Report

Kerangka Filosofi Pendidikan Muhammadiyah

2 Mins read

Dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah yang bertajuk “Pendidikan Holistik: Ijtihad Muhammadiyah Abad Kedua”, Dr. Robby H Abror menjadi salah satu pembicaranya. Ia dikenal sebagai seorang ahli filsafat di Muhammadiyah selain Profesor M. Amin Abdullah.

Membangun Kerangka Filsafat Pendidikan Muhammadiyah

Dalam paparannya, ia mengatakan bahwa jika ada orang yang menganggap filsafat adalah bagian diluar kerangka berpikirnya, maka ia akan sulit diajak berfikir secara filosofis. Maka, bersama Profesor Munir Mulkhan, ia mencoba merumuskan filosofi pendidikan Muhammadiyah. Hal itu dikarenakan sekolah Muhammadiyah berjumlah begitu banyak, namun belum ada filosofi pendidikan yang terstruktur.

Robby memberikan contoh negara-negara yang sudah membangun filosofi pendidikannya dengan baik, antara lain Turki, Iran, Maroko, dan Mesir. Maroko secara fisik masih tertinggal jauh dari Indonesia. Namun, mereka punya formula didalam filosofi Pendidikan, sehingga mereka menjadi ungggul. Pendidikan di Maroko berhasil melahirkan tokoh sekaliber Muhammad Abid Al-Jabiri.

Penulis buku Jejak-jejak Filsafat Pendidikan Islam ini mengatakan bahwa ia ingin menanam pohon filsafat di kebun Muhammadiyah. Proyeknya ini ia lakukan bersama Munir Mulkhan. Sebenarnya hal ini sudah ada benihnya, bahwa orang Muhammadiyah itu tahan banting dan ikhlas beramal. Tetapi tidak cukup dengan itu, filsafat pendidikan harus dirumuskan. Ia mengatakan:

“Setiap kebaikan yang ditanam, dijaga, dirawat, dan dikembangkan dengan baik, dengan kesadaran, kesabaran, keuletan, ketekunan, dan kebersamaan, akan menghasilkan kemajuan yang tak terbayangkan dan membanggakan.”

Ini adalah rahasia kebesaran Muhammadiyah dalam membangun amal usaha. Orang lain melihat Muhammadiyah sebagai organisasi yang luar biasa, yang memiliki ribuan sekolah dan rumah sakit. Namun, di dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, para aktivisnya bekerja dengan luar biasa keras.

Di hadapan seluruh peserta seminar, Robby menegaskan bahwa ia mencoba untuk menawarkan beberapa konsep. Dalam sebuah sistem pendidikan, ada kesadaran untuk merawat dan mencintai tradisi keilmuan Islam. Menurutnya, buku-buku para filosof muslim sangat perlu untuk dibaca. Di antaranya adalah filosof muslim seperti Ibn Thufail, Ibn Rusyd, dan Imam Al-Ghazali.

Baca Juga  Persiapkan Dai Muda, MAARIF Institute dan P3M Gelar Pelatihan Literasi Digital

Selain itu, kita terkendala oleh stigma bahwa belajar filsafat atau tasawuf itu dapat membuat seseorang menjadi kafir. Ia menegaskan, “maka, kita jangan terlalu alergi dengan itu. Bahkan tidak boleh alergi. Kemudian mulai sepenuhnya untuk membangun rumah pengembangan ideologi Islam dan Muhammadiyah.”

baca juga: Anjar Nugroho: Pendidikan Holistik yang Membebaskan

Lima Produk Filsafat Pendidikan Muhammadiyah

Ia ingin Pendidikan Muhammadiyah melahirkan sosok seperti ideolog tulen bapak Haedar Nashir. Bagaimana mencetak kader yang cara berjalannya Muhammadiyah, cara berbicaranya Muhammadiyah, dan lain-lain. Filsafat pendidikan ini setidaknya melahirkan lima hal, yaitu:

Pertama, menurut dosen Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga ini, akan lahir ilmuwan muslim yang mencintai agama dan ilmu-ilmu agama Islam, yang tidak alergi dengan filsafat dan tasawuf.

Kedua, punya kesadaran sebagai ulul albab. Bahwa nabi berderai air mata ketika menerima wahyu tentang ulul albab. Ilmuwan yang ulul albab adalah ilmuwan yang seimbang antara berdzikir dan berfikir.

Ketiga, fokus pada keilmuan Islam dan filsafat, tanpa tergoda dengan pragmatisme politik.

Keempat, lahir ilmuwan yang rendah hati dan berwawasan luas.

Kelima, ilmuwan yang siap mendedikasikan hidupnya untuk Allah dan ilmu pengetahuan. Hal Ini memang tidak mudah. Bahwa dewasa ini kebahagiaan diukur dari apa yang tampak.

Robby melanjutkan “filsafat itu mudahnya begini, bagaimana agar warga Muhammadiyah itu tidak malas untuk berfirkir keras, menjaga, dan membaca tradisi keilmuan dalam khazanah Islam. Sebenarnya apa yang kita bahas hari ini sudah dibahas orang. Kita hanya membungkus dengan bungkus yang baru,” ucapnya.

Ia mencontohkan dengan Pendidikan di Iran. Untuk sampai pada tahap mujtahid, seorang ulama perlu 25 tahun penuh untuk belajar agama, baik fikih, filsafat, tafsir, akidah, dan bahasa. Jika kita tekun dengan model seperti ini, maka kita akan menjadi orang yang luar biasa.

Baca Juga  Survei: Orang Tua Indonesia Menganggap Penting Agama, Tapi Tak Peduli Pendidikan Toleransi

Seperti Ibnu Sina yang mampu menulis Qanun fi Thib, sehingga disebut sebagai bapak kedokteran. Jadi harus ada kesungguhan di dalam diri kita untuk mendialogkan antara ayat-ayat Allah yang kita baca, kita pahami maknanya, kemudian kita kontekstualisasikan dengan alam pendidikan.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Report

Anak Ideologis itu Amal Jariyah

1 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Pendakwah muda Habib Husein Ja’far Al Hadar menyebut anak ideologis lebih baik daripada anak biologis. Alasannya, karena perjuangan dengan…
Report

Alissa Wahid: Gus Dur Teladan Kesetaraan dan Keadilan

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid memberikan tausiyah pada peringatan Haul Gus Dur ke-15 yang bertempat di Laboratorium Agama UIN…
Report

Alissa Wahid: Empat Faktor Penyebab Meningkatnya Kasus Intoleransi di Indonesia

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Qotrunnada Wahid atau Alissa Wahid menyampaikan bahwa ada empat faktor utama yang menyebabkan tren peningkatan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds