Perspektif

Apa Saya Masih (Dianggap) Muhammadiyah Sedangkan Saya Merokok?

3 Mins read

Oleh: Hendra Hari Wahyudi*

Beberapa pekan lalu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dengan nomor 01/PER/I.1/E/2020 tentang Hukum Merokok e-Cigarette pada 14 Januari 2020 di Yogyakarta. Seakan semakin menegaskan fatwa haram rokok yang juga dikeluarkan pada nomor 6/SM/MTT/III/2010 tentang hukum merokok.

Membaca tulisan Ustadz Nurbani Yusuf di ibtimes.id ‘Dosa Besar’ Pembuat Fatwa Haram Rokok (27/01/2020) lalu rasanya membuat hati saya dan mungkin penikmat rokok yang masih aktif di Persyarikatan merasa malu. Meski pada tulisan tersebut secara realita memang begitu adanya, namun akan lebih tegas lagi ketika fatwa barang yang sudah dilabel haram tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan direhabilitasi, diisolasi dari jamaah, dibebastugaskan atau dipecat dari keanggotaan, dan dilorot dari jabatan. Mungkin surat peringatan dari pimpinan terdekatnya.

Merokok adalah Kebutuhan Kami

Sebagai perokok aktif, saya, (dan mungkin) anggota, dan aktifis serta simpatisan Persyarikatan menyadari bahaya dari rokok serta dasar yang menjadi fatwa tersebut, surat Al Baqarah ayat 195 dan An Nisa’ ayat 29. Namun, rokok rasanya sudah menjadi kebutuhan bagi kami yang merokok aktif. “Kami sulit berhenti merokok” adalah alibi yang seakan tidak masuk diakal lagi. Karena untuk berhenti merokok, di jaman sekarang ini banyak sekali caranya. Mulai dari terapi hingga obat herbal untuk menghentikan rasa candu pada rokok.

Tak jarang juga pimpinan baik di ranting, cabang, ataupun daerah juga masih merokok. Apakah fatwa tahun 2010 itu hanya bersifat himbauan? Menurut Wikipedia, fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam.

Fatwa sendiri dalam bahasa Arab artinya adalah “nasihat”, “petuah”, “jawaban” atau “pendapat”. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.

Baca Juga  Silsilah Guru dalam Lapak Ilmu

Rokok merupakan salah satu penyumbang besar penerimaan negara, penerimaan bea dan cukai mencapai 79,19% dari target APBN 2019 sebesar Rp 158,85 triliun dan naik 16,65% secara tahunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan penerimaan bea dan cukai secara keseluruhan naik 9,13% yoy. Setelah cukai hasil tembakau, kontributor terbesar penerimaan bea dan cukai berikutnya hingga 12 November 2019 yaitu penerimaan bea masuk sebesar 18,98% atau Rp 31,41 triliun sebagai dilansir oleh katadata.co.id (14/11/2019).

Selain sebagai penyumbang negara, rokok juga menjadi salag satu faktor kemiskinan. Dilansir detik.com 15 Juli 2019, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan harga rokok kretek filter menjadi faktor utama penyumbang kemiskinan. Harga rokok memiliki andil terhadap kemiskinan 11,38% di pedesaan dan di perkotaan 12,22%. Mungkin juga ini salah satu alasan kenapa fatwa haram rokok baik elektrik maupun kretek dan vape lahir demi menjaga warganya.

Perokok yang Merasa Berdosa

Dilansir tribunjogja.com (17/04/2018), perokok aktif di Indonesia capai 60 juta orang, dan 70 persennya merupakan warga miskin dan anak-anak. Kementerian Kesehatan pada 2017 menyatakan, bahwa lebih dari 36% populasi dewasa di Indonesia merupakan perokok.

Merokok juga sering dianggap sebagai pemborosan, boros adalah menggunakan sesuatu tanpa membutuhkannya. Namun menurut saya, jika seseorang merokok dalam keadaan membutuhkannya maka ia tidaklah pemboros karena rokok ternyata kebutuhan sehari-harinya juga. Meski banyak juga alasan kenapa orang merokok, mulai dari gaya, hingga kebutuhan tadi.

Sebagai kader, dan warga Muhammadiyah ber-KTAM, saya ataupun lainnya yang juga penikmat rokok, sudah seharusnya “sami’na wa atho’na“. Tapi meninggalkan suatu hal yang sudah menjadi kebutuhan tidaklah mudah, salah satunya rokok ini. Perokok aktif mungkin akan merasa sangat berdosa saat sedang menikmati sebatang rokoknya dengan mengingat fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid tadi.

Baca Juga  Pesantren Gua Tsur: Refleksi Filosofis dari Hijrahnya Rasulullah

Allah SWT memberikan nikmat yang begitu banyak kepada hamba-Nya, namun Allah SWT juga mengingatkan kita untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang baik dan halal, karena halal sejatinya adalah kebutuhan sebagaimana tulisan saya Halal adalah Kebutuhan, Bukan Pilihan (28/01/2020).

Kembali kepada masalah rokok, jika melihat realitanya, kami sebagai perokok baik yang mengabdi dan bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) atau tidak, masih bisa untuk tidak merokok di areal AUM, terutama sekolah/madrasah. Namun, fatwa tetaplah fatwa yang harusnya kita Sami’na wa Atho’na akan hal itu. Mau di luar atau didalam lingkungan AUM, harusnya kita mengindahkan fatwa tersebut.

Apa saya dan para warga Muhammadiyah yang merokok berdosa ketika tidak ‘menggubris’ fatwa tersebut? Apakah saya (yang perokok) ini masih ‘dianggap’ menjadi bagian dari warga Persyarikatan? Dan apakah saya masih pantas disebut warga Muhammadiyah sedangkan saya merokok?

Semoga Saya Tetap Dianggap Muhammadiyah

Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu menghantui perasaan dan yang membuat hati saya, dan warga Muhammadiyah lainnya yang masih menikmati rokok bimbang dan mungkin nantinya akan mendapatkan jawaban. Fatwa tahun 2010 dan dipertegas di 2020 seakan membuat saya dilematis, antara kebutuhan dan mengikuti nasihat serta himbauan kebaikan dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tersebut. Kata ‘haram’ adalah kata yang pasti dan harus dijauhi barang atau makanan yang sudah dilabeli kata tersebut.

Haram yang meliputi sebuah perbuatan yang dilarang, sebab sesuatu yang mengakibatkan haram untuk dilakukan dan di konsumsi. Namun sebagai orang awam dan miskin ilmu, saya berharap semoga Allah SWT mengampuni saya jika merokok yang sudah menjadi kebutuhan itu merupakan perbuatan dan masuk sebagai makanan haram. Semoga tetap ‘diakui’ sebagai warga Persyarikatan meski saya sebagai perokok aktif.

Baca Juga  Andai Thomas Djamaluddin Bertemu Abu Nawas

*) Guru di MI Muhammadiyah 06 Tebluru, Solokuro, Lamongan

Editor: Nabhan

Hendra Hari Wahyudi
97 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2022-2027
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds