Perspektif

Belajar Setara Saat Ramadhan di Tengah Wabah

2 Mins read

Beberapa postingan di media sosial banyak dari kolega yang mempersiapkan datangnya Ramadhan dengan membeli banyak makanan, minuman, kurma, dan serba-serbi yang dipersiapkan untuk sahur dan berbuka. Waktu Ramadhan yang tinggal sekedip mata ini membuat orang-orang berlomba mempersiapkannya. Hasrat untuk mengenyangkan raga diri sendiri saat berbuka dan sahur (mungkin) menjadi nilai penting yang harus disediakan jauh-jauh hari.

Puasa Sebagai Aktivitas Budaya

Banyak di antara masyarakat (kita) yang masih memandang ritus Ramadhan sebagai produk budaya, bukan murni produk ibadah. Fenomena ini bisa dilihat dari kebiasaan waktu Ramadhan. Pusat perbelanjaan semakin ramai, penjual mulai berjejer di sepanjang trotoar, menu berbuka yang beraneka warna, dan banyak yang berbaris antri di restoran untuk buka puasa bersama.

Hal itu mengindikasikan, makna puasa sebagai latihan menahan hawa nafsu dan belajar hidup setara antara si miskin dan si kaya tidaklah sepenuhnya dijalankan. Maka tidak heran, setelah selesainya bulan Ramadhan, bukan tubuh yang semakin meramping, melainkan tubuh yang semakin melebar. Bukan pula kesetaraan sosial yang semakin terjalin, sebaliknya, yang terjadi status sosial semakin terlihat usai datangnya bulan Ramadhan.

Dalam hal ini, buku Eko Supriyadi yang berjudul Islam dan Sosialisme, mengatakan Islam sebagai agama yang mengajarkan kesetaraan nyatanya layak dikaji ulang. Bagi Eko, syahadat telah mengajarkan bahwa semua orang setara di hadapan Allah SWT. Salat mengajarkan kesombongan itu tiada perlu, sebab dalam gerakan sujud salat, derajat (maaf) pantat lebih tinggi daripada kepala.

Zakat mengajarkan kepemilikan harta bukan sepenuhnya milik satu orang. Ada 2,5% milik sanak saudara. Puasa mengajarkan menjadi orang miskin dan saat haji mengajarkan bahwa nantinya orang akan kembali di satu tempat. Semua berseragam putih.

Baca Juga  Adakah Financial Freedom dalam Islam?

Ramadhan di Tengah Wabah

Segala hal, termasuk datangnya wabah penyakit, selalu mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Bagi orang beragama, hal itu bernama hikmah. Wabah Corona sendiri membawa hikmah positif tatkala Ramadhan nanti.

Mungkin yang biasanya berpakaian mewah saat Lebaran, kini bisa belajar bagaimana saat menjadi orang miskin tanpa pakaian baru pada saat Idulfitri. Mungkin yang dulunya bisa buka bersama di restoran, bisa menyantap berbuka maupun sahur dengan menu istimewa, kini belajar merasakan saat menjadi orang miskin dan berbuka dengan menu seadanya. Mungkin yang dulunya masyarakat berderet antri berbelanja di mall atau hidup sangat konsumtif, Ramadhan kali ini, bisa merasakan bagaimana hidup sederhana.

Ramadan tahun ini Allah SWT menguji manusia dengan dua hal. Menahan hawa nafsu, untuk tidak makan, dan untuk tidak banyak menikmati kenikmatan. Bila dengan datangnya wabah Corona ini tidak bisa belajar menjadi pribadi yang lebih baik dan bisa menjadi pribadi yang belajar kesetaraan, lantas dengan cara apalagi Tuhan harus menurunkan ujian?

Editor: Arif

Related posts
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *