Etika diniyah perlu diperhatikan dalam pengembangan kampus Islami. Prinsip pertama yang perlu diadopsi adalah prinsip pengembangan SDM.
Sebagian filsuf muslim menilai awal pendidikan yang dialami oleh manusia adalah ketika mereka menyatakan ikrar dengan Allah swt. Sebagaimana yang termaktub dalam surat. Al-A’raf ayat 172 yang berbunyi, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi).
Namun ada juga sebagian ulama yang menilai pendidikan awal manusia adalah ketika Allah melakukan pengajaran kepada Adam, sehingga manusia secara potensial mampu untuk mengetahui hukum-hukum alam. “Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya” (QS. Al-Baqarah [2]:31).
Prinsip Pengembangan SDM
Sebagaimana aspek pendidikan diatas adalah dalam rangka untuk mengembangkan dan menyukseskan sumber daya manusia (SDM) yang mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi ini, dengan prinsip pengabdiannya kepada Allah swt. Allah berfirman: “Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku” (QS. Al-Dzariyat [51]: 56).
Maka dari itu, prinsip agama Islam dalam mengembangkan sumber daya manusia, perlu menghindari prioritas yang hanya menjadikan manusia sebagai tujuan terbatas pada target peningkatan produksi (pembangunan ekonomi).
Bahwa prinsip pengembangan SDM yang dianjurkan dalam Islam adalah harus mencakup diri manusia sebagai insan abdi Allah, yang mengandung nilai-nilai etika, estetika dan logika. Kemudian harus bermanfaat bagi fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi dalam berbagai aspek kehidupan.
Allah memberikan kemampuan kepada manusia dengan akal dan hawa nafsunya, yaitu manusia merasa bahwa mereka bukan bagian dari alam. Tetapi dia ‘memisahkan’ diri dari alam untuk mengenal, memanfaatkan dan menguasainya. Ini menandakan bahwa syarat keberhasilan membangun dunia dalam segala aspeknya yang menghasilkan kreasi untuk manfaat keberlangsungan hidup. Kemudian harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Dengan catatan, pengetahuan bukanlah syarat satu-satunya, terlebih jika pengetahuan adalah hasil penggunaan daya akal semata-mata. Pengetahuan bukanlah satu-satunya syarat, karena masih ada bekal-bekal lain yang diberikan Allah untuk kesuksesan misi kekhalifahan manusia, antara lain Al-Qur’an yang dijadikan pedoman hidup manusia.
Sebagaimana termaktub dalam firman Allah: “Turunlah kamu sekalian dari surga (ke bumi). Kemudian, jika datang petunjuk-Ku kepadamu (maka ikuti petunjuk itu). Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah [2]: 38).
Perpaduam Ilmu
Ilmu pengetahuan bila ditinjau dari filsafat ilmu menurut Michel Foucault merupakan sekumpulan ide yang tersusun sehingga menjadi teori yang mempengaruhi tipologi masyarakat juga dapat dikontrol secara kritis.
Dalam pandangan Islam, dikenal ada dua macam ilmu yang masing-masing mempunyai cara perolehannya. ‘Ilm kasbi (acquired knowledge), yaitu ilmu yang diperoleh dari upaya manusia, dan ‘ilm ladunni (perennial knowledge), yaitu berupa anugerah Allah yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kesucian jiwa, baik berupa wahyu maupun ilham.
Sejak dari awal turunnya wahyu yang terdapat dalam surat Al-Alaq ayat 1-5, bahwa perintah “membaca” menjadi dasar dari pemberdayaan SDM itu sendiri dan ilmu haruslah dicari dan dimanfaatkan Bismi Rabbika (demi Allah) karena pengetahuan yang mengasilkan daya cipta merupakan syarat pertama dan utama. Penulis sendiri adalah mahasiswa pendidikan agama Islam (PAI), bahwa dalam dunia pendidikan Islam, dikenal istilah adab al-dunya dan adab al-din.
Jenis yang pertama akan menghasilkan taskhir (teknologi) yang mengantar pada kenyamanan hidup duniawi, sedangkan jenis yang kedua menghasilkan tazkiyah (penyucian jiwa) yang mengantar kepada kebahagiaan ukhrawi. Dua hal tersebut harus bersatu padu sebagaimana terdapat dalam doa yang diajarkan Al-Qur’an: “rabbanā ātinā fid-dun-yā ḥasanataw wa fil-ākhirati ḥasanataw wa qinā ‘ażāban-nār.”
Sehingga Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Secercah Cahaya Ilahi” (Mizan:2002) mengatakan konteks upaya peningkatan kualitas SDM dalam Islam. Bahwa jika tujuan dari prinsip pengembangan SDM terbatas pada upaya meningkatkan produksi dan pengembangan ekonomi, maka boleh jadi dapat dikatakan pengetahuan yang diperlukan dapat dibatasi pada pengetahuan jenis pertama. Itupun dalam beberapa jenis saja.
Akan tetapi, jika yang dimaksudkan dengan pengembangan SDM adalah mewujudkan manusia seutuhnya untuk menyukseskan tugas kekhalifahan, maka kedua macam ilmu diatas harus dipadukan. Lebih-lebih jika penerapan ilmu yang dimiliki bertujuan untuk mencapai keridhaan Ilahi, sesuai dengan kandungan pesan Bismi Rabbika diatas.
Tanda Integritas Kampus
Begitupun juga dengan kampus yang menjadi tempat utama dari sekian banyak fasilitas yang digunakan untuk mengembangkan SDM. Menurut penulis, terdapat dua faktor utama yang menandai integritas kampus yang islami dibanding tempat lainnya.
Pertama, kedalaman ilmu yang dikuasai dan dikembangkan oleh warganya, kita bisa melihat dengan adanya jurnal, penemuan baru dan lain sebagainya. Kedua, keluhuran budi yang dijunjung tinggi serta menghiasi perilaku anggota-anggotanya.
Perpaduan keduanya merupakan hal yang mutlak, terlebih bagi perguruan tinggi Islam. Karena perguruan tinggi Islam menyandang gelar kampus islami, di sanalah pertemuan antara tujuan pendidikan dengan kehadiran ajaran agama Islam. (Bersambung)
Editor: Nabhan