Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim dan muslimat. Jika kita merujuk kembali kepada sumber utama hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis, akan kita temui banyak perintah dan keutamaan bagi para penuntut ilmu.
Namun, tidak semua ilmu wajib untuk dipelajari. Karena dengan kapasitas otak manusia dan waktu yang terbatas, mustahil bagi kita untuk mempelajari semuanya. Oleh karena itu, kita perlu untuk memilih ilmu apa yang harus kita pelajari, dan kepada siapa kita akan belajar ilmu tersebut.
Dalam menuntut ilmu, kita perlu untuk memilih ilmu dan guru, agar tidak tercebur ke dalam pemahaman yang salah, kemudian menyesal. Lalu muncul pertanyaan, ilmu apakah yang mesti kita pelajari? Kepada siapakah kita harus berguru?
Oleh karenanya, Imam Az-Zarnuji, dalam kitabnya Ta’lim Al-Muta’allim, menuliskan pedoman yang dapat digunakan dalam memilih ilmu dan guru.
Memilih Ilmu
Wajib kita ketahui bahwa seorang muslim atau muslimah tidaklah wajib mempelajari semua ilmu, tetapi wajib mempelajari ilmu yang paling ia butuhkan saat itu.
Menurut Imam Az-Zarnuji, dalam menuntut ilmu kita harus mendahulukan ilmu tauhid, dan mengenali Allah dengan dalil-dalilnya. Sebab dengannya, keimanan seseorang menjadi sah dan tidak termasuk kepada golongan orang-orang yang muqallid (ikut-ikutan saja).
Kemudian, karena kita sebagai muslim memiliki kewajiban yang mesti dipenuhi, maka wajib pula bagi kita mempelajari ilmu yang dengannya kita dapat menjalankan kewajiban tersebut. Misal, adanya kewajiban untuk mendirikan salat, maka hukumnya wajib mempelajari ilmu tentang salat. Pendapat ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
الوَسِيْلَةُ لَهَا أَحْكَامُ المَقَاصِدِ
“Hukum suatu yang menjadi wasilah, tergantung pada tujuan-tujuannya”
Artinya, jika yang menjadi tujuan bersifat wajib, maka perantara (ilmu) untuk melaksanakannya juga menjadi wajib. Dalam hal melaksanakan ibadah, maka perlu ilmu fikih yang menjadi perantaranya.
Dengan demikian, seorang pedagang wajib mempelajari ilmu perdagangan, dan seorang dokter wajib mempelajari ilmu tentang kesehatan. Di sisi lain, kita juga perlu mempelajari ilmu dapat mencegah kita untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang haram.
Ada ilmu yang wajib dipelajari, karena setiap orang membutuhkannya dalam segala keadaan, ilmu yang seperti ini dianalogikan seperti makanan yang setiap orang pasti membutuhkannya (hukumnya fardhu ‘ain). Ada pula ilmu yang dibutuhkan pada keadaan tertentu, sehingga dianalogikan seperti obat yang hanya dibutuhkan pada saat-saat tertentu (hukumnya fardhu kifayah).
Ada pula ilmu yang mesti dihindari, seperti ilmu nujum (astrologi). Seharusnya, seorang yang berilmu, tidaklah lari dari qada dan qadar Allah SWT karena itu tidaklah mungkin. Kecuali ilmu “nujum” (astronomi) yang dengannya kita dapat mengetahui arah kiblat, dan waktu-waktu salat, maka hal tersebut tentu diperbolehkan.
Memilih Guru
Guru menjadi sosok penting yang menjadi perantara bagi kita untuk menimba ilmu. Hendaknya menuntut ilmu, kita tidak sembarangan dalam memilih guru. Lalu bagaimanakah kriteria guru yang harus kita pilih?
Adapun dalam memilih guru, hendaknya seorang penuntut ilmu memilih guru yang paling berilmu, paling wara’, dan paling tua. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah ketika beliau memilih Hammad bin Sulaiman setelah merenung dan memikirkannya. Beliau pun berkata, “Aku mendapatinya (Hammad) sudah tua, berwibawa, murah hati, dan penyabar.”
Sebagaimana yang dilakukan Imam Abu Hanifah, seorang penuntut ilmu haruslah memikirkan matang-matang dan mempertimbangkan baik serta buruknya, sebelum ia memilih seseorang untuk dijadikan sebagai guru.
Ia juga perlu meminta pendapat orang lain dan bermusyawarah sebelum mengambil keputusannya. Sebagaimana Rasulullah SAW yang selalu bermusyawarah dalam setiap kebijakan yang beliau ambil, padahal tidak ada orang yang melebihi kecerdasan beliau. Oleh karenanya, Imam Ali r.a., pernah berkata:
مَا هَلَكَ امْرُءٌ عَنْ مَشُوْرَةٍ
“Seseorang tidak akan celaka karena bermusyawarah.”
Mengapa kita perlu bermusyawarah sebelum menuntut ilmu dan memilih guru? Karena ia merupakan perkara yang paling tinggi dan paling sulit, sehingga memusyawarahkan persoalan ini menjadi sangat penting dan wajib.
Keputusan yang terburu-buru dalam memilih guru, ditakutkan akan membuat kita mudah berpaling dan kemudian meninggalkannya. Semua itu dapat membuyarkan urusan-urusan, menyusahkan hati, membuang-buang waktu, dan menyakiti hati mu’allim (guru), yang menyebabkan hilangnya berkah dari menuntut ilmu.
Di sisi lain, dalam memilih guru perlu untuk memperhatikan ajaran yang ia bawa. Guru yang salah, akan membawa kita ke jurang kesesatan, yang menyebabkan munculnya radikalisme, fanatisme buta, dan kerusakan lainnya. Oleh karena itu, ajaran yang ia bawa harus sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan tidak menyelisihi mayoritas ulama.
Bagaimana Sikap Kita Seharusnya?
Seyogyanya, setiap kita tidak lalai terhadap dirinya sendiri, dan hendaknya melakukan yang terbaik dengan mengambil apa yang bermanfaat dan menjauhi apa yang berbahaya baginya. Agar ilmu, akal, dan amalnya tidak menjadi bumerang yang menghancurkan diri sendiri.
Kita semua sudah sama-sama tahu, bahwa dengan ilmu, manusia menjadi istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Dengan ilmu, Allah tunjukkan kemuliaan Nabi Adam a.s. di atas para malaikat.
Melalui ilmu dan guru yang tepat, kita akan menjadi mulia, karena ilmu yang menjadi wasilah kepada kebaikan dan ketakwaan. Dengannya, seseorang mendapatkan kemuliaan di sisi Allah dan kebahagiaan yang abadi.
Wallahu a’lam bisshawab
Editor: Lely N