Begitu Covid-19 tersebar dan mulai menghantui serta menebarkan rasa takut, muncul satu fenomena yang disebut dengan panic-buying. Imajinasi sebagian masyarakat semakin liar. Ada ketakutan yang lebih. Karena itu, mereka berupaya membuat ‘pengamanan’ sendiri dengan cara menyetok kebutuhan bahan pokok makanan.
Panic-Buying
Supermarket di berbagai belahan dunia mulai kewalahan memenuhi kebutuhan permintaan yang melonjak. Awalnya hanya masker dan tissue yang begitu cepat hilang di pasaran. Selanjutnya, cairan-cairan kimiawi untuk disinfektansi mulai cepat terserap dan segera hilang di pasaran. Tak lama setelah itu, masyarakat, terutama kelas menengah dan menengah-atas, berbondong-bondong berbelanja makanan melebihi porsi biasanya. Alasannya sama; menyetok makanan, takut “terjadi apa-apa”!
Tentu ada konskuensinya. Fenomena panic-buying juga menyebabkan barang cepat habis dan langka. Karena itu, harganya pun meroket. Alat Pelindung Diri (APD), bahan makanan pokok, bahan-bahan tekstil untuk pembuatan masker dan baju khusus paramedis, juga ikut berpartisipasi untuk naik harganya.
Beberapa minggu berlalu dan bulan berganti. Ketakutan terhadap Pandemik Covid-19 masih kuat, tetapi tidak sepanik dua-tiga minggu. Masyarakat sudah lebih mawas diri dan kebijakan pemerintah sudah lebih terlihat agak terang dan jelas dari sebelumnya yang masih sangat abu-abu. Reaksi sporadis mulai disistematisasi. Satu dua hoax masih bertebaran, tapi masyarakat mulai dapat berfikir rasional. Agak paham dengan apa yang sedang terjadi.
Panic-buying kini sudah mereda, tetapi pada saat yang sama kita saksikan juga, kegiatan ekonomi yang stagnan atau malah turun drastis. Sebagian prabrik menghentikan pegawainya, tahanan di penjara dibebaskan, sekolah sudah lebih awal tutup, kampus kemudian menyusul kegiatan belajar di rumah, kantor pun demikian.
Singkat kata, mobilitas kerja off-line turun drastis hampir ke titik nol. Gerakan #dirumahsaja sudah mulai menunjukkan efektivitasnya. Perhatian publik kini tidak hanya diberikan untuk masalah alat-alat medis, meskipun tentu hal itu akan sangat dibutuhkan sampai beberapa bulan ke depan dalam jumlah yang besar, tetapi juga kepada ketahanan sosial dari masyarakat kita.
#Dirumahsaja dan Beli Produk Teman
Dalam situasi seperti ini, fenomena lain muncul. Kreativitas dan inovasi dalam tingkat apapun menjadi andalan untuk dapat bertahan. Sektor informal yang sangat besar di Indonesia tentu sangat terdampak. Mereka harus berbisnis juga dari rumah. Penjual jasa juga harus putar otak agar bisa tetap hidup layak sampai beberapa bulan ke depan. Di balik harga-harga yang menjulang tinggi, harga komoditas lain stagnan, bahkan cenderung turun. Pasalnya, mobilitas terhenti dan demand juga berkurang, padahal supply masih ada, seperti yang dialami para petani.
Kreativitas #dirumahsaja diwarnai dengan tingkat produktivitas individu atau kelompok untuk memproduksi sesuatu yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Orang mulai membuat masker dari kain dengan berbagai modifikasi. Di sebelah rumah kita juga pada membuat kue bolu dan makanan ringan untuk dijual. Beberapa keluarga yang punya darah Minang produksi dendeng atau rendang. Tetangga di Yogyakarta ada pula yang membuat gudeg, ikan teri, dan kacang. Seorang ibu rumah tangga membuat udang goreng siap makan, “suami saya sudah tidak dapat orderan lagi masa Corona ini!” katanya.
Dalam konteks inilah solidarity-buying menjadi penting. Kita membeli barang hasil produksi teman, tetangga, dan atau kolega kita. Maksudnya, kita membeli sesuatu dari orang lain sebagai bentuk solidaritas, bukan semata-mata karena kita betul-betul butuh. Bentuk solidaritas seperti ini dibutuhkan untuk menjaga kohesi sosial, memperkuat sikap gotong royong, memupuk sikap kekeluargaan, dan tentu saja ikut mendukung terbangunnya “keamanan sosial” secara lebih bermartabat.
Solidarity-Buying
Kita perlu ingat, dalam situasi krisis dan sulit tidak semua keluarga berpenghasilan rendah itu menyandarkan diri kepada pemerintah atau lembaga sosial. Mereka juga menjaga dignity-nya dengan mengekspresikan potensi terpendam dalam dirinya. Karena itu, solidarity-buying berperan menjaga dignity anggota masyarakat kita. Solidarity-buying juga menjadi bagian dari kesadaran kita untuk melawan panic-buying.
Lebih dari itu, saya ingin memperkenalkan kepada pembaca solidarity-buying sebagai bagian dari apa yang disebut dengan pertukaran-makanan (exchange of food) dan pertukaran creativitas (exchange of creativity) dari masing-masing anggota masyarakat. ‘Bisnis’ baru rumahan ini tidak besar. Di tingkat individu, masyarakat juga tidak mencari nisbah sebesar-besarnya. Mereka hanya mencoba menjaga ketahanan sosial keluarga mereka.
Pemerintah di tingkat daerah dan lembaga-lembaga sosial yang mendapatkan donasi dari masyarakat untuk pengamanan sosial, juga wajib mendukung solidarity-buying ini. Kita manfaatkan dana sosial dalam bentuk solidarity-fund untuk menopang ketahanan sosial melalui ‘solidarity-buying’. Sebagian petani, peternak, nelayan, orang-orang yang tinggal di rumah perlu solidaritas kita semua.
Mari kita ramaikan dan tradisikan solidarity-buying secara berkelanjutan, karena Pandemi Corona tidak sebentar.
Editor: Arif