Saya sedang memesan nasi telur di warung bubur kacang ijo (Burjo) saat membaca salah satu catatan Buya Syafii Maarif dalam buku keluaran baru berjudul Menerobos Batas kemelut: Catatan-Catatan Kritis Sang Guru Bangsa. Maka selepas menghabiskan pesanan nasi telur itu, saya melanjutkan bacaan buku dan sampai pada satu bagian catatan kritis Buya menyoal politik nasional. Subjudulnya ialah Laron Politik.
Perumpamaan Kecil
Sebenarnya, melalui Laron, Buya hendak menggelar perumpamaan, betapa banyak tabiat binatang seperti ini justru merasuk mendaging dalam diri manusia. Dalam catatan tersebut, Buya meggambarkan laron sebagai makhluk yang senang sekali dengan cahaya. Meski ia tak paham bahwa bisa saja hal itu berakibat buruk, bisa membuat sayapnya terbakar atau lepas dan lalu jatuh ke lantai.
Setelah jatuh ke lantai, laron lalu berputar berkeliling tak tentu arah. Kemudian datanglah semut-semut kecil menggigit laron tersebut, disantap. Laron tak berdaya menghadapi semut-semut kecil yang mulai bergerombolan. Tetapi laron memiliki kelebihan lain, anai-anai ini sebelum bersayap dapat membuat lorong panjang sebagai sarang dan jalan rayanya di pohon-pohon. Maka Buya mengutip suatu ungkapan “bak kayu dimakan rayap, diluar mulus, didalam berlobang-lobang”.
Buya dengan lihai memberikan kritik melalui perumpamaan kecil; setidaknya beliau ingin katakan bahwa selalu ada individu atau golongan yang selalu mendekati cahaya besar. Dalam kultur sosial masyarakat, laron tersebut mewujud individu/golongan yang suka menjilat. Pandai bersilat lidah, bertingkah laku demi mendekati tokoh yang sedang bersinar (populer). Selanjutnya Buya menerangkan bahwa laron di Indonesia itu kerap mewujud kiai, dukun, tokoh tarekat, wali kota, bupati, gubernur, direktur, jenderal sampai menteri.
Laron Politik
Catatan kritis ini memang telah lama dituliskan oleh Buya Syafii Maarif, tepatnya pada masa pemerintahan SBY-JK di beberapa tahun lalu. Tetapi rasa-rasanya masih sangat relevan dan reflektif digunakan untuk menguraikan tabiat politik para penjilat yang tidak berprinsip, juga tidak punya malu. Mereka yang sedang mengais posisi disekitar cahaya tokoh yang sedang popoler.
Kita telah berada pada masa yang baru, pagelaran Pilpres dan Pilkada pun telah usai setahun silam. Namun jika menarik bayangan ke belakang, telah banyak yang kita jumpai laron politik yang bercokol di tokoh yang sedang bersinar. Kita tidak sedang menegasikan orang-orang baik yang tetap mempertimbangkan nasib kebangsaan melalui dukungannya kepada salah satu pasangan calon Presiden atau Kepala Daerah.
Namun jua tak dapat ditutupi bahwa individu/golongan laron itu benar-benar menampakkan dirinya melalui dukungan langsung maupun tidak langsung kepada salah satu pasangan calon pemerintah. Tak tanggung-tanggung, sering malah turut terlibat dalam mengumpulkan dukungan demi cahaya (tokoh) yang sedang bersinar. Tak tahu malu, mereka sering berasal dari partai politik, lembaga keagamaan, institusi sosial dan bahkan berangkat dari kampus. Di lain ruang, bisa jadi laron politik tersebut adalah para pengusaha yang senang membangun ologarki ekonominya melalui transaksi politik pra dan pasca pemilihihan pemimpin.
Cahaya (tokoh) yang tidak bijaksana sering memakai keadaan ini dengan politik transaksional. Mereka sesungguhnya saling menjilat, saling menjadi laron satu dengan lainnya. Inilah sebenarnya “rayap” yang bisa saja dalam waktu yang pendek atau panjang dapat merubuhkan pohon kebangsaan dan dinding kenegaraan yang telah lama dibangun.
***
Di masa-masa mendatang, laron-laron politik ini akan selalu ada dan bisa saja berkembang biak, bertambah jumlah kuantitasnya dan kemampuan menjilatnya. Bukan hanya pada pagelaran pemilihan presiden, laron politik mungkin sering mendekati cahaya popularitas di pagelaran pemilihan kepada daerah. Jika di masa orde baru, laron politik bertengger pada satu cahaya ketokohan, laron politik kontemporer dapat bertengger disekitar tokoh kepala daerah yang sedang memuncak karirnya.
Dalam kondisi inilah sebenarnya kita mesti mengoreksi keadaan lingkungan sekitar kita, minimal kita dan golongan sekitar tak punya tabiat busuk itu. Hasrat percaya diri berlebihan untuk tampil di permukaan bisa mungkin menggiring tabiat kita untuk menjadi laron. Maka dalam konteks itulah , kemampuan untuk menahan diri agar tak terseret tabiat buruk adalah fondasi individu yang paling menguatkan.
Kita tidak boleh menjadi individu yang gila posisi, suka mencari muka, jual diri demi pengakuan publik. Dan dalam daripada itu semua, Buya Syafii memberikan teladan tersebut dalam dirinya sendiri, beliau tak tersipu dan tertipu nama besar. Penghargaan besar yang diberikan publik kepadanya adalah penghargaan yang autentik, penghargaan yang tidak dikejar mati-matian, juga tidak dengan menjilat kekuatan kuasa yang lebih besar darinya.
Terima kasih Buya telah menggelar catatan yang reflektif ini. Di luar dari itu, terima kasih telah menemani saya untuk mengenyangkan perut di Burjo, juga memberi asupan kepada akal budi. Semoga sehat selalu, Buya.
Editor: Nabhan