Falsafah

Amanah: Syarat Kepatuhan Kepada Ulil Amri

2 Mins read

Oleh: Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo*

Apakah perlunya negara memiliki kedaulatan? Baik dalam arti luas atau terbatas, yakni di dalam arti berkekuasaan penuh/absolut, atau dalam arti ketidakbergantungan kepada orang lain dan negara lain? Hasilnya, toh hanya hidup resah gelisah. Tiada damai di dunia, baik di masyarakat maupun di hati masing-masing manusia. Jika begitu, maka lebih baiklah untuk mengikuti pelajaran-pelajaran Islam dalam sebagai berikut.

Muslim dan Kedaulatan Allah

Sejak awalnya si Muslim tahu dan yakin bahwa tidak menjadi tujuan untuk mencapai ”kedaulatan negara.” Sebab, negara itu toh hanya makhluk belaka. ”Kedaulatan” tersebut selalu akan kalah dan harus tunduk kepada ”kedaulatan Allah.” Karena hanya Allah Al-Khalik yang mutlak dan berkuasa penuh. Lebih baik si Muslim menyesuaikan diri dengan kehendak/hukum Allah, apalagi karena Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang penuh dengan kasih-sayang tanpa batas.

Sebelumnya telah diuraikan bahwa yang penting dari persoalan ”kedaulatan negara” itu ialah the man, bukan the gun-nya. Oleh sebab itu, Islam pun meletakkan perhatiannya kepada unsur manusia supaya menjadi Muttaqin (manusia bertakwa kepada Allah). Karena takwa itulah satu-satunya ukuran objektif dari Allah kepada manusia tanpa pilih bulu.

Tidak diukurkan oleh Allah sebagai ukuran banyaknya atau besarnya gaji atau uang yang diperoleh. Tidak pula cantiknya isteri atau gantengnya suami. Pun tidak empuknya kursi/kedudukan atau tingginya pangkat. Juga tidak pintarnya omong atau debat! Oleh karena itu, segala uraian sebelumnya pada ”kedaulatan rakyat/umat” mengenai perutusan Nabi Muhammad, pewahyuan dan fungsi Al-Quran sebagai hudan/pedoman hidup dan lain sebagainya, berlaku pula bagi pembinaan the man yang berdiri di belakang the gun pada ”kedaulatan negara”(staatsouvereiniteit).

Ulil Amri

Mengenai ”ulil amri“, yakni pemimpin kaum Muslimin, baik dalam lapangan keduniaan, maupun lapangan kerohanian. Merekapun dinamakan ”ahlul halli wal ’aqdi.” Artinya, mereka yang bisa menyelesaikan dan mengatur urusan Muslimin. Perintah mereka wajib dituruti, asal tidak bertentangan dengan perintah Allah. Ada Hadits tidak dibolehkan mematuhi perintah (manusia) makhluk, kalau mendurhakai perintah Khalik (Allah).

Kepatuhan kepada ulil amri itu dapat dibaca di dalam Quran Surat An-Nisa’ ayat 59: ”Hai orang-orang yang beriman! Turutlah Allah dan turutlah Rasul dan ulil amri dari antaramu dan kalau kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya.”

Dengan ayat ini, maka segala sengketa yang tidak diperdapat persesuaian faham ulul amri dan yang lain, soalnya harus dikembalikan kepada dasar-dasar dan pokok-pokok dalam al-Quran dan Sunnah Rasul untuk dapat diselesaikan. Dengan begitu, dapat diambil kesimpulan, bahwa ulil amri atau pemerintah menurut Islam wajib mematuhi Quran dan Sunnah Rasul sebagai perwujudan daripada patuh kepada Allah dan Rasul.

Kepatuhan Kepada Pemimpin Amanah

Lebih lanjut di ayat 58 Surat An-Nisa’, Allah memerintahkan kepada Muslimin sebagai berikut: ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyerahkan amanat (barang kepercayaan) kepada yang berhak dan apabila menghukum di antara manusia, hendaklah menghukum dengan adil, bahwa dengan itu Allah memberikan pelajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu; sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Melihat.”

Tafsir H Zainuddin Hamidy/Fakhruddin HS menegaskan bahwa ”amanah” yang ada di tangan kita, umpamanya kewajiban, tanggung jawab, barang petaruh, kiriman untuk orang lain dan lain sebagainya, hendaknya diserahkan kepada yang berhak (yang punya). Dalam perkataan ”amanah”ini termasuk tanggung jawab dari suatu jabatan atau pekerjaan yang diserahkan kepada kita. Sebab itu, wajiblah dilaksanakan menurut semestinya.

Demikian juga amanah yang ada di tangan rakyat umum. Untuk memilih dan menentukan orang-orang akan duduk dalam perwakilan dan pemerintahan, hendaklah diserahkan kepada orang-orang yang berhak, yaitu kepada ahlinya yang patut menerima. Karena apabila sesuatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, sudah tentu bahaya yang besar akan timbul. Sabda Nabi: ”Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah saat (kebinasaan).” Sebaliknya, mereka yang diserahi memegang kekuasaan itu, hendaklah menjalankan keadilan untuk kebahagiaan seluruh rakyat dengan memenuhi amanat.

Sumber: artikel “Hal Kedaulatan” ditulis oleh Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo dimuat di SM no. 5 dan 6/Th. Ke-58/1978. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id secara berseri dengan penyuntingan

Editor: Arif dan Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds