“Negara-negara kaya perlu lekas-lekas menebang habis emisinya syahdan membantu negara-negara yang lebih miskin untuk melakukan hal yang sama.”
Pesan di atas disampaikan oleh seorang anak perempuan bernama Greta Thunberg di hadapan Forum Ekonomi Dunia pada Januari 2020 kemarin. Pesan yang bisa menjadi refleksi hari bumi, 22 April ini. Pesan yang rupanya banyak diremehkan oleh pemimpin dunia, dan juga kebanyakan warga dunia, hanya lantaran ia adalah anak kecil.
Tetapi, yang barangkali jarang disadari oleh kita adalah anak kecil itu cenderung jujur terhadap apa yang dirasakannya, sebab otak dan nuraninya belum ternodai oleh kepentingan bisnis, politik, dan tetek bengek lainnya yang aromanya terlampau duniawi.
Refleksi Hari Bumi
Sementara Greta Thunberg, dan para generasi pecinta lingkungan hidup terdahulu, mencemaskan masa depannya di dunia, sebagian manusia tetap menjalani hidup seperti biasa. Seperti biasa saja, setiap harinya sebagian manusia tetap beranak-pinak, sehingga per pertengahan 2020 ini jumlah penduduk di dunia kini sudah menembus angka 7,8 milyar jiwa.
Diperkirakan, jika kehidupan umat manusia sedunia lancar jaya, pada seputaran 2022 jumlah penduduk dunia akan mencapai 8 milyar jiwa.
Tapi, yang sering terlupakan adalah bertambahnya jumlah penduduk berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan per kepala. Sedangkan untuk urusan pangan saja manusia sudah banyak merusak bumi. Melalui pembudidayaan tanaman pangan, misalnya, manusia justru melepaskan karbon dioksida yang terkandung dalam tanah ke permukaan bumi.
Belum lagi jika itu diikuti dengan konsumsi hewan ternak, yang limbahnya (kotoran dan bangkai) dapat menghasilkan metana, gas yang lebih merusak ketimbang karbon dioksida (Foley, 1992:275–281), atau produk dari industri manufaktur lainnya.
Tambahan lagi, yang kerap terlupakan adalah manusia itu pada hakikatnya menghidupi diri sambil memperkosa alam, sengaja maupun tidak. Seperti biasa, manusia pergi bekerja manusia menggunakan kendaran bermotor. Lantas sampai di kantor menyedot listrik untuk menyalakan komputer dan serbarupa gawai lainnya untuk menunjang produktivitas. Akhirnya mendapat imbalan yang besar jika produktivitasnya kian besar pula.
Manusia Memperkosa Alam
Di waktu senggang, banyak manusia menghibur diri dengan menonton televisi, atau mengasyikkan diri dengan gawai. Perangkat yang menggunakan listrik yang dihasilkan oleh pembakaran batubara atau gas bumi.
Bisa juga dengan membaca buku dan majalah konvensional yang kertasnya adalah dihasilkan dengan menebang kayu, atau buku dan majalah daring yang mengandalkan listrik. Jikalau ingin liburan, manusia biasa mengandalkan sarana transportasi dan akomodasi yang biasanya membutuhkan bahan bakar minyak.
Seperti biasa, setiap tahunnya setiap pemerintah di muka bumi senantiasa berjuang mendongkrak pendapatan negara, dengan menggiatkan perdagangan internasional, pemungutan pajak, dan lain-lain. Target pemerintah itu diamini keras-keras oleh para juragan dan taipan.
Lantas mereka berbondong-bondong meningkatkan produksi barang dan jasa. Sedangkan para pekerja tentu saja sibuk berjuang meningkatkan produktivitas guna menambah pundi-pundi kekayaan dan mendongkrak kualitas hidup.
Tapi, yang sering terlupakan adalah peningkatan produksi barang dan jasa itu sebetulnya sama saja dengan menggiatkan eksploitasi alam. Indonesia, misalnya, sebagai salah satu penghasil energi listrik terbesar di dunia, negara kita giat mengonsumsi dan mengekspor batu bara, briket, minyak bumi, dan gas alam.
Penggalian sumber daya alam menjadi kian masif. Alhasil, bukannya tak mungkin bila erosi, pencemaran tanah, air tanah, atau pencemaran lingkungan hidup akan semakin marak ke depannya. Hal ini bisa disebut sebagai kebiasaan memperkosa alam.
Target Utama Industri
Di samping itu, kegandrungan Indonesia dalam mengekspor minyak kelapa sawit menghadiahkan kerusakan kepada hutan dan fauna di seantero Zamrud Khatulistiwa. Alhasil, Forest Watch Indonesia melaporkan bahwa antara 2013 dan 2017, 1,47 juta hektar hutan hilang setiap tahunnya (Tempo, 13/10/2019).
Kerusakan itu belum termasuk sejibun fauna yang terusir dari kampung halamannya, atau bahkan meregang nyawa akibat ulah para jawara perkebunan kelapa sawit. Tren demikian—meski dalam wujud industri yang berbeda—juga dapat dijumpai di berbagai negara industri lainnya.
Seperti biasa, para juragan dan taipan hampir tak pernah alpa mencantumkan label recycle pada bungkus produknya. Sambil menyodorkan pesan go green agar konsumennya dapat mengurangi atau mengolah kembali limbah (zero waste), dan lain-lain.
Tetapi yang kerap terlupakan, target utama mereka tentu saja adalah mengantongi pendapatan sebanyak-banyaknya dengan menggiatkan produksi dan penjualan. Hampir tak ada perusahaan di muka bumi yang menginginkan pendapatan menurun tiap tahunnya, apalagi hanya demi kesejahteraan alam.
Misalnya, perusahaan manufaktur yang mengandalkan plastik atau kertas sebagai pembungkus produknya, tentu mengharapkan peningkatan pendapatan setiap tahunnya. Artinya, produk mereka yang terjual (termasuk bungkusnya) harus bertambah terus.
Soal bungkus produknya (yang menjadi limbah) mau dilarikan ke mana, itu urusan belakangan, yang penting kantong terisi dan pajak terbayar. Alhasil, pengusaha senang, negara senang, dan tentulah rakyat ikut senang jika pajak itu digunakan untuk pembangunan yang dapat menyejahterakan mereka, bukan ke kantong para mafia pajak.
Prinsipnya, negara akan girang jika pajak yang dibayarkan oleh perusahaan pertambangan, perkebunan, atau manufaktur semakin besar. Tak urusan tentang pajak yang besar itu adalah hasil dari intensifikasi penghisapan sumber daya, artinya juga perusakan, alam.
Karenanya, kita tak perlu heran jika negara dengan pendapatan domestik bruto terbesar adalah juga negara yang tinggi emisinya karbon dioksidanya.
PDB Besar, Emisi Besar
Melalui program Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan juragan komunisme Mao Zedong menyulap Cina menjadi negara industrialis. Akrab dengan polusi udara, air, tanah, kemusnahan keanekaragaman hayati, dan proyek pembangunan skala besar, demikian ungkap Jared Diamond dalam Collapse (2005:363–377).
Alhasil, memang kini Cina memiliki pendapatan domestik bruto (PDB) paling tinggi sedunia, 25,27 triliun dolar Amerika (USD) pada 2019. Tetapi emisi karbon dioksidanya mencapai 10,8 milyar ton, jawara emisi sedunia (naik hampir 7 milyar ton dibanding emisi karbon dioksida pada 2000).
Sedangkan Amerika Serikat yang PDB-nya mencapai 20,4 triliun USD (terbanyak kedua sedunia) berhasil melepaskan 5,1 milyar ton karbon dioksida ke atmosfer bumi. Jumlah terbesar kedua sedunia (turun hampir 500.000 ton dibanding emisi karbon dioksida pada 2000, sebuah tren yang patut disyukuri, sekalipun pada sekitaran 1920-an hingga 1950-an emisi karbon dioksida Amerika sempat mencapai dua sampai tiga kali lipat lebih besar dari emisi Cina sekarang).
Imbasnya, Amerika Serikat juga tak asing dengan penebangan hutan, tumpahan minyak, tumpahan limbah industri dan abu batubara skala besar. Juga bermacam bencana ekologis lainnya.
Sementara itu, dengan PDB sebesar 19,8 triliun USD (terbesar ketiga), India juga menduduki peringkat ketiga negara dengan emisi karbon dioksida terbanyak, yakni 2,4 milyar ton (naik sekitar 1,4 milyar ton dibanding emisi karbon dioksida pada 2000). Sebagai hadiah atas pencapaian ekonominya, 21 kota di India tercantum dalam daftar 30 kota dengan polusi paling buruk sedunia (Regan, CNN, 25/2/2020). Hal ini tentu menjadi bahan refleksi di hari bumi. (Bersambung)
Editor: Nabhan