Perspektif

Sunan Kalijaga dan “Lingsir Wengi” yang Disalahartikan

3 Mins read

Mendengar kata Lingsir Wengi pasti yang akan terlintas dalam benak pikiran masyarakat adalah sebuah hal-hal berbau horor dan mistis. Awal mula kesalahpahaman mengenai makna tembang Lingsir Wengi ini didasari pada film Kuntilanak. Dalam film tersebut tembang Lingsir Wengi dilantunkan dengan pelan dan dengan nada yang membuat siapa saja yang mendengarkannya akan merinding bulukuduk dan bergidik membatu ketika mendengarnya.

Tembang Lingsir Wengi dan Sunan Kalijaga

Lingsir Wengi  (Saat menjelang tengah malam) merupakan salah satu lagu gending jawa yang menggunakan tembang macapat. Tembang macapat terdiri dari 11 pakem yang salah satunya adalah pakem durma yang dipakai dalam tembang macapat ini. Pakem durma yang dipakai membuat tembang Lingsir Wengi dilantunkan dengan tempo yang pelan, masuk melalui perasaan yang lembut dan dengan pembawaannya yang menyayat hati pendengarnya.

Lingsir Wengi dilantunkan oleh Sunan Kalijaga setelah melaksanakan sholat malam sebagai ganti wirid sebagai sebuah ungkapan rasa cinta seorang hamba kepada Sang Pencipta.  Dalam tembang ini menggambarkan rasa rindu seorang pecinta yang sedang jatuh cinta hingga tidak bisa tidur karena merindukan kekasih yang diridukannya. Tembang yang diciptakan Sunan Kalijaga ini, memiliki makna tersirat tentang ajaran makrifat dalam tasawuf agama Islam.

Sunan Kalijaga merupakan pencipta dari tembang Lingsir Wengi. Raden Said atau nama kecil dari Sunan Kalijaga, lahir sekitar tahun 1450 dan wafat pada sekitar tahun 1590 dengan usia 140 tahun. Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan secara kultural melalui Budaya Jawa.

Lingsir Wengi berbasis komunikasi budaya dengan sifat persuasif kepada masyarakat untuk menelaah makna cinta kepada Sang Pencipta secara lebih mendalam melalui dimensi spiritual.

Baca Juga  Sunan Bonang: Sikap Keras Kurang Efektif dalam Dakwah

Hubungan antara Sunan Kalijaga dengan masyarakat Jawa sangat erat. Sunan Kalijaga mendapat julukan Guru Suci ing Tanah Jawi (guru suci di Tanah Jawa). Dalam menyebarkan agama Islam, sebagaimana dakwah para Wali Sanga yang mengedepankan dakwah dengan penuh hikmah dan bijaksana. Sunan Kalijaga merealisasikan prinsip dakwah melalui prinsip jawa, yakni momong, momor, momot (mengasuh, bergaul dan melebur).

Dalam menyampaikan ajaran Islam, Sunan Kalijaga senantiasa mengarahkan dan membimbing umat, namun tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang lebih tinggi daripada umat. Melainkan dengan bergaul dan nyawiji, yaknimelebur dan menyatu dengan umat.

Peyorasi Makna Lingsir Wengi dalam Masyarakat

Tembang Lingsir Wengi memiliki versi lain ataupun nama lain yakni “Kidung Rumekso ing wengi” (ikhlas tengah malam).

Berikut lampiran syair dalam tembang Lingsir Wengi beserta Artinya:

Lingsir Wengi

Lingsir wengi

Saat menjelang tengah malam

Sepi durung biso nendro

Sepi tidak bisa tidur

Kagodho mring wewayang

Tergoda bayanganmu

Kang ngreridhu ati

Di dalam hatiku

Kawitane

Permulaannya

Mung sembrono njur kulino

Hanya bercanda kemudian biasa

Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno

Tidak mengira akan jadi cinta

Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi

Kalau sudah saatnya akan terjadi pada diriku

Nandang bronto

Menderita kasmaran/jatuh cinta

Kadung loro

Telanjur sakit

Sambat-sambat sopo

Aku harus mengeluh kepada siapa

Rino wengi

Siang dan malam

Sing tak puji ojo lali

Yang kupuja jangan lupakan

Janjine mugo biso tak ugemi

Janjinya kuharap tak diingkari

Lingsir Wengi Wujud Cinta pada Pencipta

Dengan mengacu kepada artinya saja tanpa perlu penafsiran yang lebih mendalam, syair dalam tembang Lingsir Wengi tidak ada yang mengarah kepada konotasi yang negatif, malah syair dalam tembang Lingsir Wengi karya Sunan Kalijaga menyiratkan doa dan wirid untuk menjaga diri dari hal yang negatif.

Baca Juga  Dakwah Kebudayaan ala Sunan Kalijaga yang Harus Kita Contoh

Persepsi negatif seolah tak terlepas dari tembang Lingsir Wengi. Stigmaseperti ini sudah melekat pada masyarakat. Hal ini memberikan suatu pemahaman minor bahwa tembang Lingsir Wengi adalah tembang untuk memanggil mahluk astral.

Pemikiran ini berkembang tidak lepas dari peran masyarakat yang mengkonformitaskan Lingsir Wengi sebagai sebuah metode pemanggilan mahluk astral. Pandangan seperti ini tidak didasari dengan pemahaman dan analisa mendalam karena hanya bersifat apriori semata.

Masyarakat yang beranggapan bahwa tembang Lingsir Wengi adalah sarana dalam prosesi pemanggilan mahluk astral karena terframing ketika tembang ini muncul dalam film horror Kuntilanak dan menjadi backsound dalam film tersebut. Film Kuntilanak menjadikan persepsi tentang tembang Lingsir Wengi ini semakin negatif sehingga keluar dari makna sesungguhnya pada awal penciptaan tembang oleh Sunan Kalijaga.

Namun lambat laun seiring berkembangnya zaman terdapat perubahan fungsi dan makna dari tembang Lingsir Wengi. Perubahan ini sangat bertolak belakang dengan pemaknaan yang dibuat Sunan Kalijaga bila dikontekstualkan pada masa sekarang.

Seakan bila mendengar penyebutan ataupun tembang Lingsir Wengi bukan lagi sebagai sarana ungkapan rasa cinta dari seorang hamba kepada sang pencipta melainkan menjadi sebagai sarana pemanggilan makhluk astral yang kental dengan unsur mistisnya.

Editor: RF Wuland

Avatar
6 posts

About author
Seorang santri yang sedang nyantri di Unpad Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Ilmu Sejarah dan bercita-cita ingin melanjutkan program studinya di Turki
Articles
Related posts
Perspektif

Bulan Puasa dan Gairah Kepedulian Sosial Kita

3 Mins read
Tidak terasa kita telah berada di bulan puasa, bulan yang menurut kepercayaan umat Islam adalah bulan penuh rahmat. Bulan yang memiliki banyak…
Perspektif

Hisab ma’a al-Jami’iyyin: Tanggung Jawab Akademisi Muslim Menurut Al-Faruqi

4 Mins read
Prof. Dr. Ismail Raji Al-Faruqi merupakan guru besar studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Beliau dikenal sebagai cendekiawan muslim dengan ide-idenya…
Perspektif

Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

2 Mins read
Menghadap kiblat merupakan salah satu sarat sah salat. Tentu, hal ini berlaku dalam keadaan normal. Karena terdapat keadaan di mana menghadap kiblat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *