Fikih

Tradisi Jujuran di Kalimantan: Tantangan atau Penghambat Pernikahan?

4 Mins read

Pernikahan adalah sebuah ibadah terlama yang akan dihadapi seseorang. pernikahan sendiri  berasal dari bahasa arab, yakni an-nikah. Secara bahasa, kata nikah memiliki dua makna. Pertama, nikah berarti jimak atau hubungan seksual. Selain itu, nikah juga bisa bermakna akad yaitu ikatan atau kesepakatan. Salah satu budaya pernikahan yang ada di Indonesia adalah tradisi Jujuran.

Pernikahan

Secara istilah, definisi nikah berbeda-beda menurut ulama fikih dari empat mazhab. Dalam buku Ensiklopedia Fikih Indonesia: Pernikahan (2019), karya Ahmad Sarwat definisinya adalah sebagai berikut

  • Mazhab Hanafi berpendapat Nikah adalah akad yang berarti mendapatkan hak milik untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang tidak ada halangan untuk dinikahi secara syar’i.
  • Mazhab Maliki berpendapat Nikah adalah sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan mahram, bukan majusi, bukan budak, dan ahli kitab, dengan sighah.
  • Mazhab Syafi’i berfendapat Nikah adalah akad yang mencakup pembolehan melakukan hubungan seksual dengan lafaz nikah, tazwij atau lafaz yang maknanya sepadan.
  • Mazhab Hambali berpendapat Nikah adalah akad perkawinan atau akad yang diakui di dalamnya lafaz nikah, tazwij dan lafaz yang punya makna sepadan.

Pada hakikatnya pernikahan hanya dibutuhkan sepasang mempelai, wali, saksi, akad dan sebuah mahar. Mahar diberikan sang mempelai pria kepada seorang wanita yang akan ia nikahi, walaupun itu hanya sebuah cincin besi ataupun dengan mahar Al-Qur’an sebagaimana sahabat bertanya kepada Rasululah SAW Pada zaman Rasul.

Meskipun begitu, sebenarnya Rasulullah telah memberikan mahar yang cukup besar kepada istri-istri beliau. Seperti contohnya Ibunda Khadijah r.a yang diberikan mahar berupa 20 ekor unta.

Di Indonesia sendiri memiliki ragam budaya yang berbeda-beda. Salah satunya adalah budaya atau adat Banjar yang tersebar luas di daerah Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan dan Kalimantan tengah. Dalam hal pernikahan daerah di Kalimantan ini memiliki suatu prosesi adat yang bernama “jujuran”.

Baca Juga  Hukum Mengkafirkan Orang Islam

Jujuran dianggap sangat penting bagi masyarakat Banjar, karena merupakan suatu ‘urf yang telah mengakar secara turun temurun. Konsep Jujuran ini mirip dengan konsep “Uang panaik” yang ada di Makassar. Namun setiap daerah memiliki kebiasaan berbeda beda mengenai konsep tersebut.

Tradisi Jujuran di Kalimantan

Jujuran merupakan sejumlah uang yang telah disepakati kedua mempelai untuk melangsungkan pernikahan. Entah itu untuk biaya konsumsi walimahan atau pun hibah barang barang kepada mempelai wanita. Menurut Mochamad Rochman Firdian dalam skripsinya yang berjudul Tradisi Maantar Jujuran dalam Pekawinan Adat Banjar Kalimantan Selatan Perspektif Hukum Islam”, jujuran merupakan salah satu prosesi perkawinan adat Banjar di Kalimantan Selatan, jujuran yaitu suatu pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berupa uang maupun berupa berupa benda.

Besaran nilai jujuran pun tergantung beberapa hal. Seperti latar belakang mempelai wanita, rupa wanita ataupun memang murni kesepakatan antar kedua mempelai.

Banyak yang salah mengartikan jujuran sebagai mahar. Jujuran berbeda dengan mahar, yang mana mahar disebutkan dalam ijab qabul sedangkan jujuran sendiri tidak disebutkan. Jujuran bukan hak milik mempelai wanita seluruhnya karena uang jujuran digunakan untuk membiayai pesta pernikahan dan dapat pula digunakan oleh orang tua mempelai wanita untuk membeli kebutuhan wanita serta sebagai modal awal berkeluarga.

Bukan hanya laki laki tetapi mempelai perempuan pun bisa berkongsi untuk menambahkan uang jujuran ini. Jujuran ini sangat berpengaruh dalam menentukan berlanjutnya suatu hubungan atau tidak. Jujuran juga bisa menjadi asas tolong-menolong yang mana biasanya seorang pria akan memberikan beberapa hadiah kepada mempelai wanita yang kurang berkecukupan.

Makna Jujuran

Jujuran merupakan sebuah bentuk keseriusan pihak laki-laki kepada perempuan. Pada saat pihak laki laki melamar atau dalam bahasa banjarnya “bedatang” biasanya dibicarakanlah mengenai besarnya jumlah jujuran.

Baca Juga  Mengenal Fajar Shadiq ala Mazhab Hanafi

Pihak wanita berhak menerima ataupun meminta untuk dinaikkan sehingga sesuai dengan kemauan ataupun kemaslahatan mereka. Apabila pihak laki-laki belum menyanggupi jumlah jujuran, maka ini akan memotivasi dan sekaligus menantang pihak laki laki agar mampu untuk memenuhi permintaan itu.

Namun Harus kita akui, budaya jujuran sangat identik dengan permasalahan pranikah. Walaupun sebagian masyarakat kita tidak terlalu mempermasalahkannya. Jujuran juga merupakan salah satu cara pandang agar seseorang dapat mendapat tempat dalam status sosial yang tinggi. Semakin tinggi nilai jujuran, semakin tinggi pula derajat orang tersebut. “

Semakin tinggi nilai jujuran yang diberikan oleh pihak laki-laki, maka semakin tinggi pula nilai wanita maupun keluarga wanita tersebut di Masyarakat. Mindset itulah yang kebanyakan tertanam di masyarakat Banjar. Meskipun demikian, tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa nilai dari jujuran tidak menjamin masa depan rumah tangga yang harmonis atau mengangkan derajat keluarga mempelai.

Padahal jujuran bukanlah merupakan syarat syahnya suatu pernikahan. Tidak ada yang mewajibkan jujuran dalam aturan Agama manapun. Bahkan dalam ajaran agama Islam, yang menjadi kewajiban hanya membayar mahar atau mas kawin. Bukan jujuran.

Namun pengalihan pandangan secara pelan tapi pasti akan membelokkan pengertian masyarakat bahwa jujuran merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar di samping mahar/mas kawin. Tak sedikit pula karena jujuran yang tak mampu dikumpulkan oleh sang pria, pernikahan menjadi batal dan sang wanita dinikahkan dengan orang lain.

Efek Tradisi Jujuran

Ada beberapa efek baik ataupun buruk yang akan terjadi jika permintaan jujuran yang agak besar dari pihak wanita. Sebagai contohnya, ketika ada seorang laki-laki mencintai seorang gadis dengan tulus.

Sesuai ajaran agama, ia sudah mampu membimbing dan gadis itu mencintainya. Namun orang tua dari pihak wanita meminta jujuran yang lumayan besar , maka akan ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Misalnya: sang pria akan meminta bantuan ke orang-orang terdekatnya dengan berhutang, meskipun akan berat ketika harus melunasi itu saat sudah berumah tangga.

Baca Juga  Dekonstruksi Hukum untuk Keadilan Gender

Ada juga yang akan menunda pernikahan untuk bekerja keras hingga memenuhi nilai jujuran yang diminta sesuai dengan kemampuannya. Adapula yang mengambil jalan pintas seperti merampok atau mencuri sehingga mencukupi jumlah jujuran yang diminta. Ada pula yang akhirnya melakukan perzinahan terlebih dahulu, agar ketika dimintai pertanggungjawaban oleh orang tua pihak wanita mereka akan pasrah berapapun jumlahnya.

Karena hal-hal tersebut maka tradisi jujuran pada masa sekarang ini menuai pro dan kontra. Sebagian masyarakat pro mempertahankan tradisi ini. Karena mereka menganggap jujuran merupakan tradisi serta adat yang sudah seharusnya dipertahankan dan dilestarikan.

Namun ada pula kontra yang mulai mengkritisi tradisi yang sudah bertahan dan merupakan warisan dari nenek moyang ini. Karena menurut mereka tradisi  jujuran ini memberatkan bagi mempelai pria dan menimbulkan banyak efek yang tidak diinginkan. Kelompok kontra ini juga beranggapan tradisi jujuran tidak terdapat dalam syariat agama Islam.

***

Walaupun jujuran ini lumayan memberatkan pihak laki-laki, namun di situlah ia mampu memperlihatkan keseriusannya dalam suatu hubungan. Karena pernikahan itu sendiri merupakan ibadah yang membutuhkaan kesiapan dari sisi mental, emosional, spiritual, serta ekonomi kedepannya yang tak kalah penting. Apalagi beberapa tahun terakhir Faktor ekonomi lah yang menjadi alasan paling dominan terjadinya perceraian di Indonesia.

Maka ketika ekonomi sudah matang di awal atau sang pria sudah siap mental terjun ke dunia yang lebih keras untuk menafkahi keluarga, tentu akan mudah untuk melewati kerasnya kehidupan.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *