Era tahun 1900-an, kontestasi Kaum Tua dan Kaum Muda di tanah Minangkabau menimbulkan dinamika keagamaan yang sangat kuat. Hal ini menarik banyak peneliti untuk selalu mengkaji Islam di Minangkabau ini dengan berbagai pendekatannya. Schrieke, dalam membicarakan perdebatan ulama kaum tua dan ulama kaum muda di Minangkabau pada awal abad XX menyebutnya dengan istilah “pergolakan Agama”. Pendapat Schrieke menjelaskan begitu kuatnya perdebatan keagamaan terlebih yang dilaksanakan di surau ketika itu.
Istilah di atas tentu tidak berlebihan, hal itu karena perdebatan tersebut menimbulkan diskursus intelektual yang sangat dinamis melalui majalah-majalah, organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga pendidikan. Munculnya pergolakan agama di awal abad 20 M ini membuat masing-masing kelompok memperdalam hujjah (argumentasi) mereka masing-masing. Sehingga kitab-kitab berkembang dan diskusi-diskusi sering dilakukan. Para ulama dari dua kelompok ini juga mempertahankan pendirian masing-masing dalam karya-karya yang banyak, baik berupa buku maupun majalah.
Pembaharuan Pendidikan Tanah Minangkabau
Pembaharuan sistem pendidikan di Minangkabau dimulai oleh Abdullah Ahmad dari kalangan ulama kaum muda menjadi yang pertama mendirikan sekolah modern, sekolah Adabiyah di Padang pada 1909. Abdullah Ahmad memang tergolong ulama inovatif dan progresif di antara ulama kaum muda lainnya. Pemikirannya yang progresif dan “melampaui zamannya” terlihat ketika ia mendirikan sekolah umum Adabiyah ini.
Pendirian sekolah umum bercorak modern masih dianggap tabu di Minangkabau pada saat itu. Zarkasyi menilai usaha Abdullah Ahmad ini lebih terlihat sebagai westernisasi daripada sebuah gerakan pembaruan. Munculnya anggapan ini karena hubungan Abdullah Ahmad sendiri dengan Belanda yang cukup dekat.
Pada tahun-tahun berikutnya, madrasah-madrasah yang berciri modern bermunculan di Minangkabau. Pada 1915, Sekolah Diniyah didirikan di Padang Panjang oleh Zainuddin Labai el-Yunusiyah. Pada 1918, Mahmud Yunus mendirikan madrasah Diniyah di Batusangkar. Madrasah-madrasah tersebut dirancang untuk menjadi sekolah Islam modern yang mengajarkan baik mata pelajaran agama maupun umum. Metode mengajar baru diterapkan, kelas berjenjang, papan tulis, meja untuk siswa serta buku-buku.
Surau dan Pendidikan Madrasah
Selain mendirikan madrasah-madrasah baru, ulama kaum muda juga mengubah surau-surau mereka dengan mengadopsi sistem pendidikan madrasah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Haji Rasul dengan Surau Jembatan Besi di Padang Panjang dan Syekh Ibrahim Musa dengan Surau Parabek. Pada tahun 1919, surau-surau ulama kaum muda yang bertransformasi menjadi madrasah ini menggabungkan diri dalam sebuah organisasi yang diberi nama Sumatera Thawalib.
Tidak lama sesudah itu, surau-surau yang berada di Padang Japang, Maninjau dan Batusangkar ikut menggabungkan diri. Hasilnya, Sumatera Thawalib menjadi organisasi terkemuka yang didirikan oleh kaum muda di wilayah Minangkabau.
Eksistensi model pendidikan Kaum Mudo di Tanah Minangkabau menjadi inspirasi penting terhadap pembaharuan pendidikan Kaum Tua dimulai dengan dirintisnya Madrasah Arabiyah School yang didirikan oleh Syekh Abbas Qadhi sejak tahun 1919. Sekolah ini baru untuk tingkat ibtidaiyyah. Salah seorang murid beliau yang tamat di madrasah ini adalah Sultha’in dari Bayur Maninjau. Sultha’in ingin melanjutkan belajarnya ke Madrasah Sumatera Thawalib Parabek yang didengarnya sudah modern.
Syekh Abbas Qadhi tidak merestui keinginan Sultha’in karena Sumatera Thawalib Parabek dianggap merupakan sekolah Kaum Muda. Akhirnya Sultha’in disuruh dari Thawalib untuk mengantarkan surat kepada Syekh Sulaiman al-Rasuli berupa desakan agar Sulaiman al-Rasuli mengambil langkah untuk merubah Surau Canduang menjadi madrasah.
Atas desakan tersebut, maka Syekh Sulaiman al-Rasuli mulai merubah sistem pendidikan Surau Candung yang didirikannya pada tahun 1908 menjadi madrasah dengan sistem klasikal pada tahun 1926. Kemudian pada bulan Mei tahun 1928 sistem pendidikannya diubah menjadi sistem berkelas dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung.
Ulama Tanah Minangkabau
Syaikh Sulaiman al-Rasuli juga mengajak ulama-ulama Kaum Tua lainnya untuk mengubah surau mereka menjadi madrasah. Pada tanggal 5 Mei 1928, Syaikh Sulaiman al-Rasuli mengundang ulama-ulama kaum tua lainnya. Seperti halnya; Syekh Ahmad Baruh Gunung (50 Koto), Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Wahid Shalihi Tabek Gadang. Selain itu ada Syekh Muhammad Arifin Batu Hampar, Syekh Alwi Koto Nan Ampek. Ada lagi Syekh Jalaluddin Sicincin, Syekh Abdul Majid Koto Nan Gadang, dan Syekh HMS Sulaiman Bukittinggi.
Kemudian Syekh Arsyad Batu Hampar untuk berkumpul di Surau Tangah Candung. Pada waktu tersebut disepakati untuk merubah surau-surau mereka menjadi madrasah. Sehingga lahir empat madrasah yaitu Madrasah Candung, Madrasah Jaho, Madrasah Padang Japang, dan Madrasah Batu Hampar. Pada waktu pertemuan itu juga dibentuk sebuah wadah untuk mengembangkan madrasah-madrasah yang mereka namakan “Persatuan Madrasah Tarbiyah” dan Sultha’in ditunjuk sebagai ketuanya pada tahun 1928-1930 .
Kelompok Anti Pembaharuan
Namun, hal yang menarik dipahami adalah Kaum Tuo disebut-sebut sebagai kelompok yang anti pembaharuan, berpegang pada ideologi taqlid, mereka menjadi benteng pembela tradisi (terutama pada aspek syariat dan tarikat) yang justru mendapat kritikan pedas dari sang gurunya, Syeikh Ahmad Khatib.
Sementara pada sisi lain, Kaum Mudo justru menganjurkan pembaharuan yang inklusif dan akomodatif dengan nilai-nilai luar termasuk nilai-nilai modernitas yang dibawa serta oleh penjajah Belanda. Lewat isu ijtihad mereka tidak saja mengkritik nilai-nilai adat yang tidak sejalan dengan perubahan zaman. Namun pada saat yang sama juga mengkritik sikap Kaum Tuo yang menerima begitu saja tradisi Abad Pertengahan (fiqih dan tarekat) tanpa sikap kritis dan membuka diri terhadap perubahan zaman.
Anehnya, sikap eksklusif (tertutup) Kaum Tuo terhadap nilai- nilai modernitas (Belanda) seperti mengharamkan memakai dasi dan jas bahkan juga mengkafir orang yang masuk. Justru sekolah Belanda justru dalam perjalanannya tampak dekat dengan Belanda atau setidak-tidaknya tidak menampakkan penolakannya terhadap kolonialismenya.
Hal ini dapat dimengerti karena penolakan keras Kaum Mudo terhadap tarekat mengancam kedudukan mereka sebagai pemimpin-pemimpinnya, pada saat yang sama Belanda jelas tidak menyukai gerakan Kaum Mudo yang tampak selalu membangkitkan nasionalisme menuju kemerdekaan.
Kaum Mudo Mendapat Simpati
Uniknya lagi ketika pengaruh gerakan Kaum Mudo semakin mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat. Yakni dengan semakin berkurangnya murid-murid yang masuk surau tarikat. Kaum Tuo diam-diam memodernisir surau-surau mereka meniru pola madrasah Kaum Mudo. Bahkan ketika Kaum Mudo mendirikan Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) yang mengadopsi sistem pengorganisasian diri ala Belanda. Di saat itu pula kaum Tuo juga mendirikan organisasi Perti (Persatuan Tarbiyah Islam) tempat berhimpunnya ulama-ulama tradisional.
Dengan demikian, para ulama dari kaum tua seakan akan tidak lagi memiliki pilihan lain selain ikut melakukan modernisasi terhadap sistem pendidikan surau dan mengadopsi sistem pendidikan madrasah sebagaimana yang sudah dilakukan lebih awal oleh ulama kaum muda.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Maksum bahwa latar belakang kemunculan madrasah di Indonesia setidaknya dapat dikembalikan kepada dua situasi. Pertama, adanya gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Kedua, adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Ikhtiar yang dilakukan oleh ulama kaum tua untuk mempertahankan lembaga pendidikan tradisionalnya (surau) dengan mengadopsi sistem pendidikan madrasah menjadi awal munculnya model baru pendidikan Islam di Minangkabau.
Editor: Assalimi