Perspektif

Menjaga Ukhuwah Muhammadiyah-NU

2 Mins read

Penolakan acara Harlah NU 94 oleh warga Kauman di Masjid Gede ternyata berbuntut panjang. Meskipun acara tersebut pindah ke Kampus UNU, tetapi peristiwa tersebut tetap meninggalkan jejak digital yang tidak patut.

Ungkapan satir di media sosial terus saja berseliweran. Ada yang menuduh Muhammadiyah disusupi HTI dan Wahabi, jumud, putus asa, dan beragam tudingan yang tidak layak ditulis di sini.

Jika peristiwa tersebut membuat saudaraku Nahdliyyin tersinggung, maka permohonan maaf adalah kalimat yang tepat. Namun, hal ini tidak menyelesaikan masalah. Karena pokok masalahnya bukan itu, ada sub kultur lain yang perlu dipahami.

Pertama, tertib organisasi. Saudaraku Nahdliyyin mungkin tidak paham bahwa yang membesarkan Muhammadiyah adalah tradisi organisasi. Kesadaran berorganisasi sudah mendarah daging, kuat mengakar di persyarikatan, mulai dari Pimpinan hingga warganya.

Warga Muhammadiyah pasti paham, bahwa Masjid Gede Kauman adalah milik Kraton yang diperuntukkan untuk umum. Jadi, siapapun boleh menggunakannya.

Namun, jangan heran kalau kemudian ada kelompok yang ditolak menggunakan masjid tersebut. Bisa dipastikan karena alasan administrasi, seperti mendadak, tidak ada pemberitahuan, dan sebagainya. Seperti kasus acara Muslim United, dan terakhir Harlah NU 94. Sebenarnya, masih banyak kasus, tetapi tidak perlu dibahas di sini.

Tokoh sekaliber Buya Syafi’i (pada waktu itu menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah) saja pernah mengalami hal serupa. Beliau pernah tidak dapat masuk ke ruang sidang saat Muktamar karena lupa membawa co-card peserta.

Buya tidak marah kepada panitia yang melarang. Kalau itu sudah menjadi peraturan harus ditaati, ujar beliau. Akhirnya, beliau harus kembali ke kamar mengambil co-card tersebut. Itulah sebagian dari kultur tertib organisasi yang mengakar dan bentuk kepatuhan atas peraturan.

Baca Juga  Terima Kasih NU, Sebuah Catatan Ramadan

Kedua, menegakan keadilan. Menegakkan aturan harus dilandasi dengan keadilan. Tanpa keadilan aturan yang dibuat pasti berantakan. Hal ini menjadi etos Muhammadiyah, mulai dari Pimpinan dan warganya.

Mungkin, saudaraku Nahdliyyin belum mengetahuinya. Namun, bagi Muhammadiyah hal ini prinsip. Di Muhammadiyah tidak ada toleransi bagi hal prinsip seperti itu.

Sebagai contoh, di Mu’allimin (Madrasah milik PP Muhammadiyah), siswa yang masuk harus ikut tes. Siapapun yang tes, jika tidak lulus, tetap tidak diterima sebagai santri. Meskipun itu anak Ketua PP Muhammadiyah. Hal ini sampai sekarang masih berjalan. Inilah yang menjaga kualitas pendidikan di Muhammadiyah.

Taat pada aturan dan adil dalam menegakkannya terkadang memang pahit. Namun, begitulah cara Muhammadiyah berkembang. Jadi, tidak ada pimpinan yang absolut dan paling berkuasa di Muhammadiyah. Melainkan aturanlah yang mengatur pimpinan.

Jadi, seorang pimpinan di Muhammadiyah, tidak dapat seenaknya memakai fasilitas AUM. Harus ada surat peminjaman terlebih dulu. Di Muhammadiyah, Pimpinan yang sewenang-wenang, pasti akan ditinggalkan.

Ketiga, menjaga perasaan. Masjid Gede Kauman memang milik Kraton, namun dalam kenyataannya terletak di jantung warga Muhammadiyah. Warga sekitar menjadikan masjid tersebut sebagai rumah kedua.

Sebagai layaknya rumah, ada isinya, perabot, hiasan, dan aturan yang sudah menjadi tradisi, bukan hanya setahun dua tahun, melainkan sudah berabad-abad. Bisa kita bayangkan, jika rumah dengan isi dan aturannya itu, tiba-tibah oleh tamu mau diubah? Meskipun belum terjadi, pasti penghuni rumah akan marah.

Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan, itulah sebabnya, pimpinan warga setempat memilih upaya preventif, yakni menjaga keharmonisan Muhammadiyah-NU, ketimbang upaya persuasif, melerai ketika konflik terjadi. Jadi, upaya tersebut bukan untuk memutuskan silaturahim, na’uzubillah.

Keempat, perbedaan tradisi. Kita harus jujur bahwa Muhammadiyah dan NU memiliki tradisi yang berbeda. Di Muhammadiyah, pengajian paling lama satu sampai dua jam. Sementara di NU bisa sampai lima jam..

Baca Juga  Tanggap Darurat MDMC Hadapi Erupsi Merapi

Muhammadiyah senang dengan seminar, sementara NU tidak suka. Hal penting lainnya, belakangan ini Muhammadiyah tidak pernah menyelenggarakan Milad/Harlah di Masjid lagi, sementara NU masih di Masjid.

Mengapa Muhammadiyah Milad (Harlah) tidak di masjid? Karena masjid tidak cukup menampung jamaah Muhammadiyah. Milad Muhammadiyah sekarang diselenggarakan di Sportorium UMY atau di Islamic Center UAD.

Jadi wajar kalau takmir Masjid Gede Kauman menolak Harlah NU. Karena mereka membayangkan, Muhammadiyah yang anggotanya tidak sebanyak NU (menurut survey LSI) saja tidak cukup, apalagi NU.

Begitulah cara warga Muhammadiyah merajut ukhuwah dengan saudara-saudara Nahdliyyin. Karena salah perspektif dan kurangnya komunikasi, menyebabkan kesalahpahaman ini.

Editor: Yahya & Nabhan

Avatar
30 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds