Tarikh

‘Aisyiyah, Potret yang Berubah

5 Mins read

‘Aisyiyah Berubah | Ada lima ciri khas Gerakan ‘Aisyiyah saat ini, sebagaimana ditegaskan Haedar Nashir dalam “Lima Karakter Gerakan ‘Aisyiyah” (2017): (1) Gerakan Islam Berkemajuan, (2) Gerakan Perempuan Berkemajuan, (3) Gerakan Berbasis Komunitas Akar Rumput, (4) Gerakan Praksis Amal-Usaha, dan (5) Gerakan Berwawasan Kebangsaan dan Kemanusiaan Universal.

Dinamika zaman—apalagi usia Gerakan ‘Aisyiyah telah berhasil melintasi seabad—telah memekarkan nilai-nilai dan mengokohkan pondasi gerakan yang semula (pada mada masa KH. Ahmad Dahlan) hanya satu nilai, kemudian berkembang menjadi tiga nilai (congress Muhammadiyah ke-11), dan kini makin kokoh dengan lima nilai dasar yang menjadi identitas gerakan.

Zaman berubah dan para aktor penggerak ‘Aisyiyah pun silih berganti. Perubahan tidak dapat dipungkiri. Namun, dalam setiap perubahan selalu ada sesuatu yang dipertahankan, dipegang erat-erat supaya tidak tergerus zaman, diyakini sebagai sesuatu yang memberi warna pada sebuah organisasi. Dan sesuatu tersebut adalah nilai yang menjadi identitas sebuah organisasi.

Begitu pula perubahan identitas gerakan ‘Aisyiyah yang semula satu nilai: memperbaiki praktik agama Islam bagi kaum perempuan. Lalu berkembang pasca wafat KH. Ahmad Dahlan menjadi tiga nilai: (1) gerakan menutup aurat dengan kerudung, (2) pendidikan kaum remaja putri, dan (3) memperbaiki praktik agama Islam bagi kaum perempuan.             

Cerita tentang Moeshalla ‘Aisjijah

Berawal dari sebuah narasi kecil yang disusun oleh Siti Badilah Zuber (1940), “Tarich Moehammadijah dan ‘Aisjijah.” Kesaksian salah seorang santriwati KH. Ahmad Dahlan ini mengisahkan motif pendirian Moeshalla ‘Aisjijah.

Diceritakan bahwa setelah anggota-anggota Aisyiyah pada masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan terus bertambah, maka terbersit dalam pikiran sang kiai modernis ini untuk menyediakan gedung khusus bagi kaum perempuan.

Namun bukan kantor ataupun sekretariat yang dipersiapkan untuk pertama kalinya. Justru, sang kiai berinisiatif mendirikan Moeshalla atau Masjid yang secara khusus didirikan untuk kaum perempuan. Suatu gagasan langka dan baru pertama kalinya di tanah air pada waktu itu.

***

“Sesoedah ‘Aisjijah mempoenjai beberapa sekoetoe, maka timboellah tjita-tjita K.H. Ahmad Dahlan akan mengadakan gebouw jang choesoes bagi kaoem perempoean. Oleh karena beliau selaloe memfikirkan bahwa kebanjakan kaoem isteri itoe koerang paham tentang sjarat dan roekoen woedloe dan sembahjang, maka dari pendapatan beliau, gebouw jang pantas didirikan terlebih dahoeloe jaitoe, “Moeshalla dimana boekan hanja kaoem ‘Aisjijah sahadja, tetapi orang jang sama sekali beloem kenal kepada Toehan Allah, poen sama soeka diadjak mendatangi moeshalla itoe…” (hal. 40).

Baca Juga  Ternyata Sufi Berperan dalam Pendirian Kerajaan Ottoman

Perihal bagaimana proses penyelesaian bangunan Moeshalla ‘Aisjijah dan berapa anggaran yang telah dikeluarkan serta proses peresmian pada 1923 oleh Hoofdbestuur Muhammadijah bahagian Jajasan telah saya ulas secara detail dalam buku Covering ‘Aisyiyah (2020).

Bukan kantor ataupun sekretariat, tetapi Mushalla atau Masjid yang menjadi syarat terbentuknya organisasi ‘Aisyiyah. Hal ini menarik karena pandangan K.H. Ahmad Dahlan yang visioner tidak bisa lepas dari nilai dasar agama Islam. Bahwa untuk memulai gerakan yang lebih besar dan luas jangkauannya, yang pertama kali disiapkan adalah memperbaiki pemahaman dan praktik keagamaan bagi para calon penggerak ‘Aisyiyah ke depan. Maka simbol yang dibangun pertama kali bukan sarana infrastruktur yang hanya mengurusi administrasi organisasi, juga bukan logo atau label organisasi ‘Aisyiyah, tetapi kepribadian Muslimah yang ditempa paham dan praktik keagamaannya di Mushalla ‘Aisyiyah Kauman. Inilah Masjid Perempuan pertama di Indonesia. 

Tiga Identitas Gerakan ‘Aisyiyah

Zaman terus berubah. Pada 23 Februari 1923, sosok “Kiai Modernis dari Kampung Kauman” (K.H. Ahmad Dahlan) wafat. Tetapi satu hal yang wajib dicatat di sini bahwa “Ummat Muhammadiyah” bukanlah “Dahlanian.” Paham keagamaan modernis Muhammadiyah bukanlah “Dahlanisme.” Tidak seperti lembaga Pendidikan Islam tradisional pada umumnya, sekalipun sosok pendiri Muhammadiyah telah wafat, tetapi roda organisasi tetap berputar. Sebab, Muhammadiyah tumbuh dan berkembang bukan atas dasar kepemimpinan kharismatik layaknya para kiai di pondok pesantren tradisional pada waktu itu.

Pun demikian halnya ‘Aisyiyah. Ketika zaman terus berubah dan organisasi telah melebarkan sayapnya, nilai dasar yang menjadi identitas ‘Aisyiyah pun mengalami perkembangan. Tidak lagi sebatas memperbaiki paham dan praktik keagamaan bagi kaum perempuan, tetapi di Mushalla ‘Aisyiyah itulah bergumul ide-ide besar yang nantinya mengokohkan gerakan.

Di Mushalla ‘Aisyiyah tersebut, para aktor penggerak ‘Aisyiyah dan kader-kadernya (Nasyi’ah) merancang gerakan sehingga pada congress Muhammadiyah ke-11, seiring dengan keputusan congress yang mengharuskan pendirian cabang ‘Aisyiyah pada setiap cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh tanah air. Maka pada waktu itu, ciri khas gerakan ‘Aisyiyah tidak lagi sebatas gerakan kaum perempuan yang belajar dan praktik agama Islam semata.

Badilah Zuber mencatat bahwa identitas gerakan ‘Aisyiyah sejak 1923 sebagai berikut: (1) “penotoepan aoerat dengan kerapiannja (memakai koedoeng kepala), mendjaoehi vrij omgang, menetapi adat sopan Keislaman,” (2) “gembiranja anak-anak perempoean menoentoet pengetahoean, adanja madrasah oentoek kaoem iboe, serta gerakan anak-anak perempoen dan gadis,” (3) “berdirinja moeshalla (langar, soerau, dan masdjid) oentoek iboe, dimana moelanja kaoem iboe ditjoekoepkan sembahjang di sisi masdjid dan langgar, sekarang ini mengadakan tempatnja sendiri” (hal. 41).

Baca Juga  Kisah Wujil dan Sunan Wahdat (1): Menghadap
***

Perubahan zaman tidak dapat dipungkiri dan proses pembinaan kader-kader ‘Aisyiyah telah membuahkan hasil. Tidak cukup gerakan ‘Aisyiyah hanya sebatas memperbaiki paham dan praktik ibadah semata, tetapi organisasi ini telah merintis tradisi baru lewat gerakan berkerudung/menutup aurat (salah satu warisannya berupa songket Kauman/kudung ‘Aisyiyah), pendirian lembaga pendidikan bagi anak-anak (Bustanul Athfal), remaja putri, dan kaum ibu, serta mempertahankan tradisi mendirikan mushalla/masjid untuk perempuan di mana terdapat struktur kepengurusan ‘Aisyiyah berada.

Identitas gerakan ‘Aisyiyah pun berubah, beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. Saya sendiri yakin, Kiai Dahlan ketika berinisiatif mendidik kaum perempuan—cikal bakal para aktor ‘Aisyiyah—tidak sempat membayangkan jika nantinya perkembangan ‘Aisyiyah begitu pesatnya sampai-sampai memiliki ribuan amal usaha bidang pendidikan, kesehatan, panti asuhan, dan berbagai lembaga pendampingan masyarakat dhu’afa lainnya. 

Yang Tetap dan Yang Berubah dari ‘Aisyiyah

‘Aisyiyah kini memang telah berubah. Maksud saya, identitas ‘Aisyiyah seperti yang inisiasi K.H. Ahmad Dahlan pertama kalinya, sudah berubah saat ini. Dan perubahan tersebut adalah konsekuensi logis dari proses sejarah yang telah berhasil dilalui oleh organisasi perempuan Islam yang mungkin dapat ditempatkan sebagai “yang terbesar di dunia” ini.

Namun derap langkah perubahan suatu gerakan tidak semata-mata pragmatis dalam arti “hanya sekedar berubah” atau mengalir apa adanya. Dalam setiap perubahan terdapat proses dialektika historis yang melibatkan ide-ide besar yang digerakkan oleh para aktor-aktor handal. Karena sangat tidak mungkin ‘Aisyiyah yang telah mewujud menjadi gerakan perempuan Islam yang besar hanya digerakkan dengan ide-ide kecil dan para aktor pinggiran.

Di balik perubahan besar identitas ‘Aisyiyah, kita semua dapat menelisik nilai-nilai yang dianggap masih tetap namun mengalami pergeseran atau lebih tepatnya mengalami perluasan makna. Nilai-nilai tersebut menjadi pondasi atau landasan filosofi yang mempertahankan gerakan ‘Aisyiyah sehingga mampu mengatasi dinamika zaman lebih dari seabad.

Jika Haedar Nashir menelisik 5 (lima) identitas ‘Aisyiyah saat ini, maka kelima nilai tersebut tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang telah dipancangkan oleh K.H. Ahmad Dahlan pertama kalinya. Kemudian berkembang seiring dengan kematangan organisasi dan ketersediaan kader-kader penerus organisasi ini.

Nilai paham dan praktik Agama Islam kaum perempuan yang dipancangkan oleh K.H. Ahmad Dahlan telah mengalami perluasan makna setelah melintasi zaman sehingga melahirkan kader-kader Muslimah yang mumpuni dalam bidang agama (lahir muballigh-muballigh ‘Aisyiyah) dan melahirkan praktik perilaku sopan dengan menggunakan kerudung ‘Aisyiyah (songket Kauman).

Baca Juga  Sastra Pers dan Gerakan Islam di Era Kebangkitan Nasional

Dari sinilah tampaknya geneologi ‘Aisyiyah ketika kini menjelma menjadi gerakan Gerakan Islam Berkemajuan dan sekaligus Gerakan Perempuan Berkemajuan. Sedangkan lahirnya kader-kader muballigh ‘Aisyiyah dan gagasan pendirian lembaga pendidikan anak dan kaum perempuan telah mengawali identitas gerakan ‘Aisyiyah sebagai Gerakan Praksis-Amal Usaha.

***

Keputusan congress Muhammadiyah ke-11 yang mewajibkan pendirian cabang atau ranting ‘Aisyiyah di mana terdapat struktur kepengurusan Muhammadiyah tampaknya masih menyambung dengan identitas ‘Aisyiyah sebagai gerakan Berbasis Komunitas Akar Rumput saat ini.

Identitas terakhir, yaitu ‘Aisyiyah sebaga Gerakan Berwawasan Kebangsaan dan Kemanusiaan Universal, oleh sebagian peneliti atau pengkaji ‘Aisyiyah yang saya ketahui, memang dinilai terlalu jauh. Bahkan tidak hanya ‘Aisyiyah, organisasi payungnya sendiri, yaitu Muhammadiyah, juga masih banyak menyangsikan peran-peran kebangsaan Muhammadiyah.

Di sinilah saya sering mengeluh, seandainya para peneliti memiliki akses yang gampang untuk mempelajari dokumen-dokumen sejarah Muhammadiyah, saya kira kita tidak akan terlalu repot menjelaskan peran-peran kebangsaan Muhammadiyah.

Latar belakang berdirinya Muhammadiyah dan dinamika perkembangannya sangat sarat dengan muatan wawasan kebangsaan, bahkan andil Muhammadiyah secara organisatoris maupun lewat peran para kader dan pimpinannya, sangat menentukan dalam proses mewujudkan Indonesia merdeka.

Sedangkan dalih paling mudah untuk menunjukkan peran kemanusiaan universal Muhammadiyah dapat dilihat dari praktik pendirian amal usaha, baik di bidang Kesehatan, Pendidikan, pelayanan sosial, dan lain-lain, kesemuanya itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai kemanusiaan universal yang sudah mandarah-daging di kalangan para kader dan pimpinan Muhammadiyah.

Dalam konteks ini, level Muhammadiyah sudah di tingkatan praktik, bukan lagi sebatas jargon yang biasanya dikoar-koarkan oleh ormas lain.

Di hari yang bersejarah ini, ‘Aisyiyah merayakan 106 tahun usianya. Sebuah bilangan usia yang cukup matang—untuk tidak menyebut tua—dalam sejarah dan dinamika gerakan perempuan di tanah air. Dan dalam rentang 106 tahun tersebut, perubahan demi perubahan telah terjadi, para aktornya pun silih berganti, begitu juga perluasan makna identitas gerakan yang mengiringi dinamika organisasi ‘Aisyiyah selama ini. Wajar jika potret ‘Aisyiyah pada masa-masa awal berdiri sangat jauh berbeda dengan wajah ‘Aisyiyah saat ini.

*) Pengkaji Sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *