagi kelompok mama-mama, tidak semua muslim.

Di kampung seluas 40 hektar di tengah laut ini, hanya terdapat empat sekolah. Satu SD Inpres Negeri, dan tiga sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah: TK ABA, SMP dan SMA Labschool Unimuda. Sekolah inilah yang berkonstribusi mencerdaskan 200-an Kepala Keluarga.

Kampung inilah yang dicanangkan mantan Bupati Sorong Stepanus Malak sebagai Kampung Percontohan Kerukunan Umat Beragama dan Suku di Papua Barat. Di kampung ini berbaur suku Moi, suku Biak-Numfor, dan lainnya. Di desa ini terdapat Masjid An-Nur dan Gereja Immanuel yang dibangun umat Islam.

Sembari menikmati perjalanan, sesekali saya bertanya tentang sesuatu yang asing. “Ini sungai Amazon Papua, mas,” kata Syamsuddin melihat saya dan Indra antusias bercampur cemas. Di beberapa tempat, kunang-kunang berseliweran. “Terakhir saya melihat kunang-kunang di masa kecil,” kata Indra yang asli Palembang dan kini menetap di Malang.

Baca Juga  Sektarianisme adalah Akar Terjadinya Krisis di Lebanon: Catatan Perjalanan dari Beirut

Lomboat terus melaju dan beberapa kali terguncang ketika menabrak pepohonan di kiri-kanan yang beragam jenis. Lomboat berbahan kayu ini cukup tahan menghadapi berbagai rintangan.

Setelah satu jam perjalanan, kami tiba di jembatan jalan kampung, tempat mobil Ford Everest 4WD milik Unimuda terparkir. Siang tadi, ada beberapa anak yang mandi di sungai pinggiran jalan berbatu ini. Airnya kuning kecoklatan dan berminyak. Kata salah satu warga, “Ini minyak bumi.”

Begitu kami keluar lomboat, hujan turun. Saya tak bisa membayangkan jika hujan menderas ketika kami masih di sungai. Tak ada persinggahan dan tempat berteduh, selain hutan.

Di mobil, sawi dan kepala kampung bercerita tentang sungai yang baru saja kami lewati. Ternyata, beberapa kali sempat ada buaya yang mendekat. “Selama kita tidak mengganggu, buaya tidak akan menyerang,” tutur Daeng.

Kata Maulana, “Ketika senter disorot, keliatan mata merah buaya, seperti mata kucing menyala ketika disorot lampu.” Buaya-buaya itu, kata Syamsuddin, bisa dipanggil dan diajak berkomunikasi dengan bahasa Suku Moi. Hidup di alam liar harus bisa saling menghargai.

Hujan semakin deras, beruntung mobil double gardan ini tangguh di semua medan. Sekitar tiga puluh menit, kami yang berdesakan di mobil, sampai di Kampung Warmon Kokoda, Distrik Mayamuk. Di kampung inilah, kaum nomaden yang dulu terusir oleh karena proyek pembangunan bandara Domine Eduard Osok itu kini menetap.

Mereka yang papa ini diadvokasi oleh Muhammadiyah dan Unimuda. Karena dedikasinya, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong yang 75 persen mahasiswanya non-Muslim ini, diganjar peringkat pertama perguruan tinggi berbasis kinerja pengabdian masyarakat di empat provinsi di Indonesia Timur.

Menurut ketua LP3M Unimuda Anang Trioso, dulunya banyak tanah di Sorong dikuasai suku Moi. “Suku Moi merupakan suku asli Papua pemilik tanah se-Sorong Raya, tipikal suku yang halus dan menerima orang luar. Tahun 1983, Soeharto mengadakan transmigrasi ke Papua. Tanah-tanah Suku Moi banyak diambil negara untuk dibagikan ke warga pendatang.” Beberapa suku di Papua yang berjumlah keseluruhan sekitar 360 suku itu terbiasa berpindah-pindah.

Baca Juga  Empat Argumen Historis Aisyiyah, Gerakan Perempuan Islam Modernis

Jalil, salah satu warga bercerita tentang masa-masa ketika mereka sering terusir di tanah Papua. “Dulu, banyak orang Kokoda dipersepsikan sebagai kambing, yang mencari rumput dan dipindah atau diusir kapan saja. Biasanya kita ditaruh di suatu tempat, lalu tempat itu kita bersihkan dan mulai bangun kehidupan, tempat itu diambil alih pemerintah, lalu kita dipindahkan lagi ke tempat lain.”

Di sisi lain, suku Papua asli ini jarang memiliki kelengkapan legalitas. Mereka bahkan tidak punya Akte Kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk.

Suku Kokoda mulai berdatangan ke tanah yang kini menjadi kampung Warmon pada tahun 2000-an. “Awalnya, kami datang ke sini untuk cari makan. Tebang sagu, manggul sagu, kami perjualbelikan ke pasar. Kami asalnya tinggal di Rufei. Karena pembangunan kota, kami digusur dan disuruh untuk cari tempat lain,” ujar Syamsuddin.

Tahun 2006, pihak Unimuda datang ke kampung yang dulunya masih rawa-rawa. Juga sering banjir dan masih menjadi bagian RT 06 Kelurahan Makbusun.(Bersambung)

*) Wartawan Suara Muhammadiyah

Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *