Fenomena Suluk Wujil
Suluk Wujil adalah salah satu karya keruhanian yang ditulis pada sekitar tahun 1607, menurut perkiraan Poerbatjaraka.
Tepatnya pada masa Panembahan Seda Krapyak, penguasa Mataram Islam ke-2. Perkiraan Poerbatjaraka didasarkan atas penanda waktu yang ada dalam teks Suluk Wujil sendiri.
Bahasa Suluk Wujil memiliki kesamaan dengan karya-karya dengan bahasa Jawa Tengahan. Suluk Wujil merupakan salah karya sastra Islam di Jawa yang tertua, selain satu primbon dan Suluk Bonang.
Di sisi lain, Drewes berpendapat bahwa Suluk Wujil berasal dari abad ke-18 Masehi. Karya tersebut diduga berasal dari Cirebon. Poebatjaraka meski berbeda pendapat dengan Drewes mensinyalir bahwa salah satu penulis Suluk Wujil berasal dari Cirebon, berdasarkan gaya bahasanya.
Suluk Wujil adalah karya spiritual yang sarat dengan perlambang sebagai media pengajaran. Membaca Suluk Wujil menuntut pengetahuan lain terkait dengan simbol dan konsep yang bersumber dari tradisi Islam maupun tradisi gnostik lainnya. Dalam konteks itu, Suluk Wujil memuat perjalanan keruhanin yang kaya warna dan menantang para pembacanya untuk memecahkan makna-makna perlambang yang dikandungnya.
Itulah beda antara Suluk Wujil dan Suluk Bonang, yaitu yang kedua lebih menekankan bahasa diskursus dan penyampaian ajaran satu arah. Sebaliknya, Suluk Wujil berbentuk cerita sehingga pembaca yang harus aktif mengkonstruksi pemahaman dan penghayatannya.
Perlambang dalam Suluk Wujil
Suluk Wujil adalah karya sastra pengajaran yang menggunakan ibarat dan perlambang untuk menyampaikan isi ajaran. Nama-nama tokoh yang dipergunakan pun memiliki makna tersendiri. Nama guru disebut dengan Ratu Wahdat atau Seh Wahdat, yang mengacu kepada Sunan Bonang. Nama murid adalah Wujil, Seh Malaya, dan Satpada.
Wujil dimaknai sebagai orang yang menempuh perjalanan dalam karya tersebut, sedangkan Poerbatjaraka mengartikannya sebagai “bujel” atau tumpul. Artinya, Wujil masih perlu diasah untuk memiliki ketajaman sehingga bisa untuk menulis kata katena Wujil asalnya adalah ahli sastra di Majapahit.
Nama Seh Malaya sendiri mengacu kepada figur Sunan Kalijaga yang diceritakan pernah pergi ke Malaka. Di Malaka, ia bertemu dengan teman gurunya yang bernama Maulana Maghribi. Maulana Maghribi menyuruh Seh Malaya untuk mencari Mekkah di rumah sendiri karena Mekkah sejati tiada yang tahu.
Satpada adalah abdi dan murid Seh Wahdat. Dalam Kamus Jawa Kuno – Indonesia yang disusun oleh Zoetmulder, kata “Satpada” memiliki arti kumbang. Kata kerja masadpada berarti pula rajin beribadah. Sosok Satpada menjadi orang kepercayaan Seh Wahdat seperti untuk menyampaikan amanat kepada Seh Malaya.
Ibarat itu dipakai pula dalam Suluk Wujil untuk memberikan muatan ajaran. Saat Wujil menghadap Seh Wahdat untuk mengadu karena setelah sepuluh tahun masuk Islam dan belajar kepada Seh Wahdat, ia merasa belum menemukan kesejatian dan kemanunggalan.
Seh Wahdat menegur Wujil karena keberaniannya minta balasan atas proses belajar yang telah diberikan oleh Seh Wahdat. Ia memperingatkan Wujil agar jangan seperti burung bangau dan telur yang putih di luar, namun kuning di dalam.
***
Perumpamaan Burung Bangau ini tidak diuraikan dalam Suluk Wujil karena mungkin dianggap sudah familier. Memang kisah Burung Bangau cukup dikenal di Indonesia. Tahun 1990-an kisah bangau diceritakan dalam sandiwara radio dan tahun 1970-an banyak diceritakan di sekolah-sekolah di Bali.
Kisah tersebut berasal dari kisah fabel India yang masuk dalam naskah Jawa dan Bali disebut Kidung Tantri. Kidung Tantri yang sudah dikaji oleh Revo Arka G.S. adalah Kidung Tantri Kediri dengan sebutan Kisah Burung Baka dan Ikan-Ikan. Kidung Tantri ini mirip dengan kisah Kalilah wa Dimnah dalam Islam karena keduanya bersumber dari fabel India.
Burung Bangau itu dalam Kidung Tantri Kediri disebut sebagai Burung Baka. Kata “Baka” adalah kata dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti bangau.
Kisah Burung Bangau
Alkisah ada burung Bangau yang diam bersemadi di pinggir sebuah telaga. Ikan-ikan awalnya merasa takut karena biasanya burung bangau memakan mereka. Namun perilaku aneh Burung Bangau itu menarik perhatian para ikan. Si Baka mengatakan bahwa ia telah bertaubat dan menjalani hidup sebagai pertapa.
Para ikan yang meskipun ragu, lama kelamaan terbiasa dengan burung baka dan menganggapnya sebagai teman. Mereka tidak takut lagi berenang di sekitar burung Bangau.
Suatu saat, Si Bangau menangis. Para ikan bertanya mengapa ia menangis. Burung Bangau menjawab bahwa ia menangisi nasib para ikan. Ia mendengar para nelayan akan datang ke telaga dengan berbagai untuk menangkap ikan. Ikan-ikan menjadi khawatir dan minta jalan keluar kepada Burung Bangau. Burung Bangau punya solusi dengan memindahkan semua ikan ke telaga lain.
Setelah berkali-kali Burung Bangau terbang memindahkan ikan, tinggallah tiga ekor ikan dan seekor kepiting. Awalnya Burung Bangau enggan membawa si Kepiting, namun si Kepiting bersikeras ikut. Si Kepiting naik di leher Burung Bangau tidak di paruhnya seperti ikan-ikan lainnya. Si kepiting berpegangan dengan menjepit leher Burung Bangau.
Saat mereka terbang, Kepiting melihat banyak tulang belulang ikan di bawah. Ia sadar bahwa para ikan telah dimakan oleh Si Burung Bangau. Ia jepit leher Burung Bangau dengan keras hingga mereka semua jatuh ke tanah, mati.
Kesimpulan
Kisah Burung Bangau mengandung pesan bahwa orang tidak boleh terjebak dengan bungkus. Burung Baka secara lahiriyah menampakkan diri sebagai pertapa dan sahabat para ikan. Namun, ternyata nafsunya sangat liar sehingga menghabiskan para ikan di kolamdengan tipu dayanya.
Oleh karena itu, Seh Wahdat mengaitkan kisah Burung Bangau dengan Telur. Telur yang berkulit putih boleh jadi isinya kuning, lambang dari nafsu duniawi. Upaya untuk membersihkan dimensi batin itulah yang menjadi tema utama Suluk Wujil. Hanya dengan kebersihan batin, maka perjalanan untuk sampai ke Mekkah, simbol tujuan ibadah manusia, akan tercapai.