InsightPerspektif

Posisi Pancasila dan Agama dalam Negara

2 Mins read

Belum genap sepekan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menjabat, telah menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat. Pernyataannya menuai banyak kritikan dari kalangan tokoh agama sampai dengan netizen. Sebagaimana diketahui, dalam sebuah media daring nasional, Yudian menuturkan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama bukan kesukuan.

Hal ini disebabkan adanya golongan tertentu yang mereduksi agama untuk kepentingannya sehingga bertentangan terhadap Pancasila. Kendati demikian, Ketua BPIP telah melakukan klarifikasi bahwa yang dimaksud bukanlah agama keseluruhan, melainkan pihak minoritas yang mengaku mayoritas dan mempertentangkan agama terhadap Pancasila.

Apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Pernyataan tersebut telah menjadi obrolan hangat dimasyarakat.  Lantas timbul pertanyaan apakah agama menjadi musuh Pancasila? Padahal sila pertama sudah jelas menerangkan muatan religiusitas atau yang sering kita kenali dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pancasila dan Agama

Sebelum dikenalnya Pancasila sebagai dasar negara, telah dimiliki Indonesia sebagai bagian dari adat istiadat dan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai Pancasila meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan nilai keadilan dicerminkan memalui olah laku tindakan kehidupan sehari-hari.

Demikian pula, Pancasila telah ada sebagai bagian dari agama yang menempati ruang kehidupan didalam masyarakat, kepatuhan terhadap kaidah keagaman dengan tidak menyudutkan suatu agama maupun kepercayaan. Praktik inilah yang dikenal sebagai wujud nilai-nilai religius.

Kemudian, nilai religiusitas dan nilai kebudayaan ini diolah, dibahas, dan dirumuskan secara seksama oleh pendiri bangsa melalui rapat BPUPKI, Panitia Sembilan sampai dengan pengesahan Pancasila oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara. Peristiwa inilah yang dikenal sebagai nilai kenegaraan.

Oleh sebab itu, Pancasila terwujud dalam tiga prakara (tiga asas) yakni Pancasila Kebudayaan, Pancasila Asas Religius serta Pancasila Asas Kenegaraan. Pada praktiknya, tidak dapat dipertentangkan, karena ketiganya saling terjalin satu sama lain dalam suatu proses kausalitas. Sehingga, ketiga hal ini hakikatnya merupakan unsur-unsur yang membentuk Pancasila (Notonagoro : 1975).

Baca Juga  Azyumardi Azra: Bukan Agama yang Tak Rukun, Tapi Umatnya!

Sehingga keberadaan agama memiliki hubungan kausalitas terhadap Pancasila yang tidak dapat dipertentangkan satu sama lain dan justru saling menguatkan.

Jaminan Konstitusi

Sementara itu, keberadaan sila pertama Pancasilaa yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai nilai dasar mengandung tujuan, cita-cita serta nilai-nilai yang baik dan benar. Oleh karena nilai-nilai dasar tersebut berssifat potensial, bukan keniscayaan dan kebudayaan yang mengandung nilai-nilai dasar Pancasila harus diperjuangkan (Gunardi: 2018)

Lantas nilai dasar ini selanjutnya diakomodir melalui nilai instrumental Pancasila yang dijabarkan secara dinamis, guna dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Bentuk nilai instrumental atas agama sila Pertama tercermin dalam Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Artinya, bahwa setiap warga negara dijamin atas pelaksanaan beragama dan keamanan dalam beragama. Negara bahkan memberikan jaminan, perlindungan bagi tiap penduduk untuk memeluk agama yang ia yakini, sebagaimana Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945.

 Di sisi lain, wujud penjaminan konstitusi terhadap para penganut agama tercermin dalam Pasal 28 E UUD 1945 bahwa: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Hal ini jelas memberikan gambaran bahwa perbedaan agama tidak untuk dipertentangkan melainkan penerimaan terhadap keberagaman memalui penerapan sikap berbasis “Bhinneka Tunggal Ika”, bukan berdasar doktrin agama tertentu.

Peran Agama

Kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini sering disandingkan dengan berbagai problematika pengaruh budaya luar yang bertentangan dengan nila-nilai kehidupan masyarakat. Hal tersebut melahirkan bentuk ketidaktahanan serta kemampuan masyarakat dalam menopang eksistensi keberadaannya. Menempatkan hubungan agama dan negara merupakan bentuk pembentangan diri sebagai identitas diri bangsa.

Faktanya di negara modern, liberal sekalipun, tidak dapat membuktikan adanya pemisahan antara negara dan agama. Negara dalam penyelenggaraannya terikat atas norma sosial di masyarakat termasuk norma agama yang terkandung di dalamnya. Sehingga, antara agama sebagai nilai yang memprakarsai lahirnya Pancasila justru tidak dapat dijadikan musuh, melainkan diakomodir dalam pelaksanaannya.

Baca Juga  Dampak Diskriminasi Terhadap Ahmadiyah, dari Trauma hingga Kehilangan Pekerjaan

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Aktivis Intelektual, Mahasiswa Magister Hukum UII
Articles
Related posts
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *