Perspektif

From Nothing to Something: Kiat Membenahi SMP Muhammadiyah Butuh

2 Mins read

Hari Rabu, 11 Maret 2020, saya bersama Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bapak Dr H Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, berkesempatan mengunjungi SMP Muhammadiyah Butuh, Purworejo. Ini adalah kunjungan kali kedua saya ke SMP Muhammadiyah Butuh, Purworejo.

Kali ini, saya bersama  Bapak Dr H Busyro Muqoddas, SH, MHum bisa mengunjungi aktivitas siswa yang sedang Ujian Tengah Semester (UTS). Kunjungan kami diterima oleh Bapak Ibu Guru dan Karyawan SMP Muhammadiyah Butuh dalam sebuah forum diskusi kultural. Alhamdulillah, hadir pula Ketua ditemani Wakil Ketua PDM Purworejo, Ketua Majelis Dikdasmen PDM, disusul berikutnya Biro Hukum Universitas Muhammadiyah Purworejo. Diskusi dan dialog kultural seperti ini sudah lama tidak menjadi kultur di sekolah yang sempat viral karena kasus bullying ini.

Tiga Pelajaran dari Kasus SMP Muhammadiyah Butuh

Diskusi diawali dengan suntikan motivasi oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bapak Dr H Busyro Muqoddas, SH, MHum. Ada beberapa poin penting yang disampaikan oleh beliau. Pertama, kasus yang mendera kemarin merupakan musibah kita Bersama. Tidak hanya bagi kalangan SMP Muhammadiyah Butuh, namun ungkapan keprihatinan juga datang dari kalangan persyarikatan cabang dan daerah. Yang paling penting adalah banyak hikmah dan pelajaran dari kasus kemarin.  

Kedua, peristiwa kemarin memberikan hikmah agar sekolah mengoptimalkan “Tri Pusat Pendidikan,” di mana sekolah mengupayakan komunikasi yang super intensif. Yaitu dengan memadukan proses pendidikan antara sekolah, orangtua, dan masyarakat. Proses komunikasi super intensif tersebut betul-betul dimaksimalkan dan mewujud dalam program yang dijadwalkan secara terprogram agar jalinan komunikasi terus tercipta.

Ketiga, sekolah menghadirkan selalu nilai-nilai positif kepada siswa. Dengan demikian, siswa akan merasa senang, kerasan, dan menjadikan sekolahnya sebagai rumah kedua. Berikan selalu semangat hidup yang optimis akan masa depan. Agar siswa yang tergolong “istimewa” tersebut di tengah himpitan kehidupan yang bertubi–tubi masih menyimpan obor harapan dan optmistis ketika memandang masa depannya.

Baca Juga  Mitologi Pandora dan Pendidikan ala Ivan Illich

Faktor Penentu Adalah Kepala Sekolah dan Guru

Pencerahan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dilanjutkan dengan paparan saya selaku Stafsus PP Muhammadiyah. Saya menyampaikan beberapa masukan dan mendorong perlunya tindakan yang bersifat futuristik mengenai sekolah. Yaitu, pembenahan dan menghidupkan kembali SMP Muhammadiyah Butuh.

Pertama, perlu disadari bahwasanya menjadi sekolah “bengkel” diperlukan ketahanan yang super tangguh dalam “ngopeni” anak-anak “istimewa”. Semangat saja tidak cukup. Harus diiringi dengan banyak wawasan, ilmu, dan skills ngopeni anak-anak spesial.

Kedua, faktor penentunya ada di Kepala Sekolah dan Guru. Kepala Sekolah memainkan peranan penting melakukan proses menghidupkan sekolah dengan menerima anak-anak yang super istimewa. Kepala sekolah diharapkan menjadi stimulator, motivator, problem solver bahkan jika perlu memberikan keteladan dan berada di garda terdepan mau memproses dan ngopeni anak-anak istimewa ini. Sehingga sivitas akademika mau dengan rela hati kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, kerja ikhlas, dan kompak mengantarkan anak-anak istimewa ke depan pintu gerbang kesuksesan hidup.

Pengalaman Praktis: From Nothing to Something

Pengalaman saya menangani sekolah bengkel diawali dengan penguatan Guru dan Karyawan dalam melayani siswa istimewa. Dilakukan dengan sentuhan hati karenanya mengubah mind set tranformasi from teach to touch. Tidak mudah awalnya, karena sivitas akademika yang dimiliki saat itu dominan guru-guru muda yang super semangat, namun terkadang emosinya belum stabil.

Dengan ketekunan trainer dari Living Values Education perlahan tapi pasti, guru-guru muda tumbuh menjadi para guru yang mampu menumbuhkan pribadi siswa. Kerjasama dengan lembaga yang dinahkodai Dr Muqowim, MAg selama 1 tahun telah mendorong passion sekolah berbasis nilai dan karakter. Lewat proses pelatihan homonisasi-humanisasi sebagaimana langkah Kiai Ahmad Dahlan dengan manifesto Al-Ma’un dan Wal-Ashri, para siswa tumbuh secara merdeka lewat ungkapan, “bocah-bocah dimardikaake pikire.”

Anak-anak istimewa dipantik dan dihidupkan aktivasi hatinya agar mereka mengenali dirinya, potensi minat bakatnya, melewati batas kehidupan yang telah menganggap mereka seolah-olah tidak punya masa depan. Dengan ketekunan, keuletan, penuh kesabaran, dan motivasi tingkat paling tinggi yaitu melakukan konseintasi.

Mereka punya hak yang sama dengan anak-anak lain pada umumnya. Sekolah menjadikan mereka bangkit, berubah, dan menemukan keistimewaan dirinya. Karena sudah kadung dianggap istimewa, maka nyebur saja sekalian menjemput keistimewaan mereka.  Walau tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, perlahan-lahan pendekatan hati, homanisasi, dan balutan nilai dan karakter, SMP istimewa yang dinahkodai oleh staf khusus tersebut mampu membesarkan sekolah: from nothing to something.

Editor: Arif

Baca Juga  Agama: Bukan Pemecah Belah Umat!
Abdullah Mukti
10 posts

About author
Anggota Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds