Oleh: Hatib Rahmawan*
Muhammadiyah sejak berdiri selalu memosisikan diri sebagai Islam moderat (Washathiyah) yang mengabdikan gerakannya pada dakwah amar makruf dan nahi munkar. Pondasi tersebut memiliki dasar teologis yang menghujam kuat serta berurat dan berakar dalam kebijakan organisasi dan perilaku pengikutnya.
Penampilan KH. Ahmad Dahlan yang menggunakan sorban disertai baju jas ala Belanda (sinyo Londo) kemudian menggunakan jarik dan sandal Jawa merupakan sebuah bukti teologis yang tidak terbantahkan.
Penampilan tersebut menurut Kuntowijoyo adalah implementasi dari supra struktur yang ada dalam diri manusia. Supra struktur adalah sistem keyakinan yang menjadi dasar bersikap.
Jadi, penampilan KH Ahmad Dahlan tersebut merupakan hasil dialektika terhadap hadis dlaif tentang tasyabuh yang menolak segala bentuk peniruan terhadap orang kafir dalam hal ini orang-orang Belanda.
KH Ahmad Dahlan tidak memilih argumentasi verbal yang justru menghasilkan debat kusir berkepanjangan, melainkan memilih sikap nyata dalam kehidupan.
Sikap KH Ahmad Dahlan tersebut sebenarnya ingin menyampaikan dua argumentasi; 1) bahwa adaptasi dan adopsi terhadap budaya non muslim diperbolehkan selama tidak merusak syariat, akidah, dan akhlak serta memiliki nilai maslahah (manfaat); 2) bahwa perkara yang tidak diperkenankan dalam tasyabuh adalah terkait ibadah dan akidah. Di sinilah berlaku hukum lakum diinukum walii yadiin (agamu agamamu, agamaku agamaku).
KH Ahmad Dahlan sebenarnya menghendaki bahwa umat Islam jangan berada pada titik ekstrem kanan, yakni menjadi konservatif dengan membabi-buta menolak segala sesuatu dari non Muslim.
Begitu juga sebaliknya, jangan menjadi ekstrem kiri yang menerima dan memakai apapun dari non Muslim tanpa filter yang kritis. Oleh karena itu sikap Washathiyah yang ditunjukkan oleh beliau adalah proses adaptasi dan adopsi yang kritis.
Itulah sebabnya rumusan tajdid Muhammadiyah ada dua hal; 1) purifiksi dalam urusan ibadah dan akidah; 2) dinamisasi dalam urusan mu’amalah duniawiyah. Sikap tajdid Muhammadiyah inilah yang membedakan dengan gerakan Salafi dan kelompok Islam liberal.
Gerakan Salafi berada pada titik ekstrem kanan yang mempurifikasi segala hal, mulai dari ibadah, akidah, hingga mu’amalah. Itulah sebabnya mereka mengharamkan musik, gambar, dan acara maulid Nabi Saw. Sementara orang-orang liberal sebaliknya, berada pada titik ekstrem kiri yang mendinamiskan segala hal, mulai akidah, ibadah, apalagi mu’amalah.
Gerakan Washathiyah Perspektif Global
Buya Yunahar Ilyas (Allahu yarham), dalam perkaderan Baitul Arqam sempat membicarakan hal ini. Menurut beliau, Muhammadiyah sebagai gerakan Washathiyah bukan bersikap moderat karena tuntutan zaman, yakni takut dianggap ekstremis.
Sikap Washathiyah yang diyakini Muhammadiyah merupakan sikap hidup yang bersumber dalam ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan sunah. Jadi ada proyek deradikalisasi atau tidak, memang Washathiyah menjadi sikap gerakan Muhammadiyah sampai kapanpun.
Sikap Washathiyah ditegaskan dalam Al-Qur’an dengan sebutan “ummatan washathan”. Untuk menjadi Ummatan Washathon, setidaknya harus memiliki empat sikap; pertama, bersikap adil (‘adil). Muhammadiyah harus menjadi umat atau kelompok (entitas) Muslim yang menjaga keadilan.
Dalam kondisi apapun Muhammadiyah harus berupaya menjadikan keadilan sebagai dasar dan sikap perjuangannya. Keadilan tidak hanya pemerataan (distributif), melainkan juga, sebagaimana yang dijelaskan Prof. Syamsul Anwar, keadilan juga harus secara substantif. Jihad konstitusi merupakan bagian dari sikap ini.
Kedua, bersikap tawazun (seimbang). Muhammadiyah harus seimbang dalam segala hal, baik perkara dunia maupun agama. Dalam urusan dunia berlebih-lebihan sering disebut juga israf.
Sementara berlebih-lebihan dalam urusan agama disebut ghuluww. Dalam wilayah keilmuan, Muhammadiyah harus objektif dengan meninggalkan fanatisme atau taqlid.
Fanatisme menurut Buya Syafi’i adalah musuh peradaban. Itulah sebabnya dalam fikih, Muhammadiyah menggunakan model manhaji ketimbang mazhabi. Sebab Fikih Manhaji lebih dialektis dan antisipatif terhadap perubahan zaman.
Ketiga, bersikap ihsan (yang terbaik). Dalam bahasa Arab kata washathan juga bermakna ihsan. Berarti menjadi ummatan washathan adalah menjadi umat dengan sikap terbaik. Be the best, berusaha menunjukan dan menjadi yang terbaik di segala hal.
Kalau khairu ummah merupakan garansi langsung dari Allah, maka ummat washathan merupakan jalan hidup umat Islam. Bisa dikatakan supra strukturnya (deep faith) khairu ummah, maka di permukaan adalah ummatan washathan.
Keempat, bersikap ishlah (yang mencerahkan). Jadi, ummatan washathan adalah umat yang cinta perdamaian dalam pengertian aktif, bukan pasif. Perdamaian di sini bukan seperti toleransi dan sikap inklusif, yang membolehkan perbedaan namun di dalam hati menyimpan kecurigaan.
Seperti yang dikatakan Kuntowijoyo, hal tersebut harus dibalut dengan pluralisme, yakni kesadaran bahwa semua manusia berhak memilih keyakinannya masing-masing tanpa sebuah paksaan dan kecurigaan.
Konsep islah ini harus dipandang dalam perspektif yang lebih luas, bukan inward looking, untuk internal umat Islam saja. Melainkan untuk umat manusia seluruhnya. Karena menurut Hamka, manusia itu min nafsin wahidah, manusia itu satu ke satuan.
Dalam hadis dijelaskan membunuh satu orang sama saja membunuh manusia seluruhnya. Artinya urusan kemanusiaan adalah urusan dunia. Amin Rais dalam Tauhid Sosial menyebutnya dengan unity of mankind (kesatuan penciptaan). Karena manusia setara di hadapan Tuhan, maka segala bentuk penindasan atas nama apapun tidak diperkenankan.
Oleh sebab itu, cara pandang yang digunakan harus global. Islah akan tercapai jika kita merasa sebagai penduduk dunia, bukan hanya penduduk sebuah bangsa tertentu. Fethullah Gulen menyebutnya global citizenship. Islam sebagai rahmat alam semesta menuntut perspektif seperti itu. Wallahu’alam bishawab.
*Ketua MPK PWM DIY, Dosen Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.