Oleh: Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo
Waktu membahas al-Quran Surat an-Nisa’ ayat 58, juga tercantum perintah Allah antara lain: ”Dan apabila menghukum di antara manusia, hendaklah menghukum dengan adil.” Menghukum di sini berarti mentafsirkan/melaksanakan/mendudukan hukum, sehingga hukum dan keadilan (yang menjadi maksud dari hukum itu) dapat ditegakkan sebagaimana mestinya.
Menegakkan Keadilan
Dan di dalam hubungan ini, tidak perlu dilupakan firman Allah di dalam al-Quran Surat ar-Rahman ayat 9, artinya: ”Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil, dan janganlah kamu mengurangi timbangan.”
Dalam pada itu, apalagi untuk hakim Islam, maka berlakulah perintah Allah seperti termuat dalam al-Quran Surat al-An’aam ayat 153, artinya: ”Sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka turutlah! Dan janganlah kamu turutkan jalan-jalan (yang lain), karena nanti kamu terpisah dari jalan Allah. Itulah yang diperintahkan Allah kepada kamu, mudah-mudahan kamu bertakwa (terpelihara dari kejahatan).”
Selanjutnya, dengan tegas Allah memerintahkan kepada semua manusia, apalagi para hakim, untuk mengadili atas dasar al-Quran, seperti terbaca pada Surat an-Nisaa’ ayat 105, artinya: ”Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkan Kitab kepada engkau dengan sebenarnya, supaya engkau dapat mengadili manusia menurut yang telah diperlihatkan Allah kepada engkau. Janganlah engkau menjadi pembela orang-orang yang khianat.”
Adapun yang dimaksud dengan ”khianat” ini terutama sekali ialah khianat kepada al-Quran. Khianat terhadap Sunnah Rasul. Dan juga jangan berkhianat kepada amanat yang dipercayakan kepada kamu, sedangkan kamu mengetahuinya.
Asbabun Nuzul
Menurut riwayat atau asbabun nuzul ayat 105 surat an-Nisaa’ ini, maka terjadilah suatu sengketa antara seorang Muslim dengan kaum Yahudi. Nabi Muhammad sebagai hakim justru mengalah Muslim tersebut. Adapun duduk perkara adalah sebagai berikut:
Ta’ma bin Ubairaq (seorang Muslim) telah mencuri baju tempur (zirah) yang kemudian telah disembunyikan pada seorang Yahudi. Ta’ma kemudian menuduh orang Yahudi itu sebagai pencuri. Akhirnya, Nabi Muhammad sebagai hakim. Sesudah memeriksa perkara tersebut dengan cermat, Nabi Muhammad memutuskan membebaskan Yahudi itu dari segala tuduhan dan menghukum Ta’ma sebagai pihak yang salah.
Di sinilah Nabi Muhammad sebagai hakim memberi contoh untuk mengakkan keadilan. Hukum yang harus diperlakukan ialah pedoman-pedoman yang dapat dibaca dalam al-Quran pada ayat-ayat yang bersangkutan. Sama sekali tidak dilihat manusianya, tetapi kasusnya secara obyektif. Belum tentu sesuatu tuduhan itu pasti benar, meskipun yang menghidangkan tuduhan itu, seorang Muslim. Dan belum tentu pula si tertuduh itu salah, meskipun dia seorang non Muslim! Juga kawan tidak selalu melakukan kebenaran di suatu perkara tertentu. Dan sebaliknya pun tidak selalu seorang lawan melakukan kesalahan! Tidak boleh ada prasangka. Tidak pula boleh ada dengki! Hakim harus obyektif atas dasar al-Quran.
Sumber: artikel “Hal Kedaulatan” ditulis oleh Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo dimuat di SM no. 6 dan 7/Th. Ke-58/1978. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id secara berseri dengan penyuntingan
Editor: Arif