Perspektif

SosioVirologi (2): Prediksi Perubahan Tatapola Kehidupan Akibat Pandemi Covid-19

5 Mins read

Kebijakan physical-social distancing tentu sangat berdampak terhadap aspek sosio-ekonomi, sosial-budaya, sosio-politik, dan sosial-keagamaan. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung terjadi perubahan tatapola relasi dan struktur sosial di masyarakat.

Gambaran Perubahan Struktur Sosial

Berikut akan digambarkan peta perubahan struktur sosial masyarakat akibat Covid-19. Pertama, aspek ekonomi. Dampak virus Covid-19 pada sektor ekonomi adalah terjadinya disstabilitas (kegoncangan) struktur ekonomi di masyarakat. Kegoncangan ekonomi dikarenakan adanya pembatasan dan penutupan produksi di sektor Industri (pabrik) dan perusahan jasa karena harus menerapkan physical-social distancing. Serta lesuhnya permintaan pasar karena pasar-pasar grosir besar di Indonesia sebagian besar ditutup (seperti PGS Surabaya, Pasar Tanah Abang Jakarta). Penutupan itu untuk menghindari kerumunan manusia dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19.

Selain itu, Covid-19 berdampak pula pada sektor ekonomi pariwisata (restaurant, Warkop, Warteg, Mall, Hotel, tempat wisata) sebagian besar tutup, sehingga berdampak pula kepada sektor usaha transportasi yang “loyo-lesu.” Terutama pada sektor industri pesawat terbang yang mengalami kerugian besar karena adanya kebijakan penutupan akses keluar masuk bagi warga atau wisatawan asing diberbagai negara.

Ditambah dengan melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar, situasi ini berdampak pada sektor usaha export-impor dan pembangunan infrastruktur berbasis investasi dengan penggunaan pembiayaan mata uang asing, sebagian besar mengalami pelambatan pembangunan.

Situasi di atas berdampak pada pelambatan perputaran uang dan terjadi kerugian besar para pelaku usaha, sehingga berdampak pada PHK massif buruh-karyawan. Sehingga situasi ini akan menambah pengangguran besar-besaran, yang tentu akan berdampak pada terjadinya kemisikinan masal di Indonesia. Di mana masyarakat tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga situasi ini dapat merembet pada sektor lain semisal mendorong terjadinya kerawanan sosial atau “clash social.” Di mana situasi ekonomi tersebut belum pernah terjadi sebelum pandemi Covid-19.

Kedua, aspek sosial-budaya. Kebijakan phsyical-social distancing sangat berdampak terhadap relasi sosial-budaya di masyarakat, di antaranya pada sektor pendidikan. Dengan penerapan physical-social distancing menjadikan Kemebdikbud membuat peraturan Belajar di Rumah (BDR) dengan sistem pembelajaran daring (online) hingga dihapusnya ujian nasional, dengan harapan dapat mencegah sebaran Covid-19.

Dampak kebijakan ini, terjadi “kegagapan” atau ketidaksiapan di kalangan pelaku Pendidikan, mulai guru, murid, dan orang tua. Proses pembelajaran online sangat tergantung pada penguasaan teknologi informasi (internet), sementara mayoritas  orang tua (wali murid) dan siswa di Indonesia tinggal di pedesan belum begitu melek teknologi. Bahkan mungkin belum ada sambungan internet, sehingga situasi ini menjadikan kesulitan beradaptasi. Proses pembelajaran online menjadi kurang maksimal. Sebab, selama ini proses pembelajaran yang dilakukan selama ini dengan sistem klasikal, yaitu berjumpa secara fisik guru dan murid dalam satu kelas, sehingga mempermudah proses pembelajaran dan penilain guru terhadap kualitas muridnya.

Baca Juga  Omnibus Law (1): Pandangan Menurut Islam

Ditambah dengan dihapusnya Ujian Nasional sebagai alat ukur dan evaluasi dalam pembelajaran, maka terjadi ketidakjelasan ukuran dan evaluasi pendidikan nasional. Situasi di atas tentu sedikit banyak akan berpengaruh terhadap tatakerja dan kualitas pendidikan Indonesia. Situasi ini belum pernah terjadi sebelum pandemi Covid-19.

Selain itu, Covid-19 juga berdampak pada munculnya “paranoid sosial” dalam pergaulan sosial budaya di masyarakat. Paranoid sosial adalah sebuah situasi sosial di mana sikap kecurigaan berlebihan (ketakutan) antara individu dengan orang lain, karena orang lain dianggap berbahaya terhadap keselamatan jiwa dan raganya.

Fakta lapangan terjadinya paranoid sosial di antaranya keenganan atau ketakutan bersalaman dengan orang, bersilaturahim “cangkrukan” dengan saudara, teman atau tetangga, dan membatasi ketemu banyak orang, gang-gang kampung dan perumahan ditutup dan disiapkan tempat cuci tangan.

Dan paling menghebohkan dan menggetarkan jiwa kemanusiaan kita adalah ditolaknya para mayat yang terpapar Covid-19 di pemakaman kampungnya sendiri oleh warga sekitar. Padahal, sebelumnya karakter sosial budaya bangsa Indonesia sangat sosialis, egaliter, guyub, rukun, suka silaturahim, “nguwongne wong,” dan gotong-royong. Kultur ini seakan hilang dan terkikis di tengah pandemi Covid-19. Situasi ini disebabkan dalam pikiran mereka terjadi ketakutan berlebih terhadap orang lain yang dianggap semuanya dapat menularkan virus Covid.-19. Relasi sosial budaya tersebut belum pernah terjadi sebelum pandemi covid-19.

Ketiga, aspek sosio-politik. Masifnya sebaran Covid-19 juga berdampak pada dunia sosio-politik, yaitu terjadinya “enigma politik”. Enigma politik adalah situasi sosial politik, yang penuh teka-teki atau ketidakjelasan terhadap proses-proses kegiatan politik di masyarakat. Contah real terjadinya enigma politik adalah ditundanya beberapa hajatan politik, yaitu Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur, Pilkada Bupati/Walikota-Wakilbupati/Wakilwalikota serta ditundanya Pilkades dengan waktu yang belum ditentukan pelaksaananya secara pasti hingga Covid-19 mereda.

Baca Juga  Muhammadiyah Bolehkan Pengalihan Dana Qurban untuk Masyarakat Terdampak Pandemi

Penundaan ini merupakan hasil keputusan bersama Komisi II DPR, Mendagri, dan KPU RI. Penundaan proses politik ini akan berimbas pada individu dan keluarga calon di mana semakin membengkak biaya politik dan kegelisahan pikiran dan jiwa karena menunggu  yang lama dan belum pasti, sehingga dapat mudah terserang stres dan penyakit. Serta berdampak terhadap tatakerja politik pemerintahan di masyarakat, di mana yang seharus sudah tahap pergantian kepemimpinan akhirnya diperpanjang atau PLT.

Situasi ini tentu dapat berdampak pada kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup masyarakat, sehingga berpotensi terjadinya kekacauan politik di masyarakat. Padahal, tatanan politik sebelumnya jelas dan pasti tahapannya, sehingga masyarakat cenderung mengikuti secara tertib. Selain itu, perubahan kebijakan politik akibat Covid-19 adalah terkait remisi bagi ribuan narapidan kriminal biasa, kecuali napi teroris, narkoba, dan korupsi.

Kebijakan ini belum pernah terjadi dan tentu ada potensi masalah lainnya yang mengikuti kebijakan ini di masyarakat, di antaranya menambah pengangguran dan kerawanan kejahatan sosial terulang. Situasi “enigma politik” ini belum pernah terjadi sebelum pandemi Covid-19.

Keempat, aspek sosial-keagamaan. Kebijakan terhadap pencegahan sebaran Covid-19 berdampak pula terhadap kehidupan sosial-keagamaan. Meminjam istilah Gus Musthofa Bisri, terjadi “Suwung” beragama atau privatisasi ritual keagamaan di masyarakat. Suwung “sepi” beragama maksudnya adalah situasi di mana ritual-ritual suci keagamaan yang biasa dikerjakan secara bersama-sama di ruang publik (Masjid, Sinagog, Gereja, Pura, Wihara,  Klenteng) bergeser dilaksanakan di ruang privat (rumah) dan dilakukan bersama keluarga inti. Semisal, larangan shalat fardhu, shalat Jumat, shalat tarawih Ramadhan, dan shalat Idul Fitri secara berjamah di masjid.

Selain itu, adanya pelarangan perjalan suci ke tanah haram Makkah,  di mana Pemerintah Arab Saudi melarang Umrah dan pelaksanaan haji pun masih tanda tanya menunggu perkembangan Covid-19. Selain itu ada pula pelarangan perayaan hari suci keagamaan bersama-sama di ruang publik. Semisal perayaan Paskah umat Kristiani, perayaan Nyepi umat Hindu, Perayaan Waisak umat Budha, dan perayaan Hari Raya I’dul Fitri umat Islam.

Bahkan, tradisi mudik Lebaran yang sudah menjadi ritual tahunan dan tradisi unik masyarakat muslim Indonesia terancam dilarang. Sehingga Lebaran umat Islam tahun ini diprediksi sepi “suwung”, tidak ada gempita tadarus al-Quran, shalat tarawih berjamah,  buka puasa Bersama. Juga serba-serbi mudik dari kota ke desa, tidak ada gempita pembelian baju baru, sepinya gema takbiran, sepinya silaturahim sanak keluarga, serta sepinya pemberian angpo yang ditunggu anak-anak. Padahal, mudik dan merayakan Idul Fitri bersama sanak keluaga di desa merupakan suatu “cita-cita” yang ditunggu bagi para perantaun untuk pulang ke desa asalnya.

Baca Juga  Cara Nabi Muhammad Melawan Oligarki

Selain itu, tradisi mudik Lebaran berdampak terhadap pemenuhan rasa rindu terhadap keluarga. Mudik juga berdampak pada peningkatan sektor ekonomi lainnya. Karena dengan adanya larangan mudik, maka diprediksi akan terjadinya kelesuhan ekonomi di masyarakat. Situasi sosial-keagamaan ini belum pernah terjadi sebelum wabah Covid-19.

Ragam Respon Terhadap Covid-19

Selain itu, terjadi pula perdebatan menyikapi pandemi Covid-19 di kalangan masyarakat, terutama Muslim Indonesia. Ada tiga arus penyikapan masyarakat terhadap pandemi ini: pertama, sikap sangat percaya penuh, jika kita mengikuti semua prosedur kesehatan maka kita akan sehat dan selamat dari Covid-19. Sikap dan pemikiran ini dalam ilmu Kalam (theologi)  disebut aliran pemikiran “Qodariyah.”

Kedua, sikap percaya penuh kepada kehendak Allah, bahwa virus dan kematian semua bagian dan sudah diatur oleh Allah Sang Maha Kuasa. Artinya, kalau Allah belum menakdirkan mati pasti akan mati walaupun sudah mengikuti anjuran ilmu kesehatan dan sebaliknya. Jadi, pasrahkan semua pada kehendak Allah, kita ikuti saja kehendak-Nya. Sikap dan pemikiran ini dalam ilmu Kalam (theologi) disebut aliran pemikiran “Jabariyah.”

Ketiga, sikap tetap mengikuti anjuran protokal kesehatan dan terus berdoa minta keselamatan dari Allah,  sebagai bagian ikhtiar yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh manusia secara maksimal,  kemudian pasrahkan semua hasil dari ikhtiar kepada kehendak Allah (tawakal). Sikap dan pemikiran ini dalam ilmu Kalam (theologi) disebut aliran pemikiran “As’ariyah.” Perdebatan semacam ini jarang terjadi dan menyeruak kembali di saat pandemi Covid-19 di masyarakat.

Demikian tulisan ini sebagai hasil pembacaan penulis terhadap fenomen atau gejala sosial yang sedang terjadi di masyarakat. (Habis)

Editor: Arif

Avatar
4 posts

About author
Dr. Sholikhul Huda, M.Phil.I./Dosen Prodi Studi Agama-Agama (SAA) FAI UMSurabaya/ Penggiat Majelis Sinau Padhang Wetan/ Direktur Kedai Jambu Institute Riset & Survei Jombang Indonesia/Sekretaris DPD KNP Jatim 2017-2019/Sekretaris PW Pemuda Muhammadiyah Jatim 2010-2014.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds