Oleh: David Efendi*
“Muhammadiyah sangat terlatih membangun infrastruktur,” ujar Muhidin M Dahlan seorang Esais terpandang pada suatu kesempatan di forum rapat kerja Nasional Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah di UAD tahun 2016 silam. Tentu saja melihat capaian Muhammadiyah selama lebih seratus tahun dalam pergerakan apresiasi Gus Muh itu sangat punya legitimasi empirik. Tapi hemat saya, Muhammadiyah tidak hanya terlatih membangun infastruktur sebagai banguann fisik tetapi Gedung-gedung dan fasilitasnya itu adalah cerminan dari sumbangsih kepada pembangunan manusia dan peradabannya. Jika, membangun kemandirian adalah bagian paling vital dari indeks literasi, maka Muhammadiyah telah menggerakkan literasi seumur hidupnya—107 tahun lamanya baik dalam sunyi maupun di tengah keramaian, baik sendiri-sendiri oleh pengurus dan warganya maupun yang terhimpun dalam jamaah. Jika literasi adalah soal pembangunan kecakapan hidup untuk menuntaskan persoalan aktual kehidupan, maka, Muhammadiyah dengan milyaran ragam gerak kegiatannya itu tak lain tak bukan adalah oase dan sekaligus Samudra literasi yang tak pernah kering airnya.
Literasi atau gerakan ilmu pengetahuan (intelektualisme) atau pers Islam di dalam Muhammadiyah adalah penanda modernisasi telah bekerja dengan baik. Di dalam konteks peradaban dunia, literasi dan perpustakaan adalah penanda kejayaan bangsa itu semua. Mereka nyaris meyakini bahwa ‘buku mengubah takdir bangsa-bangsa’ atau dalam istilah seorang sastrawan ‘orang-orang mengubah takdir buku, buku mengubah takdir orang-orang’. Zaman ini selain banyak kekacauan, juga ada banyak harapan dari kemeriahan kebangkitan gerakan literasi yang ditandai dengan kekuatan berkumpul, berbagi, bergerak Bersama dalam kolaborasi. Ribuan forum telah diselenggarakan dan dirawat oleh kader kader literasi Muhammadiyah. Saya bersyukur turut berada dari dalam kegiatan-kegiatan tersebut—menyaksikan suasana kebatinan Muhammadiyah yang tanpa padam ikhtiar mencerdaskan bangsa.
***
Secara teoritik, ada dimensi literasi yang sangat kuat mendorong praktik sosial emansipatif, misalnya sebagaimana yang dikatakan oleh Barton dan Hamilton(2000) dalam Situated literacy yang memaknai literasi sebagai praktik sosial. Sebagai praktik sosial literasi dimaknai (1) serangkaian praktik sosial yang terkandung peristiwa dan teks; (2)ada beragam jenis literasi sesuai dengan kompleksitas masyarakat misalnya online offline, sastra,, keuangan, lingkungan, dsb; (3) praktik literasi juga terhubung dengan institusi sosial dan relasi kekuasaan; (4)tujan literasi terkait dengan tujuan sosial dan budaya yang dirawat oleh masyarakat; (5) terikat konteks sejarah; dan (6) literasi dapat berubah berkembang dari proses pembelajaran dan pembentukan makna (meaning-making).
Saya ingin memberikan contoh. Gerakan literasi pada gerakan perempuan di Muhammadiyah tentu bukanlah sebuah proses membangun keterampilan semata (tindakan kognitif), namun literasi juga sangat kuat dimaknai sebagai proses yang terpapar oleh ideologisasi dan transformasi yang hendak diperjuangkan dalam sebuah gerakan. Gerakan perempuan maju dan pintar adalah sebuah diskursus emansipatif ditengah praktik dominasi yang secara diam-diam dilanggengkan oleh relasi kuasa tertentu. Gerakan literasi oleh aktifis pergerakan adalah ihwal gerakan berbasis kenyataan dan hari ini juga merambah pendekatan dan penciptakan kepada kenyataan baru di dunia lain seperti gerakan Parenting Online, gerakan perempuan ngeblog (pengalaman Buruh Migran Indonesia di Hongkong, misal). Gerakan literasi juga menyangkut pertempuan makna sosial sehingga gerakan ini disebut sebagai gerakan literasi ideologis dan yang hanya berorientasi kepada skill dan kognitif disebut sebagai literasi otonom (Jack Goody, 1972) atau saya menyebutnya developmentalis.
Asumsi paling kuat dalam literasi madzab developmentalis ini adalah bahwa perempuan yang bisa membaca dan menulis akan meningkatkan kemampuan kognitif, akan meningkatkan taraf hidup, dan menjadikan seseorang lebih berdaya. Tentu saja ini tidak seenuhnya salah namun dunia kenyataan hari ini memberikan informasi bahwa mampu membaca dan menulis saja belum menjamin daya tahan seseorang menjalani guncangan kehidupan modern yang kompetitif. Data Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan 90% orang Indonesia telah melek aksara, tinggal sekitar 3,76 juta yang buta aksara (kemendikbud, 2015). Namun kemelekaksaraan ini nampaknya perlu dipekruat lagi dengan gerakan literasi yang lebih aktual dan kreatif untuk diarahkan kepada nilai-nilai emansipatif dan transformatif. Bagaimana caranya?
Optimis sekalai lantaran infrastruktur untuk gerakan literasi di lingkungan Muhammadiyah dapat diperlihatkan dari data sumber daya yang dirilis di Muhammadiyah.or.id yaitu jumlah potensi perpustakaan di Muhammadiyah yang sampai 23.362 buah yang bida diperkuat dari jumlah Lembaga Pendidikan, pesantren, Rumah sakit, masjid, dan sebagainya. Tugasnya adalah, bagaimana modal besar ini kelak dapat mengawal Muhammadiyah dan bangsa memasuki abad-abad barunya adalah sebagian besar tergantung pada kader literasi di lingkungan Muhammadiyah. Kader literasi yang tumbuh dalam beragam kiprahnya di Lembaga Pendidikan, masjid, pesantren, sekolah, dan Komunitas-komunitas kultural Muhammadiyah. Mereka adalah sebagian besar kaum muda, minimal berjiwa muda, yang belum lama ini telah mengikrarkan diri untuk memperkuat tradisi ilmu pengetahuan (literated) dalam sebuah wadah Serikat Taman Pustaka (STP).
Kehadiran beragam Komunitas di lingkungan Muhammadiyah termasuk jejaring Nasyiatul Aisyiyah merupakan kekuatan dahsyat sebagai ‘mesin’ perubahan. untuk kembali menggerakkan zaman pengetahuan di era yang terus menggelisahkan baik apa yang disebut para ilmuwan sebagai era post truth atau zaman post normal. Serikat Taman Pustaka adalah spirit merayakan legasi gerakan literasi yang ada di Muhammadiyah. Setidaknya forum milik Bersama ini punya nilai utamanya antara lain: Pertama, berguna untuk membangun dialog dan diskursus yang inklusif bagi eksosistem pengetahuan di lingkungan persyarakatan. Kedua, memproduski pengetahuan dan menciptakan karya-karya yang monumental bagi peradaban. Sebagai sebuah visi, ambisi ini dapat dibenarkan dan sangat pantas diperjuangkan.
Literasi Aktual
Kiprah Muhammadiyah dalam literasi bisa dimulai dari pembentukan bahagian poetaka pada tahun 1919 lalu dilahirkan perpustakaan atau biblioteke Muhmmadiyah yang terus menginspirasi sepanjang massa. Bahkan, gerakan literasi ini juga bertransformasi dalam pengguatan otonomi perempuan. Perempuan pintar dan maju itu sangat mewarnai kemajuan dan keunggulan Komunitas baik di level keluarga, masyarakat, atau bangsa, dan dunia. Penjelasan tentang kuatnya entitas kehidupan karena perempuannya berdaya, perempuan mendapatkan atau memiliki akses yang setara dan kuat akan sumber-sumber kemajuan. Kalimat ini nampaknya diskriminatif, namun karena situasi dan kondisi yang secara faktual telah meminggirkan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan wabilkhusus di dalam kasus negara-negara mayoritas Islam—dimana akses Pendidikan dan Pendidikan tinggi sangat dirasakan diskriminasi itu nampaknya terstruktur dan dilegitimasi oleh budaya dan atau agama (teologi). Beruntunglah di persyarikatan Muhammadiyah ada professor perempuan pertama di Indonesia yaitu Prof Baroroh Baried, ada perempuan muda Malala Yousafzai penerima Nobel tahun 2014, senator dan anggota parlemen serta kepala negara di berbagai belahan bumi dari golongan perempuan dan juga belum lama ini ada remaja perempuan aktifis lingkungan yang sangat berpengaruh seperti Wangari Maathai (penerima nobel, gerakannya dapat dibaca di http://www.greenbeltmovement.org/) dan remaja Greta Thunberg (Swedia).
Perempuan harus pintar dan maju telah atau dengan kalimat lainnya Pendidikan untuk semua (education for all) dipopulerkan oleh Aisyiyah (sayap Perempuan Muhammadiyah), juga Pendidikan TK ABA yang ‘dirintis’ oleh Aisyiyah/Nasyiatu Aisyiyah yang kini berumur satu abad menjadikan perjuangan Pendidikan atau literasi itu telah berakar kuat sebagai sebuah praktisk sosial-keagamaan dalam tubuh aktifitas perempuan Muhammadiyah sejak serratus tahun lalu. Di dalam buku gerakan putri Islam juga disebutkan, bahwa Siswo Proyo Wanito yang kini dikenal sebagai Nasyiatul Aisyiyah telah merintis perpustakaan Komunitas di kampoeng Kauman Yogyakarta. Pendidikan dna literasi adalah kembar siam tak terpisahkan. Jadi, jika bergerak dalam ranah Pendidikan jangan pernah merasa awam dalam gerakan literasi. Ini saya tekankan karena ada situasi di kalangan kader Nasyiah di bawah yang rada canggung menyatakan
Kilas sejarah, Bahagian Taman Pustaka sebagai karya bersejarah tahun depan genap berusia seratus tahun (1920-2020). Kiai Haji Achmad Dahlan sendiri yang menunjuk Haji Mokhtar dalam rapat istimewa dan terbatas yang dipimpinan KHA Dahlan di Kampung Kauman, Yogyakarta. Bagian Taman Pustaka yang salah satu urusan pentingnya adalah mengurus biblioteka Muhammadiyah dan penerbitan majalah serta percetakan. Urusan taman pustaka dalam bentuk perpustakaan rakyat muncul diberbagai daerah sebagai upaya membangun masyarakat melalui jalur literasi. Keyakinan pentingnya bangunan literasi sebagai upaya pembangunan manusia seutuhnya ini jelas adalah hasil permenungan yang jernih dan visioner KHA Dahlan sehingga empat ‘majelis’ utama dan pertama yangd perlukan Muhammadiyah saat itu salah satunya adalah urusan kepustakaan (baca: Majelis Pustaka). Seratus tahun gerakan literasi Muhammadiyah adalah tilas dan jejak tak terlupakan akan kemegahan gerakan Islam Indonesia—islam modern yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat memajukan kehidupan umum. Bibliotheek Muhammadiyah atau disebut ‘Gedoeng Boekoe’ tak lebih tak kurang adalah perpustakaan yang kita kenal hari ini atau yang kita kenal pula hari ini sebagai taman pustaka atau sejenis rumah baca yang terbuka bagi siapa saja yang hendak memintarkan dirinya.
Bibliotheek yang digarap bagian taman pustaka adalah konsep pelayanan perpustakaan oemoem alias perpustakaan inklusif (terbuka/accessible) yang belum lama ini digaungkan Perpustakaan Nasional RI. Muhammadiyah telah memulai seratus tahun lalu. Muhammadiyah dengan taman pustakanya memanglah punya visi yang jauh melampaui zamannya. Inilah sekilas rekam jejak satu abad Taman Pustaka 1920-2020.
Dengan demikian, pegiat dan penggerak literasi di dalam Muhammadiyah dan Komunitas warga Muhammadiyah haruslah penuh kepercayaan diri dan dedikasi yang kuat seperti kaum jihadis pengetahuan dalam Muhamamdiyah serratus tahun silam. Dengan mengambil kekuatan dari sejarah perjuangan literasi Muhammadiyah ini, pegiat harus penuh inspirasi untuk mendayagunakan kreatifitasnya, memobilisasi sumberdaya, memperkuat amal jariyah bidang ilmu pengetahuan. Mengapa? Karena kita adalah perintis dan pelopor, sekaligus penggerak, dan tugas sekarang adalah sebagai pembangkit kembali spirit pencerahan dengan jalan menggerakkan pengetahuan seluas-luasnya, seadil-adilnya, dan radikal-radikalnya. Tanpa itu, kita malu pada sejarah perjuangan para pembawa obor pengetahuan di Muhammadiyah yang hidup di zaman tuna kemerdekaan.
Menyalakan Gerakan, Mencerdaskan Bangsa
Terpaksa saya harus menuliskan ini dengan menambah data-data agar pembaca yang awam tentang gerakan literasi di Muhammadiyah menjadi lebih mengerti dan mengapresiasi bagaimana hidup dan tumbuh kembang gerakan ilmu dari rahiem dan Rumah persyarakiatan Muhammadiyah. Juga untuk tujuan utama saya, agar penggeraknliterasi di Muhammadiy lebih percaya diri akan peran kesejarahan yang telah dan sedang dilakoninya dalam merubah dunia dengan pengetahuan.
Hitungan kasar saya potensi dan jumah perpustakaan (baik Lembaga Pendidikan maupun Komunitas di lingkungan Muhammadiyah ada sebanyak 33.068 perpustakaan. sementara jumlah Perpustakaan Indonesia yang juara kedua terbanyak di Dunia berjumlah 164.610 perpustakaan. Muhammadiyah menyumbang sangat besar jumlah itu sekitar 20,5%. Berdasarkan data dari OCLC (Online Computer Library Center) Lembaga jejaring Perpustakaan yang berbasis di Amerika Serikat tahun 2018 menempatkan Indonesia menempati peringkat ke-2 dunia jumlah perpustakaan tertinggi. India menempati posisi pertama dengan jumlah 323,605 perpustakaan. Peringkat ke-3 Rusia 113,440 perpustakaan dan ke-4 China 105,831 perpustakaan. Jika kontribusi Muhammadiyah ini dapat dianalogikan dengan capakaian angka kegemaran membaca berdasarkan hasil survey World Culture Index Score 2018 kegemaran membaca Indonesia menempati urutan ke-17 dari 30 negara. Dalam hal membaca rata-rata orang Indonesia menghabisakan waktu membaca sebanyak 6 jam/minggu, mengalahkan Argentina, Turki, Spanyol, Kanada, Jerman, Amerika Serikat, italia, Mexico, Inggris, Brazil, Taiwan, Jepang dengan masing-masing 3 jam/minggu. Hal ini adalah kabar baik karena pada tahun 2014 indonesia menempati urutan 60 dari 61 dalam hal literasi dan membaca yang menjadikan sebagian anak bangsa psimis merespon gerakan literasi.
Itu soal statistik yang setidaknya berguna untuk memperkuat gerakan. Namun perlu sekali penguatan gerakan literasi di Muhammadiyah diarahkan kepada upaya membangun keberdayaan manusia ditengah ancaman insignifikansi dan irrelevansi di tengah masyarakat yang berubah. Karenanya Muhammadiyah terus menerus memperbaiki perannya di dalam menyediakan sumber pengetahuan dan memberikan akses yang luas serta inklusif untuk membela martabat manusia seutuhnya. Ke depan, Muhammadiyah perlu sekali mendemokratisasikan pengetahuan semaksimal mungkin demi kebaikan kehidupan bersama yang lebih adil, beradab, dan manusiawi.
Gerakan literasi yang dijalani Muhammadiyah hari ini dan di masa depan adalah gerakan dengan karakter (1) inklusif artinya tidak punya tendensi ruang baca-belajar ini hanyalah untuk anggota semata; (2) aksesibel yang artinnya bacaan dapat diperoleh secara murah bahkan cuma-cuma. Dalam zaman sekarang ini sudah banyak tumbuh perpustakaan komunitas yang suka berbagi bahan bacaan secara gratis bahkan tanpa syarat sebagaimana yang dilakukan taman pustaka yang berbentuk dan bermodel dakwah Komunitas literasi. Gerakan Taman Pustaka ini telah menginsipirasi ribuan taman baca dengan ciri pro aktif, tidak birokratis, dan gratis yang kini dimanfaatkan banyak orang di berbagai pelosok Indonesia. Termasuk, nyala terang gerakan literasi dalam Rumah Baca Mahardika yang dipelopori UMY di Kokoda, Papua beberapa tahun terakhir ini. Seacara umum, Muhammadiyah sangat mampu memberdayakan kadernya untuk mendorong praktik literasi sebagai Pendidikan insani yang memberikan maslahat secara sosial ekonomi dan sekaligus sebagai pembangunan makna bagi kehidupan aktual masyarakat. Ada banyak contohnya, untuk menyebutkan adalah gerakan Rumah baca cahaya di Lamongan oleh dua kader pasangan suami istri pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiah, juga Griya Baca Komunitas di Metro Lampung yang juga aktor penggerakknya suami istri kader muda Muhammadiyah.
Kerja literasi Muhammadiyah sesungguhnya adalah soal memuliakan kehidupan, memartabatkan manusia. Sehingga Praktik-praktik baik demikian muda ditemui, karena itu bukti bahwa Muhammadiyah terlatih lebih dari seratus tahun bergerak dan menggerakkan literasi. Kerja belum selesai, energi besar harus terus menerus diperbaharui di setiap setahun bertambah usianya. Selamat Milad ke-107 Tahun Muhammadiyah.
*Dosen Fisipol UMY dan Ketua Serikat Taman Pustaka Muhammadiyah