Falsafah

Jangan Salah Memahami Kalimat “Allahu Akbar”!

3 Mins read

Kalau kita simpulkan sifat sifat Tuhan, itu akan mengerucut dalam dua sifat yaitu sifat jamaliyah dan sifat jalaliyah. Pertama adalah sifat sifat yang menunjukkan bahwa Tuhan itu adalah maha pengasih dan penyayang. Kemudian sifat yang kedua bahwa Tuhan itu maha keras siksaannya. Kedua sifat ini bertolak belakang. Jika beberapa kalimat disalahpahami, seperti salah memahami “Allahu Akbar” maka bisa buruk hasilnya.

Dalam kajian pemikiran Islam ada dua pendekatan dalam memahami Islam yaitu pendekatan eksoterik dan pendekatan esoterik. Pendekatan eksoterik berorientasi fikih yang tekstual, sedangkan pendekatan esoterik lebih menekankan aspek bathini atau tasawuf.

Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan dalam implementasi ajaran keislama. Pendekatan fiqhiyah tapi mengabaikan pendekatan tasawuf akan mengalami kedangkalan atau keropos dalam menjalani ajaran keagamaan. Demikian sebaliknya pendekatan bathini atau tasawuf tapi mengabaikan aspek fiqh, itu akan salah arah dalam beragama.

Budaya Tasamuh Ulama

Ulama-ulama dulu dalam memahami agama, mereka sangat paripurna dalam pemahaman keislamannya. Kedua aspek ajaran tersebut mereka dalami dan amalkan. Sebagai contoh Al-Ghazali yang kita kenal sebagai sufi besar dan punya karangan kitab kitab tasawuf yang banyak, yang sebenarnya juga adalah seorang faqih atau ahli fikih. Sebelum terjun ke dunia sufi ia adalah ahli fikih yang ternama.

Bukan cuma Al-Ghazali saja tetapi ratusan ulama yang lain, baik sebelum Algazali maupun sesudahnya sangat paripurna pemahaman keislamannya. Sekalipun tetap ada spesialisasi terhadap ulama ulama tersebut.

Ada ulama yang sudah terstigmatisasi sebagai ahli fikih karena banyaknya karangan tentang perkembangan fikih atau hukum Islam. Ulama-ulama ini biasa kita kenal dengan ulama madzhab. Ada juga ulama-ulama yang lebih dikenal sebagai ahli hadis seperti Bukhari,  Muslim, dan Ibnu hajar. Ada juga yang condong ke dunia filsafat seperti Ibnu Rusyd, Suhrawardi, dan lain lain.

Baca Juga  Sejarah Filsafat Islam di Indonesia (1): Siapa Sosok Dibaliknya?

Disamping sangat mengusai ilmu-ilmu keagamaan juga sangat moderat, mereka sangat menghargai perbedaan yang terjadi diantara merek. Keempat ulama madzhab itu sangat banyak perbedaannya dalam kajian mereka, namun tingkat toleransi di antara mereka sangat tinggi. Di sinilah perbedaan pendapat diantara mereka menjadi rahmat, karena tingkat tasamuh sangat dikedepankan.

Abad Keemasan Islam

Wawasan keilmuan itu menjadi garda terdepan dalam peradaban Islam pada masa lalu. Para ulama sangat haus terhadap ilmu yang mereka tuntut. Mereka rela bepergian dengan jalan kaki dan naik unta bertahun-tahun hanya untuk mengakses ilmu yang ada di suatu daerah.

Mereka mendatangi para guru ternama hanya untuk mendapatkan ilmu yang dimiliki seorang guru di suatu tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Sehingga pada masa lalu, itu yaitu abad ke VII sampai XII Masehi ada abad keemasan umat Islam. Karena memang agenda utama umat Islam pada waktu itu betul-betul serius mengedepankan fakultas fikir (keilmuan) yang dilandasi dengan fakultas dzikir (keimanan).

Itulah yang membuat umat Islam pada suatu waktu mengalami suatu fase yang sangat maju. Tetapi ketika umat islam jauh dari ilmu dan lebih tertarik untuk mengejar kehidupan dunia maka umat Islam mengalami kemandekan dan tertinggal dari dunia Barat. Pada abad XII sampai abad selanjutnya umat Islam mengalami kemunduran hingga “tak sadarkan diri”. Abad ke XIX barulah umat Islam mulai siuman kembali.

Bila umat Islam konsisten untuk mengedepankan kedua model peradaban tersebut (fikir dan dzikir) niscaya akan kembali jaya. Seperti terjadi pada abad-abad keemasan.

Kita merindukan umat Islam yang bukan hanya menguasai peradaban ilmu tapi ditopang dengan akhlak yang baik, punya manfaat terhadap orang, dan bisa menjadi rahmat seluruh alam. Contoh prototype umat Islam adalah Nabi Muhammad saw, sebagai nabi yang rahmatan lil alamin.

Salah Memahami Allahu Akbar

Muhammad saw itu adalah pengejawentahan dari konsep basmalah, dalam konsep basmalah selalu beraktivitas atas nama Tuhan. Ia menyebarkan vibrasi kerahmanan dan kerahiman, pengasih dan penyayang. Itulah sebenarnya yang harus menjadi misi kita untuk menjadikan Muhammad sebagai teladan. Tentang bagaimana Tuhan kita jadikan sandaran spritual lalu memudian menyebarkan vibrasi kasih sayang terhadap sesama. Ada konektivitas antara bismillah dengan arrahman dan arrahim.

Rangkuman dari sifat Tuhan yang begitu banyak, ada dalam arrahman dan arrahim, sifat jamaliyah Tuhan lebih menonjol dari sifat jalaliyahnya. Artinya sandaran vertikal ada dalam bismillahi dan sandaran horizontal ada dalam rahman dan rahim. Tidak boleh terputus antara bismillah dengan arrahman dan arrahim.

Bila keduanya terputus itu akan melahirkan manusia manusia yang pemahamannya terhadap  agama tidak paripurna. Mereka akan menjadi manusia manusia yang radikal, manusia yang memahami agama secara hitam putih. Manusia-manusia yang kering dalam beragama, mereka suka dengan simbol-simbol yang mengerikan.

Baca Juga  Kritik Talal Asad Terhadap Sekulerisme

Manusia-manusia seperti inilah yang suka melakukan kegiatan teror. Karena pemahaman keagamaannya sangat parsial, sepotong-sepotong, mereka salah memahami konsep Allahu Akbar. Mereka tidak punya naluri kerahmanan dan kerahiman.

Gerakan gerakan radikal sekarang ini semakin memprihatinkan. Mereka menggunakan simbol-simbol agama untuk menghancurkan kemanusian. Mereka membajak agama untuk kepentingan hawa nafsunya, berani mati tapi takut hidup. Mereka bertuhan tapi sebenarnya dia tidak bertuhan, salah memahami simbol tauhid. Simbol tauhidnya adalah “ada tuhan selain tuhan“, mereka melupakan simbol “La” dalam kalimat tauhid tersebut.

Islam itu agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan, simbol ketuhanan menyatu dalam simbol kemanusiaan. Sifat sifat jamaliyah Tuhan hendaklah diinternalisasikan dalam diri  kita yakni sifat rahman dan rahimnya. Kemudian kembali diviralkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Editor: Nabhan

Avatar
44 posts

About author
Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.
Articles
Related posts
Falsafah

Puasa dalam Kacamata Filsafat Eksistensialisme

3 Mins read
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi teologis dan rasional. Tulisan ini ingin mencoba memaknai puasa melalui pendekatan filsafat, khususnya…
Falsafah

Uang adalah Cerminan Manusia: Gagasan Yuval Noah Harari

3 Mins read
Ketika kita melihat selembar uang kertas atau angka di rekening bank, seringkali kita berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang nyata atau sesuatu…
Falsafah

Pendidikan Progresif ala John Dewey

3 Mins read
Pendidikan progresif adalah sebuah konsep pendidikan yang berfokus pada perkembangan anak secara menyeluruh, baik dari sisi intelektual, emosional, maupun sosial. Konsep ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *