Barangkali, nama Abu Muhammad Abdullah atau yang lebih dikenal dengan Ibnu al-Muqaffa kalah populer dengan nama seperti Hunain bin Ishaq (808-873 M), dan Yahya bin Adiy sebagai penerjemah buku-buku dari beragam bahasa asing seperti, India, Persia, Yunani, Latin, Suryani, dan Ibrani, ke dalam bahasa Arab, ketika awal-awal perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam sejak sekitaran abad ke-2 Hijriyah.
Dalam beberapa catatan intelektual, baik Barat maupun intelektual Muslim, memang sangat sedikit sekali yang membahas peran Ibnu al-Muqaffa dalam tradisi penerjemahan buku-buku berbahasa asing. Padahal, Ibn al-Muqaffa sudah melakukan penerjemahan buku-buku, sebelum Hunain bin Ishaq dan Yahya bin Adiy melakukan penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab.
Bisa jadi, nama Ibn al-Muqaffa bagi sebagian peminat kajian filsafat Islam di Indonesia sangat asing di telinga. Persinggungan penulis dengan Ibnu al-Muqaffa dan perannya di saat awal-awal bergelut di dunia teologi dan filsafat Islam, ketika membaca tulisan Jossef Van Ess, “The Logical Structure of Islam Theology”, dalam Issa. J Boullata, An Anthology of Islamic Studies yang diterbitkan Montreal: McGill Indonesia IAIN Development Project, l992, digambarkan sebagai tokoh penganut teologi Mu’tazilah yang sangat meragukan kesucian Al-Qur’an.
Sekilas tentang Kehidupan Ibnu al-Muqaffa
Ibnu al-Muqaffa lahir di Basrah, tepatnya di daerah Jour, suatu perkampungan dekat Shiraz, Persia, sekitar tahun 106 H/724 M dengan nama Rauzabah Ibn Dazwiyah. Besar di tengah-tengah orang Arab beragama Majusi yang terkenal sebagai ahli ilmu dan bahasa. Ayahnya bernama Dazuwih, seorang beragama Majuzi yang bekerja sebagai penagih pajak di era Gubenur Hajjaj Yusuf al-Thaqafi kala itu.
Ayahnya terbukti menyalahgunakan kekuasaan, hinnga dipotong tanggannya sampai lumpuh. Maka sejak saat itu, Dazuwih dijuluki al-Muqaffa. Terlepas dari ini, Ibnu al-Muqaffa secara langsung mewarisi dua darah kebudayaan dan dua bahasa sekaligus; darah Arab dari ibunya, sebagai bahasa pemerintah dan negara dan darah Persia dari ayahnya sebagai bahasa ibu.
Ibnu al-Muqaffa masuk Islam dengan cara eksternal di waktu penaklukan kerajaan persia. Setelah memeluk Islam namanya berganti menjadi Abdullah, dengan julukan Abu Muhammad. Secara lengkapnya, nama Abu Muhammad Abdullah Ibnu al-Muqaffa dengan panggilan populer Ibnu al-Muqaffa yang dinisbatkan pada julukan ayahnya. Ibnu al-Muqaffa meninggal dalam usia yang terbilang sangat masih muda kurang lebih 35 tahun.
Secara setting sosial politik, Ibnu al-Muqaffa hidup ketika terjadi pergolakan dan konflik serta peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke tangan Dinasti Abbasiyah. Setelah berkuasa, Ibnu al-Muqaffa juga mengkritik kondisi sosial Dinasti Abbasiyah yang bobrok dan membandingkan dengan tatanan politik Persia yang dikenal sangat bagus waktu itu.
Terlahir dikaruniai intelegensia yang tinggi dan cerdas, serta dikenal sebagai pemikir di bidang sastra dan pemikiran di abad kedua hijriyah. Menguasai berbagai bahasa seperti bahasa Arab, Suryani, Pahlevi, Sankrit, India dan yunani, serta mempelajari dan memperdalam sejarah dan juga peradaban Persia lama sekaligus sangat gemar membaca naskah-naskah lama.
Penerjemah Pertama Karya Asing
Selain itu, Ibnu al-Muqaffa juga dikenal sebagai intelektual Muslim pertama yang melakukan penerjemahan karya-karya sastra Persia dan India ke dalam bahasa Arab. Sehingga mengakibatkan perpindahan bangsa Arab dari kehidupan bergaya Arab Badui pada kehidupan bergaya modern, serta keterlibatan orang non Arab dalam bidang kepenulisan sastra Arab.
Gaya bahasa yang digunakan sangat kental, pemikiran yang sangat teliti, dan pandangan sangat tepat, serta tak pernah meninggalkan pengetahuan yang didapat dari kebudayaan Persia dengan menggabungkan pemikiran dari alam India dan Yunani, menjadi ciri khas dari terjemahan Ibnu al-Muqaffa.
Dalam menerjemah buku-buku, Ibnu al-Muqaffa membangun gaya ungkapan bahasa Arab yang benar, mudah dan sederhana yang bisa mengungkapkan makna yang sesuai dengan kata modern.
Dalam pandangan Ibnu al-Muqaffa, peniruan terhadap gaya bahasa Arab lama akan menjadi batu hambatan terhadap perkembangan pemakaian ungkapan baru. Sebab itu, Ibnu al-Muqaffa lebih memilih dengan gaya ungkapan yang menarik, jelas, mudah dipahami dan gampang diterima khalayak umum. Dengan demikian, Ibnu al-Muqaffa merevolusi besar-besaran gaya bahasa Arab Badui Kuno.
Berikut kosa kata yang disesuaikan dengan gaya bahasa modern. Pemikiran dan gagasan Ibnu al-Muqaffa ditampilkan dalam bentuk karya seperti, al-Adab al-Shaghir wa al-Adab al-Kabar, Risalah al-Shahabah, dan al-Durrah al-Yatah, Tajnamah atau At-Taj, Atsian Namah (Ayina Namah), al–Bankash dan As–Sakisran, dan ad-Durah al-Yatimah serta Kalilah wa Dimnah.
Contoh Karya yang Diterjemahkan Ibnu al-Muqaffa
Kalilah wa Dimnah ini dianggap sebagai karya Arab pertama yang menjelaskan kemulian akhlak. Dimana pemikirannya datang dari filsafat, selain juga datang dari agama. Baginya, orang yang berakhlak dan tingkah lakunya baik, pasti sesuai dengan agama dan filsafat. Kalilah wa Dimnah, didalamnya mengandung berbagai nasehat menggunakan metode perumpamaan logis melalui dialog binatang.
Merupakan terjemahan berbahasa Arab yang dianggap paling penting sebagai perantara penerjemahan ke dalam berbagai bahasa lain dari bahasa fabel asli Sansekerta oleh Baybaba dan terjemahan bahasa Persia oleh Barzawiy. Dari naskah berbahasa Arab ini, kemudian menjadi sumber bagi terjemahan ke berbagai bahasa dunia.
Dalam beberapa catatan Kalilah wan Dimnah, sudah diterjemah lebih dari sepuluh terjemahan dalam berbagai bahasa seperti, Suryaniyah kedua pada abad ke sepuluh Masehi; Persia tahun 1120 M; Ibrani awal; Ibrani kedua pada abad ke tigabelas; Latin pada abad yang sama; Spanyol pada tahun 1251 M; al-Mulkiyah; Inggris tahun 1819 M; Rusia tahun 1889 M. Dan, dari terjemahan-terjemahan ini dilakukan terjemahan ulang ke berbagai bahasa seperti, bahasa Prancis, Italia, Turki, Jerman, Inggris, Denmark, Belanda dan sebagainya.
***
Selain itu, Ibn al-Muqaffa juga menerjemah beberapa bagian dari Logika Aristoteles, dan buku-buku orang Zindik, Manu, Mazdak dan lainnya. misalnya, karya Aristoteles meliputi Catedoriae, De Interpretation, dan Analytica Priora (Uraian Pertama), sedang karya Porphyry adalah Isagoge. Categorea atau al-Maqulat karya Aristoteles oleh Ibnu al-Muqaffa diterjemah menjadi sepuluh macam predikat atau keterangan.
Selanjutnya, karya terjemahan Ibnu al-Muqaffa diterjemahkan ulang secara ringkas oleh Hunein bin Ishaq, dan diterjemahkan kembali oleh Yahya bin Adiy dengan ulasan-ulasan dari Iskandar Aphrodisios. Kemudian dijelaskan oleh al-Kindi (801-866 M), dan al-Farabi mengurai ulasan tentang al-Maqulat, serta Ibn Sina menulis tentang tujuan al-Maqulat. Dalam dunia karya filosof Muslim, sangat terkenal di dunia Islam dengan nama Pori- Armenias, berisi keterangan tentang bahasa, yaitu tentang proposisi dan bagian-bagiannya.
Dengan demikian, melalui penerjemahan kreatif yang dilakukan Ibnu al-Muqaffa, kenyataan sejarah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan Islam pada periode kedua tersebut. Umat Islam banyak belajar dari berbagai bangsa melalui penerjemahan buku berbahasa Persia, Romawi, dan Yunani ke dalam bahasa Arab.
Misalnya, di bidang manajemen pemerintahan dan politik, umat Islam belajar dari Persia. Dalam bidang astronomi dan kedokteran, banyak belajar dari Romawi, sedangkan sains, dan filsafat, serta logika banyak belajar dari Yunani.
Maka tak mengherankan pada saat itu, Ibn al-Muqaffa menjadi pelopor paling awal dari gerakan penerjemahan buku-buku Persia, Romawi, dan Yunani ke dalam bahasa Arab. Puncak transformasi budaya dan gerakan terjemahan terjadi pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, diteruskan oleh al-Ma’mun. Selanjutnya, Hunein bin ishaq dan Yahya bin Adiy menjadi direktur penerjemahan dalam banyak bidang sains dan filsafat.
Editor: Soleh