Tafsir

Meluruskan “Tafsir Cocokologiah” Qorona dalam Al-Qur’an

7 Mins read

Di saat musim Virus Corona yang sedemikian mengkhawatirkan seperti ini, masyarakat, khususnya umat Islam, seharusnya disuguhkan dengan paham agama yang mencerahkan dan membahagiakan. Bukan malah sebaliknya. Beredarnya tulisan di beberapa group WA dan FB belakangan ini yang berjudul, “Masya Allah Inikah Arti Qorona dalam Al-Qur’an,” tentu sangat tidak mencerahkan.

Setelah melakukan penelusuran, saya menemukan tulisan ini dengan judul yang hampir sama yang telah dipublikasikan di salah satu media online bernama https://hajinews.id. Judul tulisan yang dipublikasikan di https://hajinews.id tersebut adalah: “Hikmah Siang: Inikah Ayat Qorona dalam Alqur’an?” Walaupun judulnya tidak sama persis, namun isinya sama persis. Di dalam hajinews.id penulisnya juga tidak dicantumkan. Namun, di akhir tulisan tersebut dicantumkan keterangan “semoga bermanfaat: gwa.” Dua hari setelah dipublikasikan di hajinews.id pembacanya sudah mencapai 280 orang.

Sebagai sarjana Tafsir Al-Qur’an dan Hadits saya merasa gelisah dengan beredarnya tulisan atas nama tafsir Al-Qur’an tentang arti Qorona yang jauh dari kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an. Tulisan singkat ini saya tulis dengan tujuan untuk mengkritik tulisan yang beredar tersebut. Agar mudah untuk memahaminya, di bawah ini penulis akan terlebih dahulu mencantumkan judul dan isi tulisan yang beredar tersebut. Berikut tulisannya:

MASYA ALLAH INIKAH ARTI QORONA DALAM ALQUR’AN??

Ini ada di surat al Ahzab ayat 33.

Silahkan dibuka bagi yg tidak berhalangan

Saya jadi penasaran dengan arti Qorona, saya sengaja membuka kamus al-Qur’an. Saya dapati lafald Qarana (قَرْنَ) ada di QS. Al Ahzaab: 33. Saya jadi tercengang ketika melihat potongan ayat tersebut.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya

Pesannya sangat jelas bahwa lafadz Qarana mengandung arti perintah untuk tinggal. Tinggalnya dimana? Dirumah-rumahmu, di keluargamu, karena kata Nabi rumahku adalah sorgaku. Rumah kalian adalah sorga kalian semua. Ciptakan sorga di keluarganya masing-masing. Coronavirus menggiring kembalinya kesadaran bahwa yang paling hakekat dalam kehidupan adalah keluarga. Sehingga Nabi sendiri memberi parameter kebaikan manusia diukur dari kebaikannya kepada keluarganya.

خَيْركُمْ خَيْركُمْ لِأهْلِهِ وَاَنَا خَيْركُمْ لِأهْلِى

“Sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku (Rasulullah) orang yang terbaik diantara kalian kepada keluargaku”

Seakan Allah sedang berkata, “wahai manusia modern, janganlan cari kepuasan di gedung-gedung mewah yang menyediakan berbagai macam kamuflase kesenangan yang tak sejati, kebahagiaan itu bukan karir dan gajimu yang selalu tak memuaskanmu, karena selama ini yang kau kejar sebagai kenikmatan itu hanyalah fatamorgana dunia yang kalian anggap kenikmatan dan keindahan (itu semua perilaku jahiliah). Padahal sesungguhnya sorga itu ada di keluargamu, ada di rumahmu masing-masing yang bisa kau bangun dan kau ciptakakan. Kembalilah kepada keluargamu masing-masing dan berbahagialah atas berkumpulnya keluarga.”

Dalam ayat berikutnya, dapat kita mentadaburi bahwa Corona yang diturunkan ini sejatinya untuk membersihkan manusia dari dosa, membersihkan sebersih-bersihnya dari segala hal yang sifatnya kamuflase, talbis, menuju kesejatian hidup.

Jauh dari Kaidah-kaidah Tafsir Al-Qur’an

Dalam disiplin ilmu tafsir, setidaknya kita mengenal dua jenis tafsir berdasarkan sumbernya, yaitu tafsir bi al-ma’tsur (dibaca bil ma’tsur) dan bi al-ra’yi (dibaca bil ra’yi). Menurut Al-Zarqani, tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Quran, Al-Qur’an dengan hadits, dan Al-Qur’an dengan qaul (perkataan) sahabat (Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an,12).

Baca Juga  Luthf dan Qahr: Nama-Nama Tuhan dalam Pandangan Jalaluddin Rumi

Sedangkan menurut Muhammad Husein Adz-Dzahabi, tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan hadits nabi, qaul sahabat dan juga qaul tabiin, tabi’ tabiin (Tafsir wa al-Mufassirun, 45). Mayoritas ulama sepakat bahwa tafsir bi al-ma’tsur (riwayah) adalah yang paling kuat.

Sedangkan tafsir bi al-ra’yi adalah tafsir yang berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an (Tafsir wa al-Mufassirun, 183; Ushul al-Tafsir Wa Qawaʽiduh, 167). Para ulama tafsir membagi corak tafsir bi al-Ra’yi kepada dua bagian, yaitu tafsir bi al-Ra’yi yang dapat diterima/terpuji (al-mahmudah) dan tafsir bi al-ra’yi yang ditolak/tercela (al-madzmumah)

Tafsir bi al-ra’yi al-Mahmudah (terpuji) ialah tafsir al-Qur’an yang didasarkan dari ijtihad yang sesuai dengan kaidah tafsir dan jauh dari penyimpangan. Sedangkn tafsir bi al-ra’yi al-Madzmumah (tercela) adalah penafsiran yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an. Tafsir ini cenderung menggunakan akal yang dicela/dilarang, karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri (subjektivitas). Dan istinbathnya (pengambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam.

Dari penjelasan ini jelas bahwa untuk menjadi seorang mufasir tidaklah mudah, syaratnya berat. Tidak asal tafsir. Pertanyaannya, apakah tulisan yang beredar tersebut sudah sesuai dengan kaidah tafsir Al-Qur’an? Jawabannya TIDAK sesuai. Karena langkah-langkah dalam menafsirkan Al-Qur’an seperti menggunakan riwayat (bi al-ma’tsur) atau bi al-ra’yi tidak dilakukan.

Begitu pun dengan kaidah-kaidah tafsir yang lain seperti konteks historis ayat yang diabaikan. Karena konteks ayat tersebut tidak berbicara tentang wabah atau virus. Melainkan berbicara tentang istri-istri Nabi. Kita juga tidak mengetahui siapa penulisnya dan apakah penulisnya memiliki disiplin keilmuan dalam bidang tafsir. Karena sebagaimana yang telah saya singgung di atas, tidak mudah dan tidak sembarangan untuk menjadi seorang mufasir. Seorang mufasir harus menguasai dan memahami kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an: harus paham dan menguasai Al-Qur’an dan hadits, paham dan menguasai bahasa Arab, paham dan menguasai Ilmu Balaghah, asbab al-nuzul, dan Ulumul Qur’an lainnya.

Apakah Termasuk Tafsir Al-Isyari?

Sah-sah saja jika mungkin sebagian orang ada yang berpendapat bahwa tulisan tersebut termasuk dalam kategori tafsir al-isyari  (tafsir Al-Qur’an dengan makna di balik makna dzahirnya).  Dalam bahasa lain dikenal dengan tafsir isyarat atau tafsir bathiniyah. Mengingat kandungan dan pesan moral yang disampaikan dalam tulisan tersebut baik, yaitu mengajak masyarakat untuk tetap tinggal di rumah dalam menghadapi Corona.

Namun perlu diingat, tidak sembarang setiap orang dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan isyarat. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, termasuk isyari sekalipun tetap harus berpegang kepada kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an. Termasuk yang bersangkutan harus paham dan menguasai Ilmu Bahasa Arab dan juga tidak kalah pentingnya adalah Ilmu Balaghah.

Jika dalam pembacaan teksnya saja sudah keliru, bagaimana bisa didapat makna di balik teks yang akurat. Menurun Amin Suma, seroang mufasir isyari harus berilmu dan bertakwa. Di mana penafsirannya selaras dengan makna dhahir (Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 97). Sejalan dengan Amin Suma, Imam Al-Ghazali telah menegaskan pentingnya tafsir isyari yang tidak bertentangan dengan makna dhahir:

Baca Juga  Keunikan Bahasa Al-Qur’an
ولا يدل تفسير ظاهر اللفظ عليه وليس هو مناقضاً لظاهر التفسير بل هو استكمال له ووصول إلى لبابه عن ظاهره فهذا ما نورده لفهم المعاني الباطنة لا ما يناقض الظاهر

“Tafsir dhahir tidak menunjuki (secara langsung) atasnya (rahasia-rahasia al-Qur’an), tetapi ia tidak bertentangan dengan tafsir dhahir, bahkan ia menyempurnakan dan menyampaikan kepada isinya dari dhahiriyahnya. Maka yang kami kemukakan ini untuk memahami makna-makna yang bathin yang tidak bertentangan dengan makna dhahir.” (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 295).

Al-Ghazali mengecam kelompok penafsir bathiniyah ini, karena mereka dianggap menafsirkan Al-Qur’an kepada makna bathin yang bertentangan dengan makna dhahir. Berikut kritik Al-Ghazali: “Dengan jalan itu, kelompok bathiniyah tersebut melakukan penghancuran semua syari’at dengan cara mentakwil dhahirnya dan memaknainya sesuai dengan pikiran mereka” (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 37).

Apakah tulisan yang beredar tersebut termasuk dalam kategori tafsir isyari dengan produk tafsirnya yang tidak bertentangan dengan makna dhahir? Mari kita analisis bersama.

Dalam tulisan yang beredar tersebut, kata وقرن (waqarna) yang terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 33 di baca قَ رَ نَ (Qarana). Berikut saya kutipkan penggalan dari tulisan yang beredar tersebut sebagai berikut:

Saya jadi penasaran dengan arti Qarana, saya sengaja membuka kamus al-Qur’an. Saya dapati lafald Qarana (قَرْنَ) ada di QS. Al Ahzaab: 33. Saya jadi tercengang ketika melihat potongan ayat tersebut”.

Dalam kutipan tersebut jelas terdapat kekeliruan yang mendasar di mana kata وقرن (waqarna) di baca atau ia pahami sebagai قَ رَ نَ (Qarana) dengan menghilangkan huruf و (wawu) dan memberikan harakat fathah pada huruf رَ (ra’) sehingga terbaca قَ رَ نَ (Qarana). Pembacaan yang keliru tersebut kemudian dikaitkan dengan Virus Corona yang sedang mewabah saat ini.

Sebenarnya Virus Corona atau yang juga dikenal dengan nama Covid-19 ini diawali dengan huruf C dalam penyebutannya (Corona), bukan huruf Q (Qarana). Hal ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa orang Arab sendiri, sebagaimana yang terdapat dalam berita-berita di TV Timur Tengah, menyebut Corona (dalam pengertian virus) menggunakan kata كُورُونَا (Corona) bukan قَ رَ نَ atau قرن.

Saya menjadi semakin prihatin ketika orang-orang di seluruh dunia sedang dilanda musibah Virus Corona dan sudah banyak merenggut korban jiwa, sebagian orang malah membuat paham agama yang menggelikan dengan mengaitkan Virus Corona dengan kata قَ رَ نَ yang terdapat pada buku Iqra’ Jilid 1. Dalam buku Iqra’ Jilid 1 kata قَ رَ نَ diiringi dengan tiga kata lainnya, yaitu khalaqa (خ ل ق), zamana (ز م ن), dan kadzaba (ك ذ ب).

Empat kata tersebut mereka artikan secara “cocokologiah” dengan arti “Virus Corona tercipta pada zaman penuh dusta/kebohongan”. Pemahaman seperti ini sangat keliru. Mengapa demikian? Karena ampat kata tersebut adalah fi’il madhi (kata kerja) dari segi bacaanya. Kalau empat kata tersebut fi’fil madhi tentu tidak memenuhi syarat sebagai sebuah kalimat yang baik dan benar (jumlah mufiidah/SPO-K). Sehingga kalau mau “cocokologiah” yang tepat adalah كورونا خلق في زمن الكذب (Corona tercipta di zaman penuh kebohongan).  Lebih parah lagi kemudian kata قَ رَ نَ yang terdapat pada buku Iqra’ Jilid 1 tersebut dikaitkan-kaitkan dengan isu politik.

Baca Juga  Ketika Allah Melarang Manusia untuk Berputus Asa

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa kata Qarna pada asalnya adalah Aqrarna atau Aqrirna, yang diambil dari kata Qararta atau Qarirta. Kemudian harakat رَ (ra’) dipindahkan kepada huruf ق (Qaf), selanjutnya huruf Ra’ dan Hamzah Washalnya dibuang sehingga jadilah Qarna.

Jelas bahwa, dalam ayat tersebut tidak ada kata Qarana dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan konteks penyebaran Virus Corona saat ini. Dalam ayat tersebut memang benar kata وقرن (waqarna) mengandung arti “tetap tinggal”, yaitu tinggal di rumah. Namun, konteks ayat tersebut berbicara tentang istri-istri nabi yang diperintahkan untuk tetaplah berada di rumah (lihat ayat 32). Istri-istri nabi tersebut dilarang untuk meninggalkan rumah kecuali jika ada kepentingan yang dibenarkan oleh syariat yang mengharuskan keluar rumah.

Istri-istri nabi juga dilarang untuk memperlihatkan keindahan dan perhiasannya kepada kaum lelaki jika berada di luar rumah, seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah dahulu. Sehingga sangat tidak tepat jika wabah yang sedang melanda dunia saat ini dikaitkan dengan surat Al-Ahzab ayat 33.

Dari contoh kesalahan tersebut, jelas bahwa penafsirannya sangat bertentangan dengan makna dhahir. Al-Ghazali sampai tegas mengatakan “Tafsir dhahir tidak menunjuki (secara langsung) atasnya (rahasia-rahasia al-Qur’an), tetapi ia tidak bertentangan dengan tafsir dhahir, bahkan ia menyempurnakan dan menyampaikan kepada isinya dari dhahiriyahnya”.

Inilah pentingnya sikap kehati-hatian dalam memahami Al-Qur’an. Menyikapi hal ini, saya kira pendapat Farid Hasan (Dosen IAIN Salatiga) sangat baik untuk dikemukakan. Beliau mengatakan bahwa “tradisi kehati-hatian dalam memaknai Al-Quran dan hadits adalah salah satu cara untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Jangan sampai keagungan ilmu pengetahuan dan tradisi keilmuan Islam yang sudah dirumuskan oleh para ulama dan pemikir Islam (klasik hingga kontemporer) diluluhlantakkan oleh cocokologi, hoaks, dan narasi yang jauh dari spirit teks al-Quran ataupun hadits” (Wawancara, 27 Maret 2020).

Mari kita beragama dengan akal sehat dan diiringi dengan ilmu pengetahuan. Saya kira tepat jika Albert Einstein mengatakan “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”. Namun sayangnya, hari ini banyak orang yang memahami agama sesuai dengan seleranya. Hari ini banyak orang yang bisa berfatwa sendiri tanpa melihat kapasitas keilmuannya.

Walhasil, kelompok ini selalu menganggap dirinya yang paling benar dan mudah sekali menyalahkan orang atau kelompok lain yang tidak sepahaman dengan diri atau kelompoknya. Mari kita budayakan menyebarkan paham agama yang benar dan mencerahkan.

Simpulan

Dari analis tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tulisan yang beredar tersebut tidak sesuai, bahkan jauh sekali dari kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an. Dalam bahasa lain penulisannya menggunakan kaidah “otak-atik-gatuk” atau “otak-atik-matuk” bahasa lainnya adalah “cocokologiah” alias “ngawuriah” tentang kata وقرن (waqarna) dalam Surat Al-Ahzab ayat 33 yang dikaitkan dengan Virus Corona yang ia baca قَ رَ نَ atau قرن . Sehingga tulisan tersebut dapat dimasukkan ke dalam tafsir bi al-ra’yi al-Madzmumah (tafsir yang tercela).

Tafsir bi al-ra’yi al-Madzmumah adalah tafsir yang menyesatkan dan tidak layak untuk diikuti atau diyakini kebenarannya. Disebut menyesatkan karena penafsirannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an. Disebut tercela, karena penafsirannya hanya bertumpu pada subjektivitas mufasirnya dengan mengindahkan kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an sehingga produk tafsirnya bertentangan dengan makna dhahirnya.

Editor: Arif

Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds