Opini

Menyoal Budaya Akademik Generasi Stroberi

4 Mins read

Gerakan mahasiswa di Indonesia, sejak era 1960-an hingga 1990-an, selalu identik dengan idealisme dan kesadaran ideologis yang kuat. Mereka bukan hanya kelompok belajar di kampus, melainkan garda depan perubahan sosial dan politik bangsa. Dari aksi-aksi menumbangkan rezim, mengkritisi kebijakan negara, hingga menjadi pelopor gerakan sosial, mahasiswa masa lalu menjalankan peran sebagai moral force dan agent of change yang nyata.

Dari Idealisme ke Pragmatisme

Namun, wajah gerakan mahasiswa kini berubah. Liberalisasi pendidikan, penetrasi kapitalisme global, dan perkembangan teknologi digital telah menggiring budaya akademis dari ranah idealisme ke ranah pragmatisme. Fokus tidak lagi semata pada perjuangan nilai, tetapi pada capaian instan yang berorientasi pada keuntungan pribadi, baik dalam bentuk materi, popularitas, maupun self-branding.

Perubahan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Gen Z, generasi yang mendominasi bangku kuliah saat ini, lahir di tengah keterhubungan global yang serba cepat. Mereka akrab dengan smartphone, media sosial, dan akses informasi tanpa batas. Kecepatan dan efisiensi menjadi nilai utama, menggeser proses panjang dan refleksi mendalam yang dulu menjadi ciri khas idealisme akademik.

Dalam banyak kasus, diskusi panjang di ruang seminar tergantikan oleh thread Twitter atau video TikTok berdurasi satu menit. Retorika ideologis yang dulu menggugah massa kini bersaing dengan meme, quote motivasi, dan konten viral. Akibatnya, upaya menggerakkan kesadaran kolektif mahasiswa sering kandas di tengah gelombang pragmatisme akutsebuah orientasi pada apa yang praktis menguntungkan dibanding apa yang secara moral benar.

Fenomena ini sering disebut melahirkan “generasi stroberi” tampak indah, segar, dan memikat dari luar, tetapi mudah hancur ketika menghadapi tekanan. Di media sosial, mereka memamerkan kata-kata bijak, self-care tips, dan motivasi hidup. Namun, di lapangan, banyak yang kesulitan menghadapi dinamika sosial yang keras, apalagi jika menyangkut konflik nilai dan kepentingan.

Baca Juga  Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

Individualisme menjadi pola dominan. Keberhasilan diukur dengan jumlah followers, likes, dan engagement rate, bukan kedalaman gagasan atau kontribusi sosial. Solidaritas yang dulu menjadi ruh gerakan mahasiswa terkikis oleh semangat kompetisi personal. Budaya akademik, yang sejatinya menuntut kolaborasi dan pertukaran ide—terbentur oleh dinding earphone dan layar gawai.

Ironisnya, pola pengenalan budaya akademik di kampus masih banyak yang berangkat dari kerangka lama. Masa orientasi mahasiswa baru, program pengenalan akademik, hingga kegiatan kemahasiswaan masih sering mengandalkan narasi heroisme masa lalu tanpa adaptasi serius pada karakter dan ekosistem digital Gen Z.

Perguruan tinggi seolah gagap menghadapi perkembangan progresif ini. Di satu sisi, mereka menyadari pentingnya mempertahankan idealisme akademik; di sisi lain, mereka belum menemukan formula baru yang mampu menjembatani idealisme dengan gaya hidup digital yang serba cepat dan personal. Hasilnya, upaya penanaman nilai ideologis sering berhenti di ruang kelas atau seminar, tanpa terjemahan praktis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa.

Mentransformasikan kesadaran ideologis menjadi tindakan nyata (praksis) adalah tantangan terbesar di era ini. Mahasiswa yang sudah nyaman dengan “gelembung digital” nya sering enggan keluar untuk menghadapi realitas sosial yang kompleks. Bahkan ketika mereka terlibat dalam isu sosial, sering kali bentuknya sebatas kampanye media sosial tanpa langkah lanjutan di dunia nyata.

Manuel Castells menggambarkan dunia modern sebagai network society, masyarakat yang terhubung melalui jaringan informasi global, di mana arus data, ide, dan kapital bergerak melampaui batas fisik. Dalam konteks ini, mahasiswa Gen Z adalah “digital natives” yang mengonsumsi, memproduksi, dan mendistribusikan informasi dalam format serba cepat.

Di sisi positif, mereka mampu membangun jejaring global dalam hitungan detik. Namun, di sisi lain, hubungan sosial menjadi lebih cair, dangkal, dan cepat tergantikan. Aktivisme pun sering berubah bentuk menjadi performative activism: kampanye yang lebih mementingkan citra digital daripada dampak nyata.

Baca Juga  Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

Sementara itu Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa setiap individu memiliki modal kultural, pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan intelektual, yang membentuk habitus, atau pola berpikir dan bertindak. Pada generasi mahasiswa terdahulu, modal kultural terbentuk melalui diskusi fisik, buku-buku tebal, dan interaksi langsung.

Generasi kini mengakumulasi modal kultural melalui media digital: kursus daring, thread Twitter, atau video explainer di YouTube. Habitus mereka lebih adaptif terhadap format singkat dan visual, tetapi kurang terbiasa pada pendalaman yang memerlukan proses panjang. Ini membuat pola pembinaan idealisme dengan model lama sering kali tidak efektif.

Kesadaran ideologis sulit diterjemahkan menjadi praxis, gabungan refleksi kritis dan aksi nyata, sebagaimana dikemukakan Paulo Freire. Banyak aksi mahasiswa kini berhenti pada hashtag activism atau kampanye daring, tanpa keberlanjutan pada tataran kebijakan atau gerakan lapangan.

Dalam bahasa filsuf Paulo Freire, ini adalah kehilangan “praxis”, perpaduan refleksi dan aksi yang membebaskan. Tanpa praxis, gerakan mahasiswa mudah terjebak pada performative activism, aktivisme yang lebih mementingkan citra daripada dampak.

Rumuskan Formula Baru Pembinaan Budaya Akademik di Kampus

Jika dunia akademik tidak ingin tergulung oleh arus liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan, maka perlu dirumuskan formula baru pembinaan budaya akademik yang selaras dengan ekosistem digital dan karakter Gen Z, tanpa mengorbankan nilai kritis dan idealisme.

Beberapa prinsip yang dapat menjadi pijakan: Pertama, Bahasa Baru untuk Nilai Lama. Idealisme dan nilai-nilai luhur tetap relevan, tetapi perlu dikemas dengan bahasa dan media yang akrab bagi Gen Z. Pemanfaatan podcast, konten video kreatif, dan gamification pembelajaran bisa menjadi jembatan efektif.

Kedua, Proyek Nyata Berbasis Komunitas. Daripada hanya diskusi teoretis, mahasiswa perlu dilibatkan dalam proyek sosial langsung, mulai dari social entrepreneurship, community development, hingga policy advocacy, dengan integrasi teknologi digital.

Baca Juga  Dari AIICARE 2025, ITB Ahmad Dahlan dan UIN Salatiga Perkuat Kerja Sama untuk Riset dan Kemanusiaan

Ketiga, Penghargaan pada Kolaborasi, Bukan Hanya Kompetisi. Sistem penghargaan di kampus sering terlalu menonjolkan capaian individual. Budaya akademik perlu mendorong keberhasilan kolektif sebagai nilai yang sama pentingnya.

Keempat, Mentorship Lintas Generasi. Menghubungkan mahasiswa dengan aktivis atau tokoh akademik senior dapat membantu mentransfer nilai dan pengalaman secara lebih personal dan inspiratif.

Kelima, Literasi Digital Kritis. Membekali mahasiswa dengan kemampuan memilah informasi, memahami algoritma media sosial, dan menyadari bias informasi akan memperkuat daya kritis mereka di dunia maya.

Peralihan dari idealisme ke pragmatisme bukanlah akhir dari cerita. Setiap generasi memiliki tantangannya sendiri, dan sejarah menunjukkan bahwa krisis nilai sering memicu lahirnya bentuk baru gerakan sosial. Tantangannya adalah menemukan cara mentransformasikan idealisme ke dalam bahasa, media, dan bentuk aksi yang relevan bagi zaman.

Masa depan budaya akademik di Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemampuan perguruan tinggi dan gerakan mahasiswa beradaptasi secara kreatif tanpa kehilangan arah nilai. Jika formula baru ini berhasil ditemukan, maka pragmatisme bukanlah ancaman mutlak, ia bisa menjadi sarana mempercepat langkah, asalkan tetap berpijak pada kompas ideologi yang jelas.

Editor: Soleh

Avatar
44 posts

About author
Dekan FEBI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *