Perspektif

Gejayan Memanggil Lagi: Sebuah Ikhtiar Memaknai Demonstrasi Mahasiswa

3 Mins read

Sampai catatan ini dituliskan, linimasa twitter diisi hashtag #gejayanmemanggil dan #Gagalkan OmnibusLaw. Panggilan untuk terlibat juga menghiasi status WA Mahasiswa, seturut serta mereka kirimkan pamflet panggilan untuk berkumpul di Jalan Gejayan hari ini. Demonstrasi bertajuk Gejayan Memanggil ini membawa isu besar mengenai Omnibus Law yang tengah menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Mahasiswa yang berasal dari UMY, UGM, UNY, dan universitas lainnya diprediksi turut terlibat meramaikan aksi.

Selepas shalat Subuh, saya menuliskan di WA “agar Gejayan tak sekadar kejang-kejang, basuhlah kepala dengan argumentasi yang selesai, biar kita tak tergoda pepatah minang ‘biar kepala berkubang, asal tanduk mengena”. Sementara riuh panggilan itu kian besar, di mana saya berada? Prediksi anda benar sekali, saya sedang menuliskan catatan ini, saya tidak ikut aksi, namun semoga catatan ini dapat membantu tuntutan dapat tersampaikan dengan baik jua tersebar sebagai edukasi publik.

Demonstrasi Adalah Unjuk Nalar

Mafhum kita pahami, demonstrasi adalah manifestasi sikap yang berpangkal pada analisis kritis menyoal sebuah kebijakan. Maka pada dasarnya, demonstasi sebagai unjuk nalar mula-mula dibangun di atas pemilahan antara kebijakan yang benar dan salah. Biasanya, hal ini dimulai di ruang diskursus oleh beberapa ahli (termasuk Mahasiswa), penarikan kesimpulan atas diskurus, lalu pernyataan sikap sebagai buah pembacaan atas disorientasi sebuah kebijakan.

Maka syarat demonstrasi yang ideal menuntut kerja nalar yang tenang serta bukti-bukti yang objektif mengenai sebuah kasus yang tengah terjadi di ruang publik. Demikian maka demonstrasi bukan sikap sporadis dan reaktif, apalagi sekadar ikut-ikutan selfie. Demikian dibutuhkan argumentasi yang selesai, juga strategi yang mapan sebelum akhirnya memutuskan terlibat dalam demonstrasi dan aksi.

Baca Juga  Tantangan Ibu Muda Milenial di Era 4.0

Beberapa orang membedakan antara demonstrasi sebagai unjuk nalar dan unjuk rasa. Pada posisi ini, kita mesti memahami sedari awal bahwa unjuk rasa adalah upaya mengumpulkan emosi subjektif menjadi emosi objektif, lalu mewujud ekspresi protes terhadap sebuah kebijakan yang berdampak kepada kehidupan kolektif.

Sampai di sini harus dipahami bahwa pada dasarnya unjuk rasa sebagai emosi kolektif tidak boleh memanjakan emosi-emosi individu, bila demikian yang terjadi, demonstrasi rawan didomplengi oleh segelintir orang atau individu, pun jua berpotensi untuk digiring dalam arus opini yang negatif.

Refleksi Demonstrasi Mahasiswa

Sekarang kita mesti bertanya, pada posisi mana kita berdiri sebagai demonstran Mahasiswa? Apakah sebagai individu yang datang hanya sebagai perseorangan yang hanya mementingkan emosi inidividual ataukah kita berpijak pada emosi sosial yang sedang memuncak? Saya pikir demonstran Mahasiswa harus memahami posisinya sebagai intelektual yang menjunjung tinggi nalar, melampaui batas emosi subjektifnya.

Seperti yang telah dituliskan pada bagian sebelumnya, kita tidak boleh terjebak pada kondisi sekadar kejang-kejang dan orasi asal besar suara. Atau hanya sekadar marah-marah lalu mendaku diri paling aktivis dan mencela orang lain apatis. Lebih jauh dari itu, demonstrasi Mahasiswa Gejayan Memanggil tak boleh berpinsip sumbu pendek: biar kepala berkubang, asal tanduk mengena, biar tak paham subtansi, yang penting ikut aksi. Ini adalah bagian lain dari pragmatisme gerakan demonstrasi Mahasiswa.

Hal lain yang mesti dipahami ialah bahwa demonstrasi adalah ekspresi sesaat, tentu sangat menguras energi untuk demonstrasi terus-menerus. Maka dalam hal ini demonstrasi adalah bagian awal dari sebuah impian perubahan, khususnya perubahan atas sebuah kebijakan. Sebab, dia adalah bagian awal, maka sesungguhnya kita (mahasiswa) ibarat sedang menyingsingkan lengan baju demi strategi perubahan selanjutnya. Artinya, lebih penting lagi untuk setiap hari mengadakan “aksi” dalam bentuk penyadaran dan pemberdayaan yang berkelanjutan. Inilah aksi yang sebenaranya, autentik dan pelan, tapi pasti akan membantu proses perubahan sosial.

Baca Juga  Membela Agama, Membela Planet Bumi

Maka demonstrasi Mahasiswa, khususnya Gejayan Memanggil, tidak boleh menuai rasa puas yang berlebihan. Apalagi menjadikan demonstran sok-sokan. Lebih-lebih mendaku diri paling aktivis dan lalu mencerca orang lain sebagai yang paling apatis.

Agenda Pasca Demonstrasi

Jamak disadari, kebijakan pemerintah di beberapa waktu terakhir sering jauh dari nurani rakyat kebanyakan. Cengkeraman oligarki politik, oligarki ekonomi, dan sekomplotan persekongkolan antara pemerintah dan pemodal sering menjadi awal bagi kesenjangan sosial yang mula-mula dijembatani oleh kebijakan publik yang tidak merakyat. Bukan hanya itu, dampak ekologis yang dihasilkan mewujud kerusakan lingkungan yang kian hari kian membabi buta.

Keseluruhan kebijakan beserta dampak sosial yang dihasilkannya itulah yang sebenarnya hendak kita suarakan di ruang publik, melalui apa yang kita sebut sebagai “parlemen jalanan.” Namun, sekali lagi, sebagai langkah reflektif, kita tidak boleh bekerja dan mengubah keadaan hanya dalam wujud demonstrasi. Lebih dari itu, agenda perubahan sosial mesti kita lakukan dalam bentuk penyadaran secara konsisten dan pemberdayaan yang tulus di kehidupan masyarakat. Inilah agenda jangka panjang kita di luar agenda jangka pendek untuk memperingati kekuasaan dalam wujud demonstrasi.

Melihat kondisi kebangsaan yang kian bertambah masalahnya ini, jalan terang yang mesti dilalui oleh demonstran Mahasiswa ialah, selepas kembali dari aksi demonstrasi, tetap mengadakan diskusi yang konsisten, pembacaan kasus, turut terlibat menulis di media online/massa, membentuk gerakan penyadaran, merumuskan agenda pemberdayaan langsung kepada masyarakat. Dalam simpulnya, mengadakan revolusi dalam makna yang sebenar-benarnya.

Terakhir, demonstrasi Mahasiswa, khususnya demonstrasi dengan tajuk #GejayanMemanggil dan #GagalkanOmnibusLaw ini harus diapresiasi. Pertanda bahwa gerakan mahasiswa masih ada untuk menjadi lonceng peringatan bagi kuasa yang membabi buta. Maka pemerintah dan pengambil kebijakan harus mempertimbangkan tuntutan Mahasiswa dan masyarakat lewat aksi Gejayan Memanggil. Jangan malah mendiamkan diri dan menganggap hal ini sebagai tuntutan yang biasa saja.

Baca Juga  Kegagalan Anak Muda dalam Pandemi Corona

Terima kasih, dan jayalah Mahasiswa!

Editor: Arif

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds