Perspektif

Siti Walidah, Pejuang Emansipasi dari Muhammadiyah

2 Mins read

Nama Siti Walidah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nyai Ahmad Dahlan mungkin tidak asing lagi di telinga kader-kader Muhammadiyah. Ia adalah seorang istri dari founding father Muhammadiyah, Muhammad Darwisy atau KH Ahmad Dahlan. Nyai Walidah lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1872. Ia putri dari seorang penghulu Keraton Yogyakarta kala itu, KH Muhammad Fadhil. Masa kecil Nyai Walidah sering dihabiskan dengan menuntut dan memperdalam ilmu agama. Dan kehausan akan ilmu agama ini seakan lebih sempurna ketika Nyai Walidah menikah dengan Kiai Dahlan.

Setelah menikah dengan Kiai Dahlan, Siti Walidah sering mendampinginya dalam berdakwah. Berbeda dengan perempuan-perempuan lain saat itu, pemikiran Nyai Walidah sudah jauh menembus zamannya. Karena saat itu, Nyai Walidah tak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja, seperti banyak kepercayaan kolot bahwa perempuan hanya akan berperan sebagai ibu rumah tangga yang setiap harinya hanya akan mengurusi pekerjaan-pekerjaan rumah tangga saja tanpa harus mengenali kehidupan luar. Selain jadi ibu rumah tangga, Nyai Walidah juga turut serta membantu Kiai Dahlan dalam berdakwah, juga sering terlibat aktif berdiskusi bersama tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya.

Saat mendampingi Kiai Dahlan, Nyai Walidah banyak memperoleh berbagai pengetahuan yang menjadikannya berwawasan luas. Melihat dari realitas saat itu, Nyai Walidah mulai memikirkan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang dimulai dari membuat suatu pengajian. Dalam pengajian itu, tidak hanya diisi oleh ajaran-ajaran keagamaan, namun juga diisi dengan ajaran tentang pentingnya pendidikan untuk seluruh elemen masyarakat, tidak hanya untuk laki-laki seperti kepercayaan kolot saat itu.

Dua tahun setelah berdirinya Muhammadiyah, yaitu pada tahun 1914, Nyai Walidah merintis Sopo Tresno (cikal bakal berdirinya Aisyiyah). Hingga pada tahun 1917, perkumpulan yang sebelumnya bernama Sopo Tresno berubah nama menjadi Aisyiyah atas nasehat dari Haji Mochtar. Nyai Walidah tidak serta merta menjadi ketua pertama di Aisyiyah, tongkat kepemimpinan pertama Aisyiyah diamanatkan kepada Siti Bariyah dan Nyai Walidah sebagai penasihat dan pelindung.

Baca Juga  Muhammadiyah “Universitas-Oriented”, Masjid Terabaikan?

Perjuangan yang digaungkan Nyai Walidah saat itu bertujuan untuk menghilangkan kepercayaan-kepercayaan kolot yang ada di masyarakat. Kepercayaan-kepercayaan yang biasanya menganggap bahwa perempuan tak sederajat dengan kaum pria. Sifat-sifat patriaki seperti inilah yang ingin dihilangkan oleh Nyai Walidah.

Dalam ajaranya, perempuan seharusnya bisa sederajat dengan kaum pria, dapat berjuang bersama atau bahkan duduk bersama dalam posisi berdampingan. Dalam pernyataannya, “Orang laki-laki Islam wajib membantu kemajuan perempuan Islam, harus memberi izin perempuan untuk mencari ilmu. Dulu dikatakan perempuan itu ‘Suwargo nunut neroko katut’, hal itu sesekali tidak setuju dengan Al-Qur’an. Perempuan harus seilmu dengan laki-laki. Perempuan wajib juga amar ma’ruf nahi munkar. Dunia Islam tidak akan menjadi baik kalau yang maju hanya laki-lakinya saja, perempuan pun harus maju juga.”

Di samping itu, Nyai Walidah juga menentang mengenai kawin paksa yang pada saat itu sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Karena sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat, saat memberikan pandangan mengenai kawin paksa ini, Nyai Dahlan banyak mendapatkan pertentangan dari masyarakat. Namun, semangat yang begitu besar yang ditunjukkan Nyai Dahlan demi keberlangsungan hak-hak perempuan membuahkan hasil, lambat–laun masyarakat dapat menerima sedikit demi sedikit.

Pada tahun 1926, Nyai Walidah memimpin kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Nyai Walidah mencatatkan diri sebagai perempuan pertama yang memimpin kongres. Nyai Walidah memimpin kongres yang diikuti oleh wakil pemerintah dan perwakilan organisasi. Nyai Walidah membuktikan bahwa perempuan juga bisa duduk sama-sama dengan kaum pria.

Walaupun sering kali terlupakan dan tidak terlalu dikenal seperti para tokoh perempuannya yang lainnya, banyak yang dapat dijadikan rujukan dari ajaran-ajaran Nyai Walidah. Berkat ajaran dan gerakannya Nyai Dahlan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan membuktikan bahwa spirit Islam dapat mendorong kemajuan perempuan.

Baca Juga  Azyumardi Azra: Dalam Pendidikan, Kita Butuh Pembelajaran Emansipatoris

Namun, perempuan-perempuan sekarang seakan tidak terlalu memaknai perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh yang memperjuangkan perempuan. Para perempuan saat ini hanya memaknai perjuangan tokoh-tokoh perempuan hanya pada saat momentum hari-hari besar perempuan, seperti Hari Kartini dan Hari Perempuan Internasional. Di luar dari hari-hari itu, mayoritas perempuan saat ini akan kembali pada hedonis dan hedonis terhadap isu-isu dan problematika sosial.

Terlepas dari itu semua, mari sama-sama kita mengubah wajah bangsa mengenai perempuan saat ini dan mulai untuk memaknai kembali perjuangan-perjuangan para tokoh emansipasi perempuan menuju perempuan Indonesia yang peduli akan problematika sosial dan berkemajuan. Selamat Hari Perempuan Internasional!

1 posts

About author
manusia biasa
Articles
Related posts
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…
Perspektif

Manfaat Gerakan Shalat Perspektif Kesehatan

3 Mins read
Shalat fardhu merupakan kewajiban utama umat Muslim yang dilaksanakan lima kali sehari. Selain sebagai bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, shalat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds