Peristiwa

Kedekatan NU-Muhammadiyah dengan Rezim Prabowo-Gibran Dinilai Lemahkan Demokrasi

2 Mins read

IBTimes.ID – Diskusi publik IslamiTalk yang digelar Yayasan Islami Media Ramah menyingkap satu kenyataan yang kian sulit disangkal, Masyarakat sipil terutama NU dan Muhammadiyah, sedang mengalami pelemahan struktural akibat kedekatan berlebihan dengan rezim kekuasaan.

Kedekatan ini lebih dari kolaborasi di tingkat kebijakan dan program, melainkan telah bergerak ke arah kooptasi simbolik, politik, dan ekonomi yang berisiko melumpuhkan fungsi paling dasar civil society: mengatakan “tidak” kepada negara.

Pelemahan itu diungkap Guru Besar Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Iim Halimatussadiyah, menegaskan bahwa jarak adalah syarat moral dan politik bagi masyarakat sipil.

“Civil society yang terlalu dekat dengan negara akan kehilangan keberanian untuk menolak,” ujarnya, Jumat malam (12/12) di Outlier Cafe, Ciputat Tangerang Selatan.

Dalam konteks ini, lanjutnya, pemberian konsesi tambang, posisi strategis pemerintahan, hingga legitimasi simbolik seperti anugerah pahlawan nasional bagi Soeharto, dibaca sebagai instrumen negara untuk membungkam kritik.

Studi empiris bahkan menunjukkan bahwa dukungan atau diamnya NU dan Muhammadiyah secara signifikan memengaruhi persepsi publik, menjadikan keduanya alat legitimasi kekuasaan.

Lebih jauh, Prof. Iim mengingatkan bahwa kooptasi ini tidak hanya memicu konflik internal ormas, tetapi juga memperlebar jurang mayoritas–minoritas. Ketika konsesi tambang hanya diberikan kepada ormas Islam besar, sementara organisasi keagamaan non-Muslim tersingkir, negara sedang mempertaruhkan fondasi sosial Indonesia yang sejak awal dibangun melalui negosiasi dan kesetaraan antar-identitas.

“Ini berbahaya bagi jangka panjang demokrasi dan kohesi sosial,” tegasnya.

Direktur Maarif Instutute Andar Nubowo menjelaskan, situasi ini dalam kerangka sejarah bisa ditarik yang lebih panjang. Ia membeberkan fakta bahwa baik NU maupun Muhammadiyah tidak dilahirkan dengan DNA oposisi, melainkan sebagai gerakan sosial yang adaptif terhadap kekuasaan demi keberlangsungan organisasi.

Baca Juga  Muhammadiyah Gigih Hadapi Pandemi COVID-19

Namun, kata aktivis Muhammadiyah ini, sejak Reformasi, terutama pasca-2017, hubungan ormas dan negara memasuki fase paling intim dalam sejarah republik, dimulai dari strategi Jokowi merangkul “Islam moderat” dan kini dilanjutkan oleh pemerintahan Prabowo–Gibran.

“Ini bukan peristiwa sesaat, melainkan sebuah kontinuum kekuasaan,” ujarnya.

Menurut Andar, kedekatan itu membuat NU dan Muhammadiyah enggan membaca negara sebagai kekuasaan yang berpotensi oligarkis dan koruptif, sehingga kritik melemah. Bahkan, logika “stabilitas” dan “kemaslahatan” sering dijadikan pembenaran untuk menunda atau membungkam sikap kritis. Dalam kondisi seperti ini, iron law of oligarchy, hukum besi oligarki, bekerja, yakni organisasi besar cenderung dikuasai segelintir elite yang kepentingannya menyatu dengan negara.

Hal senada dibongkar aktivis dan ketua PBNU Savic Ali yang menyoroti kegagalan NU hari ini dalam menghadirkan citizenship yang hidup dan dekat dengan rezim Prabowo Gibran.

“NU tetap entitas masyarakat sipil, tetapi banyak warganya menjadi pasif, bukan warga aktif yang mengawasi kekuasaan,” ujarnya.

Bayang-bayang figur seperti Gus Dur menjadi tolok ukur yang justru memperlihatkan kemunduran: NU kehilangan keberanian intelektual dan moral untuk berdiri berhadap-hadapan dengan negara ketika kebijakan melenceng dari keadilan sosial.

Ia juga menjelaskan untuk publik jangan lagi menggantungkan harapan demokrasi pada elite ormas besar saja.

Dalam situasi di mana NU dan Muhammadiyah telah terserap jauh ke dalam orbit kekuasaan, lanjutnya, penyangga demokrasi harus dicari di luar pada generasi muda, gerakan akar rumput, aktivisme lintas identitas, dan warga negara yang berani bergerak tanpa bendera organisasi.

“Sejarah perubahan besar di Indonesia tidak pernah dimulai dari organisasi mapan,” ujar Savic Ali.

Ia mengulik gerakan rakyat 1908, 1928, 1945, hingga 1998, semuanya digerakkan oleh generasi yang kepentingannya belum banyak.

Baca Juga  Fase Puncak Haji Berakhir, Hilman Latief: Seluruh Jemaah Kembali ke Hotel di Makkah

Pesan diskusi ini jelas dan tidak kompromistis, bahwa demokrasi tidak runtuh karena oposisi lemah, melainkan karena masyarakat sipil memilih diam ketika dipangku dan ditimang-timang kekuasaan negara.

(Soleh)

Related posts
Peristiwa

Prabowo Gelar Rapat Terbatas dengan Menteri di Hambalang, Bahas Pemulihan Korban Bencana

2 Mins read
IBTimea.ID – Presiden Prabowo Subianto mengadakan pertemuan terbatas dengan sejumlah Menteri anggota Kabinet Merah Putih di kediaman pribadinya di Hambalang, Bogor, Jawa…
Peristiwa

Ketua MPR Tegaskan Keseriusan Pemerintah Tangani Banjir dan Longsor di Sumatra

1 Mins read
IBTimes.ID – Ketua MPR RI Ahmad Muzani menegaskan bahwa pemerintah menunjukkan keseriusan tinggi dalam menangani dampak bencana banjir dan tanah longsor yang…
Peristiwa

Prabowo Kunjungi Pengungsi Aceh Tengah, Tegaskan Negara Hadir untuk Pemulihan

1 Mins read
IBTimes.ID – Presiden Prabowo Subianto mengunjungi para pengungsi korban bencana di wilayah Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, pada Jumat (12/12/2025). Dalam pertemuan tersebut,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *