Perspektif

Mengembalikan Marwah Guru: Sebuah Refleksi Semacam Solusi

4 Mins read

Seketika ubun-ubun serasa mendidih dan syaraf mengendur. Marah, sedih, dan kecewa bila ada guru yang dipersekusi, diintimidasi, diteror oleh orang tua yang merasa punya kelebihan harta dan kuasa. Itulah yang selalu dirasakan ketika marwah guru tercabik baik secara fisik maupun psikis. Perundungan terhadap tulang punggung pendidikan ini makin hari makin menjadi. Teror, intimidasi, dan persekusi itu kadang berujung ganti rugi (materiil), jeruji, dan bahkan kematian.

Sebagai pegiat pendidikan yang baru seumur jagung dan pernah beberapa kali diteror dan dimaki oleh orang tua yang tak puas dengan performance sekolah, saya merasakan betul nafasnya para guru yang mengalami nasib serupa. Saya tak pernah mundur sejengkal pun selama yang diperjuangkan adalah kebenaran, mengembalikan marwah guru. Sebab, guru dan orang tua adalah mitra. Relasi keduanya haruslah dibangun secara egaliter, sepadan, inheren, saling melengkapi, dan menguatkan, bukan mengalienasi dan menisbikan.

Marwah Guru: Antara Pengetahuan, Cinta, dan Keikhlasan

Perlu diketahui wahai orang tua di mana pun tuan dan puan berada, kami sadari bahwa:

  1. Bargaining power dan bargaining position guru di mata (sebagian) orang tua sangatlah lemah, tak sebanding dengan orang tua yang berharta dan berkuasa. Modal kami hanyalah ilmu yang tak seberapa dan mungkin tak dibutuhkan lagi oleh manusia. Peran kami tak lagi dianggap penting untuk mencerdaskan bangsa, sebab bangsa ini sudah terlanjur cerdas sejak merdeka, bangsa ini telah melewati masa kritis kebodohannya, meski tak kunjung keluar dari kedunguannya.
  2. Kami hanya sekelompok orang nekat yang berupaya mempertahankan nilai-nilai agama, budaya, dan etika agar bangsa ini tak lekas binasa. Kesalahan terbesar kami adalah memilih bertahan di jalan sunyi pelurus peradaban. Kekuatan kami hanyalah moral semata, selebihnya kami tak punya.
  3. Terlalu banyak kelalaian, ketidaknyamanan, dan kekhilafan yang dipandang sebagai kegagalan dan membahayakan murid hingga layak dipolisikan dan diperlakukan semena-mena. Padahal selalu ada alasan rasional di balik semua itu, sebab hanya atas nama cinta dan keikhlasan kami berucap dan bertindak.
Baca Juga  Kegaduhan Generasi X dalam Wabah Corona

Pengetahuan, cinta, dan keikhlasan itu merupakan kunci bagi kami untuk menolong, membantu, dan mengantarkan siapa pun yang ingin mewujudkan impian masa depannya. Oleh karena itu, kita akhiri semua perdebatan dan perselisihan berbau arogan. Terlalu banyak pekerjaan rumah di depan mata yang perlu diselesaikan dari sekedar mengumbar panji harta dan kuasa. Tak akan berkurang sehasta pun kemuliaan kita sebagai manusia ketika kita memaafkan kesalahan orang lain. Terlebih guru anak-anak kita yang tak lelah mendidik dan membimbing mereka dengan Cinta.

Keinginan Guru itu Sederhana

Sebenarnya, tak banyak yang diminta sekolah atau guru sebagai pengabdi mimbar akademik itu. Sederhana saja harapan kami kepada para orang tua, kami hanya berpesan:

  1. Ikhlaskan anakmu dididik oleh guru di sekolahnya, mereka adalah guru terbaik yang Tuhan utus untuk mendidik anak-anakmu.
  2. Hargai, hormati, dan ikuti seluruh peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah. Sebab ia dibuat demi kenyamanan dan kelayakan pendidikan anak-anakmu. Sekira engkau tak sanggup ikut aturan, pilih sekolah yang mungkin cocok dengan seleramu.
  3. Hargai, hormati, dan ikuti saran-saran guru anakmu, mereka cukup mumpuni untuk mengarahkan anakmu sesuai dengan kebutuhannya. Memang masih banyak guru yang memiliki keterbatasan ilmu dan pengetahuan, tapi percayalah mereka akan memberikan yang terbaik untuk anakmu.
  4. Berikan perhatian dan pengertian kepada anak secara proporsional dan sesuai kebutuhan perkembangannya. Bukan berarti anak tak perlu dibela, tapi pastikan ia paham akan aturan agar tak gagap di kemudian hari, ia tahu disiplin dan tanggung jawab, kelak dewasa, matang, dan siap bertarung dengan kehidupan.
  5. Hindari kesalahan-kesalahan kecil baik disengaja atau pun tidak disengaja berikut ini:
  • Terlambat mengantar dan menjemput anak. Kebiasaan buruk ini berdampak pada kegagalan membangun pola anak di masa depan. Guru bekerja keras dua kali lebih berat untuk membangun pola bagi anak-anak ini.
  • Tidak memperhatikan informasi yang diberikan pihak sekolah. Kebiasaan buruk ini secara kumulatif merugikan anak, sebab terlalu sering ia terlambat menerima informasi akibat kelalaian orang tuanya, semakin terbenam kepercayaan dirinya.
  • Terlambat membayar biaya pendidikan anak. Kebiasaan buruk ini sangat mengganggu dan menyulitkan pengelola pendidikan dalam mengatur keuangan sekolah sesuai kebutuhan anak, dan masalah-masalah keuangan lainnya.
  • Mari kita gunakan akal Budi kita (bijak) demi kemaslahatan yang lebih besar (bajik) untuk bangsa dan negara kita tercinta.
Baca Juga  Krisis Identitas Pada Generasi Milenial

Perlu Perhatian Serius dari Pemerintah

Menurut survei The Global Teacher Status Index 2018, dari 35 negara yang mengikuti survei, Cina menjadi negara yang sangat menghargai guru di sekolah dengan ranking indeks 100. Cina tidak hanya menghormati para gurunya, kesejahteraan para gurunya juga sangat diperhatikan seperti memberikan gaji yang cukup (sumber; https://data.tempo.co/data/612/negara-yang-sangat-menghormati-guru-mereka?utm_source=Digital%20Marketing&utm_medium=Facebook&utm_campaign=Data_Tere).

Masih menurut sumber yang sama disebutkan bahwas selain Cina, para murid dan masyarakat di Malaysia dan Taiwan sangat menghargai para guru yang mengajar di sekolah dengan memberikan ranking indeks mencapai 93 dan 70. Indonesia berada di posisi lima besar dengan ranking indeks mencapai 62. Indonesia juga memberikan gaji yang cukup untuk para gurunya walaupun tidak mencapai 20 dollar Amerika per bulan (sumber; https://data.tempo.co/data/612/negara-yang-sangat-menghormati-guru-mereka?utm_source=Digital%20Marketing&utm_medium=Facebook&utm_campaign=Data_Tere).

Berpijak dari hasil survei tersebut, Indonesia lebih rendah dari pada China, Taiwan, dan Malaysia. Padahal, sebagai bangsa Timur yang sebagian besar beragama dan (konon) terbilang taat menjalankan perintah agama yang dianutnya itu, ke depannya Indonesia harus bisa melampaui China (Komunis). Pastikan penghormatan (adab) dan penghargaan (gaji dan fasilitas) itu pun tak boleh menafikan sikap kritis siswa terhadap ilmu (pengetahuan) itu sendiri, sikap kritis dibutuhkan untuk mereduksi krisis bangsa yang nyaris tak berujung ini.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada kegentingan yang memaksa kita untuk melakukan langkah-langkah strategis berkaitan dengan kesejahteraan dan imunitas atau perlindungan guru. Maraknya persekusi dari tahun ke tahun menyiratkan bahwa payung hukum yang selama digunakan sebagai tameng tak berjalan sesuai harapan. Marwah guru menjadi hilang. Sedangkan guru membutuhkan kepastian hukum untuk memperoleh keadilannya.

Payung hukum yang telah termaktub belum cukup untuk melindungi guru dari kesewenangan itu, harus ada kerelaan, keikhlasan, dan kesadaran kolektif dari semua pihak, agar penyelenggaraan pendidikan tak ternodai oleh oknum tak tahu diri. Sudah selaiknya pemerintah membentuk unit, biro, atau komisi khusus yang membentengi guru agar terbebas dari virus kesewenangan, dan bakteri arogansi, agar semua guru dapat mengabdi dengan percaya diri sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya (authority and responsibility) sebagaimana tersurat dalam UUD 1945, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Wallahu a’lam bi al-Shawwab

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds