Pendahuluan
Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan keluwesan diplomatik, tetapi juga memancarkan sintesis yang nyaris sempurna antara etos keislaman, rasionalitas modern, dan komitmen kebangsaan.
Di tengah turbulensi kolonialisme, fragmentasi politik, dan pergulatan identitas bangsa yang baru merdeka, Agus Salim tampil sebagai diplomat yang bukan hanya bekerja dalam kerangka perjanjian formal, tetapi juga membawa ruh profetik ke dalam praktik diplomasi Indonesia (Abdullah, 1995, 45–47).
Keahliannya menghubungkan antara prinsip moral Islam dan strategi realpolitik modern menjadikan dirinya teladan unik dari apa yang oleh beberapa sarjana disebut sebagai “diplomasi berbasis integritas moral” (Noer, 1973, 211).
Artikel ini berupaya membedah warisan filosofis dan politik Agus Salim melalui analisis historis dan politis, terutama bagaimana ia melakukan sintesis antara Islam, nasionalisme, dan diplomasi, sehingga melahirkan model diplomasi Indonesia yang khas, luwes, dan berkarakter.
Islam sebagai Fondasi Kerangka Profetik
Banyak intelektual sezamannya—dan bahkan sejarawan sesudahnya—mengakui bahwa Islam bukan sekadar identitas religius bagi Agus Salim, melainkan fondasi epistemik dan etika politik yang membentuk worldview-nya (Benda, 1980, 132–135). Pendidikan agama sejak kecil, kecakapan dalam bahasa Arab, dan keterlibatannya dalam diskusi keislaman internasional memperkuat posisinya sebagai pemikir Muslim yang kosmopolitan.
Dalam berbagai tulisannya di Hindia Baroe dan Neratja, Salim sering menekankan bahwa diplomasi tidak boleh berpisah dari akhlak, sebab “politik yang kehilangan moral akan kehilangan legitimasi” (Salim, 1935/1981, 89). Pandangan ini selaras dengan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah dan konsep ṣidq (kejujuran) serta amānah (tanggung jawab) sebagai fondasi perilaku publik.
Beberapa sarjana melihat pendekatan ini sebagai wujud “profetik ethics”, yakni etika kenabian yang diterjemahkan ke dalam kinerja kenegaraan (Federspiel, 1995, 60). Dengan demikian, diplomasi bagi Salim bukan sekadar seni negosiasi, tetapi ladang ibadah dan amanah moral.
Nasionalisme sebagai Ruang Perjuangan Kolektif
Agus Salim bukan tipe nasionalis sekuler yang memisahkan agama dari ruang publik. Baginya, nasionalisme adalah ekspresi moral dari amanah kekhalifahan manusia, dan karena itu agama dan bangsa bukan dua kutub yang perlu dipertentangkan (Noer, 1973, 208).
Dalam konteks perdebatan ideologis awal abad ke-20—antara nasionalisme Islam, nasionalisme sekuler, dan sosialisme—Agus Salim mengambil posisi integratif. Ia menolak eksklusivisme keagamaan yang menafikan kebangsaan, tetapi juga menolak nasionalisme yang menyingkirkan spiritualitas.
Kepada para pemuda Sarekat Islam, ia pernah menegaskan:
“Agama dan kebangsaan harus bersinergi. Tanpa moral, kebangsaan hanyalah semboyan kosong; tanpa kebangsaan, agama kehilangan wadah pengamalannya.” (Salim, 1926/1997, 41).
Sintesis ini penting dalam perkembangan ide politik Indonesia karena mematahkan dikotomi palsu antara Islam dan nasionalisme. Dalam perspektif historis-politik, pandangan Agus Salim berada dalam jalur yang paralel dengan pemikiran al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh, yakni menjadikan agama sebagai energi pembebasan dan bukan sekadar identitas kultural.
Dengan hal ini, ia membentuk suatu paradigma bahwa umat religius dapat menjadi motor modernitas, dan bahwa kemerdekaan bangsa adalah bagian dari mandat spiritual. Paradigma ini kelak menjadi fondasi bagi konfigurasi identitas politik Indonesia—plural, religius, dan nasionalis sekaligus.
Diplomasi sebagai Seni Menjaga Harga Diri Bangsa
Agus Salim dijuluki “Grand Old Man of the Republic.” Julukan ini mencerminkan posisi unik Agus Salim dalam arsitektur diplomasi Indonesia. Beberapa sarjana luar negeri menyebut diplomasi Salim sebagai “diplomacy with dignity”, yakni diplomasi yang menggabungkan kecerdasan bahasa, keluwesan membaca konteks global, dan keteguhan prinsip (Kahin, 1952/2003, 115).
Sebagai diplomat, Salim mewakili Indonesia dalam berbagai forum internasional: Liga Arab, Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga pertemuan bilateral dengan negara-negara yang ragu mengakui kedaulatan Indonesia. Di sana, ia menunjukkan bahwa diplomasi tidak memerlukan suara lantang, tetapi argumentasi yang jernih dan integritas yang kokoh.
Dalam perundingan diplomatik 1947–1949, Agus Salim selalu menekankan pentingnya menjaga “martabat bangsa” di tengah tekanan Belanda maupun kecenderungan kekuatan global untuk mengabaikan negara baru (Abdullah, 1995, 108).
Prinsipnya tegas:
“Negara boleh kecil, tetapi harga dirinya tidak boleh pernah mengecil.”(Salim, 1948/1980, 73).
Gaya diplomasi Salim tidak konfrontatif tetapi argumentatif; tidak agresif tetapi tidak pernah menyerah; tidak dogmatis tetapi sangat prinsipil. Ia menggunakan bahasa sebagai instrumen kekuatan, dan kecerdasannya memperlihatkan bahwa soft power dapat menandingi bahkan mengalahkan tekanan kolonial.
Warisan inilah yang membuat banyak analis politik berpendapat bahwa diplomasi Indonesia modern—yang cenderung moderatif, dialogis, pluralis, dan stabil—berutang besar pada figur seperti Agus Salim.
Penutup
Agus Salim adalah contoh cemerlang dari bagaimana Islam, nasionalisme, dan diplomasi dapat disintesiskan secara kreatif dan produktif. Melalui pendekatan profetik yang menekankan moralitas, ia menunjukkan bahwa agama bukan hambatan bagi modernitas, melainkan pendorongnya.
Melalui nasionalisme yang inklusif, ia memperlihatkan bahwa komitmen pada bangsa tidak memerlukan penafian identitas religius. Dan melalui diplomasi yang elegan, jernih, dan bermartabat, ia memperlihatkan bahwa negara muda pun dapat berbicara di panggung dunia dengan suara yang disegani.
Warisan Agus Salim hari ini menjadi cermin bagi diplomasi Indonesia abad ke-21, yang ditantang oleh turbulensi geopolitik, krisis moral pemimpin, dan fragmentasi identitas. Dari Salim kita belajar bahwa diplomasi sejati adalah seni merawat kehormatan bangsa tanpa kehilangan nurani, dan bahwa negara kuat selalu berdiri di atas fondasi integritas moral para pemimpinnya.
Editor: Soleh

