Perspektif

Pentingnya Politik Tengahan dalam Hubungan Internasional Indonesia

5 Mins read

Beberapa waktu lalu narasi Islam tengah semakin populer terdengar di publik. Narasi ini digagas kembali oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Dr (HC) Zulkifli Hasan (Zulhas) melalui pidato kebudayaan yang berjudul “Indonesia Butuh Islam Tengah” dalam kegiatan Zulhas Award di Perpustakaan Nasional Indonesia tanggal 29 Januari 2022. Lalu apa hubungannya dengan politik bebas aktif dan kebijakan hubungan internasional Indonesia?

Islam Tengah dan Hubungan Internasional Indonesia

Gagasan Islam Tengah mendapatkan tanggapan positif dari berbagai elemen masyarakat; mulai dari ulama; pejabat publik; akademisi; hingga rakyat biasa. Islam tengah diharapkan bisa menjadi solusi dalam berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini.

Salah satu tanggapan positif datang dari Dr Ma’mun Murod Al Barbasyi, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta. Beliau menyampaikan pemikirannya bahwa sikap tengahan bukan hanya dan selalu dikaitkan dalam koridor keagamaan, namun penting untuk masuk ke dalam ranah politik.

Beliau menawarkan konsep yang diberi nama Al syiyasah al wasathiyah (Politik Tengahan). Sebuah sikap politik yang menjunjung tinggi prinsip keadilan (al-adalah), keseimbangan (tawazun), tidak mudah terjebak pada ekstrimitas (tatharruf), dan menebarkan nilai-nilai kebaikan bersama (maslahatil ammah). Penulis sangat sepakat dengan apa yang disampaikan oleh beliau dan melalui tulisan ini ingin mengelaborasi politik tengahan dalam dimensi politik internasional Indonesia.

Dalam potongan pidatonya Zulhas menegaskan bahwa sikap Islam Tengahan ini bisa menjadi blueprint dalam mengelola perdamaian dunia. Penulis sangat sepakat dengan optimisme serta cita-cita luhur Zulhas ini. Setidaknya ada dua alasan yang membuat gagasan ini sangat relevan dan sangat mungkin untuk diimplementasikan oleh Indonesia. Pertama dari sisi dimensi ideal atau konseptual. Kedua dari sisi dimensi pragmatis atau dinamika politik internasional saat ini.

Politik Bebas Aktif, Politik Tengahan ala Indonesia

Indonesia secara konseptual memiliki pedoman kebijakan politik luar negeri yang bernama Politik bebas aktif. Tokoh pertama yang mencetuskan gagasan konsep ini adalah Dr.Mohammad Hatta (Bung Hatta). Pada tahun 1948, Politik Indonesia terdampak oleh kompetisi global antara dua negara besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itu politik dalam negeri Indonesia terpecah dengan kubu yang Pro Uni Soviet dan Pro Amerika Serikat. Untuk meredam potensi pecah belah, Bung Hatta kala itu berpidato di tengah Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) dengan judul “Mendayung Antara Dua Karang”.

Baca Juga  Regenerasi Politik Indonesia Hari Ini: Dimana Posisi Milenial?

Bung Hatta menggambarkan bahwa Indonesia ketika itu layaknya diapit dua karang besar, di mana agar tidak terkena karang maka Indonesia tidak boleh berlayar terlalu ke kiri ataupun ke kanan. Bung Hatta menjelaskan bahwa Indonesia tidak akan memilih untuk pro ini atau pro itu, melainkan Indonesia memilih jalannya sendiri untuk kemerdekaan. Melalui pidato Bung Hatta inilah maka lahir Politik bebas aktif. Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun juga, aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa.

Politik bebas aktif memiliki relevansi dengan nilai-nilai politik islam tengahan. Politik bebas aktif adalah politik yang memegang prinsip keadilan (al-adalah). Dalam menghadapi fenomena internasional Indonesia akan bersikap sesuai dengan nilai-nilai ataupun prinsip keadilan. Dalam konstitusi Indonesia terdapat nilai yang diperjuangkan Indonesia untuk politik luar negerinya.

Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dituliskan “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”. Di dunia internasional banyak konflik yang terjadi, salah satunya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Hingga saat ini Indonesia terus memperjuangkan hak-hak kemerdekaan Palestina sebagai bentuk amanat konstitusi dan memperjuangkan keadilan.

Nilai Kebaikan Bersama

Politik bebas aktif juga memiliki nilai keseimbangan (tawazun). Substansi dari pidato yang disampaikan oleh Bung Hatta ketika itu adalah menjaga stabilitas keseimbangan baik di luar dan di dalam negeri. Jika saat itu Indonesia memihak salah satu antara Amerika Serikat ataupun Uni Soviet, maka Indonesia akan didikte oleh salah satu negara besar tersebut dan akan terjadi konflik di dalam negeri. Ibarat sedang berlayar yang diapit dua karang besar, Indonesia harus menjaga keseimbangan agar kapal tidak hancur terkena karang.

Politik bebas aktif memandu Indonesia untuk tidak terjebak pada ekstrimitas (tatharruf). Kala itu pertarungan ideologi antara liberalisme yang diusung Amerika Serikat dan komunisme yang diusung oleh Uni Soviet sangatlah terasa. Kedua negara tersebut memandang ideologi yang mereka bawa adalah yang terbaik.

Baca Juga  Menjadikan Masjid sebagai Tempat Rekreasi

Jika ketika itu Indonesia ketika itu terjebak kepada salah satu ideologi maka Indonesia akan terjebak pada ekstimitas, sedangkan Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negaranya. Menurut Prof. Dorodjatun Kuntjoro Pancasila bukanlah sesuatu yang mengeras dan mengikuti suatu paham tertentu seperti sosialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang sangat merepresentasikan sikap tengahan.

Politik bebas aktif membawa Indonesia untuk menebarkan nilai-nilai kebaikan bersama (maslahatil ammah). Di tengah kompetisi dua negara besar dalam Perang Dingin, Indonesia membawa nilai-nilai kebaikan yang berdampak kepada negara lainnya. Indonesia ketika itu menginisiasi KTT Asia Afrika pada tahun 1955 dan menjadi tuan rumah di Bandung. Indonesia memperjuangkan nilai dalam konstitusinya untuk mengajak negara-negara yang baru merdeka di Asia Afrika untuk melawan penjajahan di atas dunia. Mereka bersepakat untuk melawan kolonialisme dan neo-kolonialisme dan memberikan sumbangan untuk menjaga perdamaian dunia.

Saat ini konteks pragmatis politik dunia adalah semakin memanasnya kompetisi antara negara besar. Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia adalah kompetisi antara Amerika Serikat dan Tiongkok di Asia Pasifik. Indonesia kembali dihadapkan pada kondisi mendayung antara dua karang. Indonesia dengan politik bebas aktif perlu terlibat aktif dalam menjaga stabilitas keamanan dunia.

Indonesia di Antara Amerika Serikat dan Tiongkok

Amerika Serikat dan Tiongkok terus melakukan manuver melalui strategi masing-masing di Asia Pasifik. Amerika Serikat melalui kebijakan Free and Open Indo Pacific (FOIP) berusaha untuk menghadang pengaruh Tiongkok di regional tersebut. Bahkan Amerika Serikat membangun aliansi pertahanan AUKUS yang mana banyak pengamat politik internasional melihat hal tersebut dilakukan untuk meredam kekuatan Tiongkok.

Di sisi lain Tiongkok terus bergerak menaruh pengaruhnya melalui projek ambisius Belt and Road Initiative (BRI). Bukan hanya itu, Tiongkok juga dikabarkan terus menguatkan kekuatan militernya bahkan memiliki target hingga tahun 2049 menjadi kekuatan militer kelas dunia. Kompetisi antara kedua negara besar seperti ini sangatlah mengkhawatirkan bagi pengelolaan perdamaian dunia.

Konsekuensi dari kompetisi negara besar adalah peperangan yang dapat melibatkan negara-negara sekitar. Graham Alisson dalam tulisannya menganalisis bahwa munculnya Tiongkok sebagai kekuatan besar baru yang mengancam untuk menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan hegemoni lama. Kondisi ini menurut Alisson bisa menciptakan thucydides trap.

Thucydides adalah seorang Jendral Athena yang menuliskan kisah berjudul Peleponesian War tentang pertarungan antara dua kekuatan besar, yakni Athena dan Sparta. Dalam tulisan tersebut ada sebuah kisah tentang Melian Dialogue. Kisah ini bercerita tentang warga Melian yang tinggal di pulau melos yang terletak di antara kekuatan besar Athena dan Sparta. Athena bernegosiasi dengan pimpinan Melos untuk berpihak kepada Athena, namun demikian warga Melian ingin tetap netral yang hasilnya Athena menginvasi Melos. Kondisi ini menurut Alisson bisa saja terjadi kembali jika ada kompetisi antara dua negara besar.

Baca Juga  Spirit Profetik dan Transformasi Pendidikan

Refleksi dari Thucydides Trap tersebut bukan berarti artinya tidak memihak salah satu pihak dari kekuatan besar adalah sebuah kesalahan. Namun, berada diposisi netral tetapi tidak aktif untuk membangun kekuatan tengahan bisa saja menjadi Melos selanjutnya. Politik bebas aktif Indonesia sangatlah tepat dengan tidak memihak negara besar manapun sehingga tidak didikte dan aktif untuk menjaga ketertiban dunia. Dalam kompetisi antara Amerika Serikat dan Tiongkok, saat ini Indonesia harus mengikuti jejak historisnya dengan membangun kekuatan ataupun kerja sama dengan negara-negara lain seperti KTT Asia Afrika dan gerakan Non-blok yang mana Indonesia aktif di dalamnya.

Peran Indonesia dalam ASEAN

Sebagai founding Fathers ASEAN, Indonesia bisa terus memperkuat ASEAN agar bisa lebih kompak untuk menjaga stabilitas keamanan di regional dan tidak terpengaruh dengan negara besar. Indonesia juga bisa mengembakan kerja sama dengan negara asia pasifik lainnya, Dengan begitu secara praktik politik internasional, Indonesia bisa terlepas dari Thucydides Trap.

Jika ditinjau dari sisi konseptual, bisa dilihat bahwasannya gagasan Islam Tengah ataupun Politik Tengahan sangatlah relevan dengan politik internasional Indonesia. Dari sisi dimensi pragmatis, politik bebas aktif masih sangat relevan untuk dilakukan di tengah kompetisi Amerika Serikat dan Tiongkok. Indonesia harus memperkuat politik tengahannya melalui politik bebas aktifnya agar tidak terperangkap dalam Thucydides trap dan bisa terus memperjuangkan stabilitas keamanan dunia, khususnya di regional asia pasifik yang menjadi pertarungan dua kekuatan besar. Indonesia harus kembali mendayung antara dua karang!

Editor: Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Banten. Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut.
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds