Pendapat Ulama yang Sepakat
Para ulama berbeda pendapat mengenai ada dan tidaknya lafadz yang menggunakan bahasa non Arab di dalam Al-Qur’an. Sebagian besar ulama seperti Imam Syafi’I, Ibnu Jarir, Abu Ubaidah, Qadhi Abu Bakar, dan Ibnu Faris berpendapat bahwa keseluruhan Lafadz yang ada di dalam Al-Qur’an itu berbahasa Arab. Pendapat ini berdasarkan ayat Al-Qur’an, yaitu:
اِنَّا جَعَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَۚ
“Sesungguhnya Kami menjadikannya, yaitu kitab yang nyata itu, sebagai Al-Qur’an, yaitu bacaan dalam bahasa Arab agar kamu mengerti pesan-pesannya dengan menggunakan akalmu”. (Qs. Az-Zukhruf: 3)
Imam Syafi’i menolak keras pendapat yang menyatakan adanya kalimat yang bukan berbahasa Arab di dalam Al-Qur’an. Lebih lanjut Abu Ubaidah berkata:
إنما أنزل القرآن بلسان عربي مبين, فمن زعم أن فيه غير العربية فقد أعظم القول
“Al-Qur’an hanya diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, jadi siapa pun yang mengklaim bahwa itu mengandung sesuatu selain bahasa Arab maka ia menentang pendapat mayoritas.” [Lihat: Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Qawa’id al-Asasiyah fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah Malik al-Fahd, 2003), Hal. 50].
Pendapat Ulama yang Tidak Sepakat
Ada beberapa ulama yang memiliki pendapat lain mengenai masalah ini. Pendapat ini menyatakan akan adanya lafadz yang menggunakan bahasa non Arab di dalam Al-Qur’an. Hal ini terjadi karena ada bahasa asing yang telah lama fasih digunakan oleh orang Arab sebelum turunnya Al-Qur’an.
Peralihan bahasa ini lumrah terjadi dalam kehidupan manusia. Peralihan ini biasanya disebabkan oleh pertemuan dan peperangan yang mana ini menjadi faktor penyebab adanya perpindahan bahasa, kosakata dan pengambilan bahasa-bahasa yang diperlukan dari bahasa asing. [Lihat : Sa’id Mahmud al-Kurdi, al-Lughot al-Ukhro fi-l-Qur’an al-Karim wa Mauqifu at-Thobari Minha, (Beirut-Lebanon: darul ihya’ at-turost al-Araby), Hal. 41].
Lafadz-lafadz yang asing ini sempat menimbulkan kebingungan di kalangan shahabat dalam memaknainya. Kejadian ini pernah dialami oleh sahabat Abu bakar, dimana ia ditanya tentang makna surat Abasa ayat ke-31 yang berbunyi:
وَفَاكِهَةً وَّاَبا
“dan buah-buahan serta rerumputan.”
lalu Abu Bakar pun menjawab: “bumi mana yang mau menopangku dan langit mana yang mau menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui di dalam Al-Qur’an”.
Hal serupa terjadi pada sahabat Umar bin Khattab di ayat yang sama pula. ketika membaca ayat tersebut di atas mimbar lalu Umar bin Khattab berkata : Aku tahu makna dari kata فَٰكِهَةًۭ (buah), namun untuk kata أَبَّأ Umar bin Khattab terdiam dan memilih untuk tidak membicarakan makna ayat yang ia sendiri tidak mengetahuinya.
Namun pendapat ini mendapat penentangan dari pendapat sebelumnya yang menyatakan tidak adanya kalimat non Arab di dalam Al-Qur’an. Dengan berargumen bahwa bahasa Arab itu cukup luas sehingga tak jarang ada para pembesar sahabat yang kesulitan memahami kalimat yang ada di dalam Al-Qur’an.
***
Menurut Imam Syafi’i kejadian ini sangatlah wajar mengingat tidak ada yang paling mengerti makna dalam Al-Qur’an dan bahasanya kecuali Nabi. Namun bukan berarti pengetahuan akan bahasa Arab itu hilang sama sekali, melainkan pemahaman tersebut tercecer di sekian banyak para ulama. Dimana pemahaman mereka saling melengkapi satu sama lain.
ولسان العرب أوسع الألسنة مذهباً، وأكثرها ألفاظاً، ولا نعلمه يحيط بجميع علمه إنسان غيرُ نبي، ولكنه لا يذهب منه شيء على عامتها, حتى لا يكون موجودا فيها من لم يعرفه
“Bahasa Arab adalah bahasa yang paling luas dan paling banyak lafadznya, dan kita tidak mengetahui seseorang yang menguasai pengetahuan bahasa Arab selain (sebaik) Nabi. Tetapi bukan berarti Ilmu bahasa Arab itu hilang sama sekali sehingga tidak ada yang mengetahuinya.” [Lihat : Imam Syafi’I, Ar-Risalah,Tahqiq. Ahmad Syakir Nasyir (Mesir: Maktabah al-Halaby, 1940), h. 34].
Pendapat Manakah yang Benar?
Setelah menela’ah dua pendapat yang saling bertentangan tersebut. Pasti kita dihadapkan sebuah pilihan mana yang benar dan mana yang salah diantara keduanya. Namun jika kita kaji secara mendalam semua pendapat tersebut sama-sama benar.
Pendapat ini didasarkan oleh pandangan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang mengatakan bahwa bisa jadi kosakata tersebut berasal dari non Arab, tetapi kosakata tersebut tersebar di Arab dan diserap menjadi bahasa Arab. Kemudian Al-Qur’an pun turun sehingga bahasa Arab yang asli dan serapan tersebut tercampur di dalam Al-Qur’an.
Contoh dari sekian kosakata tersebut adalah :
1. Surat Al-Waqi’ah ayat ke-18 pada kata (أَكْوَابٍ) dan (أَبَارِيقَ)
بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيقَ وَكَأْسٍ مِّن مَّعِينٍ
“Dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir,”
2. Surat Abasa ayat ke-31 pada kata (اَبًّ)
وَفَاكِهَةً وَّاَبًّ
“dan buah-buahan serta rerumputan.”
***
Ibnu Jauzi mengatakan bahwa yag dimaksud (أَكْوَابٍ) adalah bahasa Nibtiyah dari (الأكواز) yaitu gelas. Dan juga lafadz (أَبَارِيقَ) yang merupakan yang menurut Tsa’laby merupakan bahasa Persia yang berarti cerek atau alat yang digunakan untuk menuangkan air. Sedangkan kata (اَبًّ) merupakan bahasa negeri Syam dari (الحشيش) yaitu rumput. [Lihat: Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Qawa’id al-Asasiyah fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah Malik al-Fahd, 2003), Hal. 51-52].
Fenomena penyerapan bahasa asing ini tidak hanya terjadi di Arab, namun di lingkungan kita juga terjadi. Misalkan kata “selamat” yang biasanya kita ucapkan sehari-hari itu berasal dari bahasa Arab “Salamah” (سلامة) dan artinya pun sama yaitu keselamatan. Sebab kosakata tersebut menjadi sarana komunikasi setiap hari di negeri kita, maka kosakata tersebut menjadi bagian dari bahasa kita.
Oleh sebab itu, ulama yang berpendapat bahwa Al-Qur’an itu keseluruhan kosa katanya bahasa Arab itu benar, karena kosakata tersebut telah menjadi bagian dari bahasa Arab. Begitu juga ulama yang berpendapat bahwa ada kosakata non Arab dalam Al-Qur’an, karena kosakata tersebut memang berasal dari non Arab lalu diserap menjadi bahasa Arab.
Editor: Soleh