Perspektif

Menjadi Peace Millenialis di Era Post Truth

3 Mins read

Dulu di zaman imperialisme, kita dihadapkan pada masa di mana kita harus berperang melawan subjek nyata. Merebut kebebasan individu atau pun negara dengan mengangkat bambu runcing melawan tank-tank penjajah. Perlawanan ini nyata, bisa dilihat, dan bisa diraba. Sehingga wajar jika pertumpahan darah secara langsung bisa dirasakan.

Sekarang, imperialisme sudah berlalu dari masanya. Sudah jadi romantisme masa lalu akan perlawanan nyata. Namun, produk dari imperialisme masih ada, yaitu komputer. Komputer saat itu diciptakan dengan tujuan awal memperkuat pertahanan menggunakan pengetahuan menghasilkan teknologi di era Perang Dunia II. Komputer saat ini sudah berubah menjadi sebuah kebutuhan daily activity. Berrevolusi dengan adanya internet yang saling berkoneksi antar sesama. Globalisasi terwujud. Manusia tidak bisa melawan atau pun melarang, menjadi tatanan baru dunia.

Berkembang pesatnya teknologi, manusia pun ikut bergerak. Hampir setiap orang memiliki gadget di genggaman.Data dari We Are Social 2017 Digital In Indonesia, total populasi saat itu 259,1 juta penduduk, namun Mobile Connection mencapai 326,3 Juta. Artinya, ada beberapa orang di Indonesia yang memiliki lebih dari 1 gadget di tangannya.

Globalisasi sudah berrevolusi lagi. Di mana untuk dapat berkomunikasi dengan sesama dapat dilakukan di manapun tanpa memandang jarak. Dengan adanya gadget dan internet muncullah berbagai social network dan Chat App baru, layaknya jamur di musim hujan. Dari data yang sama, ada 15% orang Indonesia menggunakan Facebook sebagai social network, dan 14 % menggunnakan Whatsapp sebagai messenger/Chat App. Sekitar 15% pengguna facebook ini artinya bahwa, ada 79 Juta penduduk indonesia yang aktif ber-social network.

Dari sumber yang sama pula, 44% didominasi oleh pemuda usia 20-29 tahun. Artinya bahwa hampir 50% milenialis Indonesia menggunakan social network dan chat app sebagai daily activity-nya. Ada anekdot yang populer sekarang. Jika orang dulu mengenal istilah kebutuhan manusia itu ada tiga, yaitu: sandang (pakaian), pangan (konsumsi), dan papan (tempat tinggal). Sekarang sudah bertambah menjadi empat,  yaitu: sandang (pakaian), pangan (konsumsi), papan (tempat tinggal), dan paketan (kuota internet).

Baca Juga  Viral Lalu Minta Maaf, Tradisi Barukah?

Saat ini, siapa pun berhak untuk mengutarakan pikirannya di jejaring sosial media yang mereka miliki. Orang yang punya niat baik dan buruk memiliki hak yang sama di era ini. Buzzer yang hanya bermodalkan fake akun pun sekarang bisa jadi pekerjaan yang menggiurkan. Apapun dilakukan demi atasan dan pemodal.

Apalagi di Indonesia pada tahun-tahun politik. Tahun 2019 misalnya, Indonesia telah mengadakan hajatan demokrasi besar. Munculny istilah “Cebong” dan “Kampret” sudah bukan hal yang aneh di dunia sosial media. Bisa jadi kita masuk di salah satunya tanpa tahu substansi aslinya. Bisa jadi kita dipermainkan oleh propaganda media.

Sekali lagi, kita tidak tahu, karena globalisasi dan sosial media bisa changing mindset – mengubah pola pikir seseorang. Di sinilah kita berada di era post truth. Siapa pun berhak bersuara, tinggal dominasi suara mana yang bisa jadi tranding topic di dunia maya. Hoax mana yang bisa mengalahkan hoax selain dia.

Pihak yang paling banyak mengkonsumsi ini adalah milenialis. Merekalah yang tiap menit menggunakan gadget untuk berinteraksi dan berkreasi. Milenialis mau memilih ikut atau pun punya kreasi sendiri. Sangat mungkin sebenarnya milenialis bisa menghegemoni sosial media dengan gaya mereka sendiri, gaya perdamaian milenial – Style Peace Millenial. Menyebarkan kreativitas pesan damai tanpa hoax dan permusuhan. Gerakan mereka nyata dan sangat mungkin mengalahkan para pemodal, karena milenialis mempunyai karakter kolaboratif, tak pragmatis. Mereka bisa saja men-share konten damai hasil kreativitas mereka tanpa ada tekanan dari pihak luar.

Ada dua hal sebenarnya yang harus dimiliki oleh seorang milenialis untuk menjadi peace millenialist. Pertama, kecerdasan. Kecerdasan ini tidak hanya berada pada titik akademis, tapi juga masuk ke spiritual dan sosial. Kecerdasan inilah nanti yang akan mendorong seorang milenial untuk mengubah keadaan sekitar. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “harus adil sejak dalam pikiran.” Kecerdasan inilah yang bisa menyebarkan pesan damai ke belahan dunia. Mereka akan ddil dan berfikir cerdas jika ada konten yang tersebar di dunia maya.

Baca Juga  Standar Kecantikan adalah Alat Diskriminasi Kapital

Kedua, karakter. Karakter inilah nanti yang jadi acuan moral dalam bergerak. Karakter terbentuk atas lingkungan sekitar dan pengetahuan. Karakter bisa juga berasal dari agama, budaya, maupun pengetahuan yang dimiliki oleh milenialis. Milenial harus memiliki Karakter yang bisa menunjukkan bahwa dia ada tanpa terpengaruh oleh pihak luar. Karakter yang berbudaya, yang menekankan perdamaian tanpa harus kekerasan.

Kecerdasan dan karakter inilah yang menjadikan seorang milenialis menjadi Peace Millenial, yang bisa mewarnai sosial media dan dunia dengan perdamaian.

Related posts
Perspektif

Secara Historis, Petani itu Orang Kaya: Membaca Ulang Zakat Pertanian

3 Mins read
Ketika membaca penjelasan Profesor Yusuf Al-Qaradawi (rahimahullah) tentang zakat profesi, saya menemukan satu hal menarik dari argumen beliau tentang wajibnya zakat profesi….
Perspektif

Apa Saja Tantangan Mengajarkan Studi Islam di Kampus?

4 Mins read
Salah satu yang menjadi persoalan kampus Islam dalam pengembangan kapasitas akademik mahasiswa ialah pada mata kuliah Islamic Studies. Pasalnya baik dosen maupun…
Perspektif

Bank Syariah Tak Sama dengan Bank Konvensional

3 Mins read
Di masyarakat umum, masih banyak yang beranggapan bahwa Bank Syari’ah tidak memiliki perbedaan nyata dengan Bank Konvensional. Mereka percaya bahwa perbedaan hanya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *