Fikih

Al-Ghazali: Sang Maestro Tasawuf

4 Mins read

Oleh: Yusuf Rohmat Yanuri*

Nurcholish Madjid, dalam bukunya Warisan Intelektual Islam, pernah mengutip pendapat seorang sarjana muslim. Inti dari pendapat tersebut adalah bahwa ada seorang intelektual muslim yang dengan dahsyatnya menyelesaikan banyak permasalahan dalam dunia Islam, sehingga ia seolah-olah menciptakan kamar untuk umat Islam dengan sangat nyaman. Yang kemudian umat Islam sampai hari ini tidak mampu keluar dari kamar tersebut, karena kreativitas intelektual umat Islam telah terpenjara oleh nyamannya kamar tersebut. Intelektual muslim itu dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali.

Abu Hamid ibn Muhammad Al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M di Khurasan. Ia wafat pada tahun 1111 M juga di Khurasan, meskipun dalam perjalanan hidupnya ia sempat singgah di banyak kota. Al-Ghazali dilahirkan dari sepasang orang tua yang miskin namun sangat wara’ dan tidak mau makan kecuali dari hasil keringatnya sendiri. Ayah Ghazali meninggal ketika Ghazali masih kecil, sehingga ia dititipkan kepada teman ayahnya untuk dididik menjadi seorang ahli ilmu.

Setelah menghabiskan masa kecil di Khurasan, ia pergi ke Madrasan Nizamiyah di Naisabur untuk menuntut ilmu. Di sana ia belajar mazhab-mazhab fikih, kalam, filsafat, dan lain-lain. Di usia yang relatif muda, Ghazali sudah diangkat menjadi pengajar di Naisabur. Tidak cukup dengan itu, ia diangkat menjadi guru besar di perguruan Nizamiyah di Baghdad. (Zaini, 2016: 150-151)

***

Setelah mengembara begitu lama dalam dunia intelektual dengan penuh penghargaan dan prestasi, Al-Ghazali mengalami semacam skeptisisme terhadap apa yang selama ini ia pahami. Ia pun kemudian melakukan uzlah (pengasingan diri) dan berkelana dari satu daerah ke daerah lain. Pada masa ini Al-Ghazali fokus mengembangkan keilmuan dan kemampuan sufisme. Ia kemudian melahirkan magnum opusnya yaitu kitab Ihya ‘Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lain seperti kimia as-sa’adah, al-munqid min adh-dhalal, dan lain-lain.

Baca Juga  Konsep Pakaian Syar'i yang Banyak Disalahpami Muslimah

Salah satu peran Al-Ghazali yang berhasil dengan sangat baik adalah mendamaikan ketegangan antara ahli fiqh yang serba baku dan formal dengan ahli tasawuf yang cenderung mengabaikan aspek formal dalam Islam. Sebelum hadir Al-Ghazali, banyak sufi yang dianggap sesat oleh hakim-hakim ahli fiqh. Namun Al-Ghazali mampu mengakhiri ketegangan itu dengan memadukan antara ilmu ma’rifat yang sufistik dengan syariat yang formal.

Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali

Salah satu yang menjadi konsentrasi Al-Ghazali ketika menjalani praktik sufisme adalah kebahagiaan. Sudah barang tentu ratusan nabi, filosof, dan bijak bestari selalu mengulang-ulang ajaran tentang kebahagiaan. Namun, sampai hari ini manusia belum juga bisa sepenuhnya menjalani kehidupan dengan bahagia.

Al-Ghazali mengartikan bahagia sebagai kondisi jiwa yang muncul dari kesenangan terhadap sesuatu yang selaras dengan sifat atau tabiat dasarnya (Izzudin, 2010: 38). Al Ghazali membagi nikmat menuju kebahagiaan menjadi lima hal.

Pertama, nikmat kebahagiaan akhirat (ukhrawiyyah). Kebahagiaan ini bersifat abadi, namun tidak dapat dijangkau oleh indra manusia. Karena tidak dapat dijangkau oleh indra, kebahagiaan ini sulit dijelaskan. Namun cukup dengan diyakini. Kedua, nikmat keutamaan jiwa (nafsiyyah). Keutamaan jiwa meliputi akal yang mempunyai banyak ilmu, wara’ (menjauhkan diri dari syubhat), keberanian, dan keadilan.

Ketiga, nikmat keutamaan badan (badaniyyah). Keutamaan badan ditunjukkan dengan sehat, kuat, tampan/cantik, dan panjang umur. Keempat, nikmat eksternal (kharijiyyah). Nikmat yang berada diluar diri, berupa harta, keluarga, teman, jaringan, dan lain-lain. Dan yang terakhir adalah nikmat keutamaan taufik (taufiqiyyah). Yaitu nikmat pengakuan rasa kasih sayang dari Allah, dan ketentraman dalam keyakinan terhadap Allah.

***

Tingkatan kebahagiaan Ghazali ini berurutan dari yang paling bawah. Seseorang untuk bahagia harus memiliki keutamaan taufiqiyyah, mengakui bahwa ada nikmat dari Allah. Setelah itu ia lengkapi dengan nikmat harta, keluarga, dan teman. Setelah hal itu tercukupi, ia baru dapat merasakan nikmat badaniyyah berupa fisik yang sehat, kuat, dan indah dipandang.

Baca Juga  Konversi Agama di antara Syariah dan HAM

Setelah tiga nikmat diatas tercukupi, ia baru dapat merasakan nikmatnya jiwa, sehingga jiwanya menjadi jiwa yang tenang (nafs al-mut’mainnah) dan kemudian setelah meninggal akan merasakan nikmatnya akhirat.

Selain itu, Al-Ghazali juga menggunakan salah satu kredo sufisme yang cukup terkenal yang berbunyi man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa Robbahu (siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya). Mengenal Tuhan bagi Al-Ghazali adalah puncak kebahagiaan tertinggi, dan pengenalan terhadap diri sendiri adalah jalan menuju pengenalan terhadap Tuhan.

Pengenalan terhadap diri adalah menyadari bahwa manusia memiliki jiwa yang sempurna, namun sering tertutup oleh hawa nafsu dan karakter kebinatangan. Hawa nafsu dan karakter kebinatangan inilah yang menyebabkan noktah hitam dalam beningnya jiwa. Sehingga semakin sering menuruti hawa nafsu, maka jiwa akan semakin tertutup, dan lama-kelamaan akan menjadi gelap.

Jiwa yang gelap tidak akan dapat memantulkan cahaya ketuhanan. Sebagaimana cermin, jiwa harus dibersihkan (tazkiyatun nafs) agar pengenalan diri dapat berjalan dengan baik, dan kebahagiaan tertinggi dapat diraih.

Perjalanan Menuju Tuhan

Lantas, bagaimana pengenalan diri itu dapat ditempuh? Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin memberikan tingkatan-tingkatan seorang salik untuk dapat mencapai Tuhan dengan jiwa yang bersih. Pertama, dengan taubat. Taubat merupakan upaya untuk meninggalkan dosa-dosa dan bertekad untuk tidak mengulanginya.

Kedua, sabar dan syukur. Kesabaran terbesar adalah sabar dalam menahan diri dari melampiaskan syahwat, dan sabar ketika mendapat gangguan dari orang lain. Sedangkan syukur dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota tubuh secara bersamaan. (Al-Ghazali, 2014: 441-458)

Ketiga, fakir. Fakir adalah perasaan selalu membutuhkan terhadap Allah dan bergantung kepada-Nya. Keempat, zuhud. Zuhud tidak berarti miskin. Zuhud adalah ketika seseorang tidak lagi disilaukan oleh dunia, terlepas dari ia kaya atau miskin. Dalam bahasa HAMKA, zuhud adalah menggenggam dunia dengan tangan, bukan dengan hati.

Baca Juga  Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

Kelima, tawakkal. Tawakkal dilakukan setelah ikhtiar, bukan tanpa ikhtiar. Keenam, cinta. Puncak segala cinta adalah Allah. Jika manusia mencintai yang indah, maka yang Maha Indah adalah Allah. Jika manusia mencintai kebaikan, maka yang Maha Baik adalah Allah, dan seterusnya.

***

Kemudian yang terakhir adalah ikhlas dan ridho. Jika seseorang mampu menempuh tingkatan-tingkatan diatas, maka ia akan sampai pada ma’rifat. Yaitu terbukanya (kasyf) hijab yang menutupi manusia dengan Allah.

Pesan-pesan Al-Ghazali pada abad ke sebelas sampai abad dua belas masih cukup relevan dengan hari ini. Aspek sufisme Al-Ghazali cukup penting untuk mengimbangi kehidupan manusia modern yang serba materialistik ini. Semoga abad ini lahir Ghazali-Ghazali modern. Amin.

*Ketua PW IPM Jateng Bidang PKK

Avatar
108 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *