Perspektif

Jadilah Guru Sekaligus Murid: Memahami Pesan KHA Dahlan untuk Guru Milenial

4 Mins read

 Seorang guru yang merupakan produk lulusan pendidikan Belanda mengajar murid-murid generasi era ’90-an. Murid-murid generasi era ’90-an itu kemudian tumbuh menjadi para guru era kiwari. Guru-guru sekarang yang lulusan tahun 1990-an tersebut lantas mengajari siswa-siswi generasi Z, generasi yang lahir antara tahun 1995–2014. Generasi Z itu pun kelak bakal mendidik murid-murid generasi berikutnya. Begitu seterusnya.

Fragmen di atas adalah keniscayaan yang kita alami di dunia pendidikan. Secara umum, pasca-kemerdekaan, rantai pendidikan di Indonesia telah sampai tiga generasi. Pertanyaannya, akankah kita menyamaratakan strategi mendidik dari generasi satu ke generasi lainnya? Tentu saja, tidak. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang hingga kini telah melahirkan kurang lebih 11 kurikulum merupakan sebuah upaya untuk menyesuaikan pendidikan dari zaman ke zaman.

Namun, pembaruan kurikulum itu tidak akan cukup berarti jika pola pikir dan etos kerja para pendidik juga tidak diperbarui. Sebuah sistem tidak akan berjalan maksimal seandainya gurunya tidak mumpuni. Sebagaimana fragmen di atas, guru era pendidikan Belanda tidak bisa mengajar dengan gaya pendidikan yang diperolehnya. Ia harus berpikir untuk mengajari murid yang hidup di generasi berikutnya, bukan di zamannya.

Begitu pun guru generasi ’90-an (milenial/Y), harus mengajari siswa generasi Z yang hidup di era serba-internet. Pola pendidikan tiga generasi itu tentu tidak bisa disepadankan. Perihal ini, khalifah Umar bin Khatab juga pernah berpesan yang artinya kurang lebih sebagai berikut: ”Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, bukan zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”.

Kita memasuki transisi dari generasi milenial (generasi Y) ke iGeneration (generasi Z), kemudian sebentar lagi tunas-tunas generasi alfa tumbuh dewasa. Generasi yang mengenal teknologi seperti komputer, video games, dan smartphone segera beralih ke generasi yang kehidupannya banyak bersinggungan dengan dunia maya (disrupsi).

Pendidikan Berkemajuan:  Agama, Sains dan Filsafat

Abad 21 adalah masa yang berlangsung sejak 2001 M hingga 2100 M. Generasi milenial, generasi Z, dan generasi alfa termasuk yang menghiasi abad 21. Bidang pendidikan tak luput menangkap abad mutakhir ini dengan beberapa perubahan. Bukan hanya pendidikan umum, melainkan juga pendidikan Islam.

Baca Juga  Empat Kecakapan Dasar yang Perlu Dimiliki Seorang Muslim

Keberadaan pendidikan Islam diakui dalam sistem pendidikan nasional karena tiga hal. Pendidikan Islam sebagai lembaga, yakni diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara eksplisit. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, yakni diakuinya pendidikan agama Islam sebagai salah satu mata pelajaran. Lantas, pendidikan Islam sebagai nilai, yakni ditemukannya nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan.

Memasuki abad 21 ini, sudah tidak relevan rasanya mendikotomikan ilmu agama dan pengetahuan. Pendidikan Islam harus semakin diintegrasikan dengan pendidikan umum. Paham yang berusaha mengintegrasikan Islam dengan ilmu pengetahuan itu sering disebut sebagai Islamisasi ilmu pengetahuan. Ada internalisasi nilai-nilai Islam dalam ilmu-ilmu pengetahuan modern. Beberapa pihak juga menamai pendidikan Islam menuju abad 21 ini sebagai interkoneksitas sistem pendidikan agama dan sains.

Tentu sudah banyak cendekiawan, tak terkecuali dari orang-orang Muhammadiyah, yang menelurkan model pembelajaran integrasi-interkoneksi agama dan sains. Kalangan muslim tentu juga kenal dengan penulis buku Ayat-Ayat Semesta yang juga pakar sains Alquran, Agus Purwanto. Pria yang karib disapa Gus Pur itu mengejawantahkan hasil pemikirannya dalam wujud Trensains (Pesantren Sains), sebuah pondok pesantren berbasis sains yang berpusat di Sragen, Jawa Tengah. Di tataran yang lebih luas, hasil permenungan terhadap kolaborasi sains dan agama juga diterjemahkan secara apik oleh Agus Mustofa lewat karya-karya tasawuf modern yang tersohor itu.

Di samping itu, ada pemikiran Amin Abdullah berkaitan dengan ilmu agama dan umum yang tertuang dalam buku dua seri berjudul Integrasi dan Interkoneksi Keilmuan, Biografi Intelektual M. Amin Abdullah (1953-…): Person, Knowledge and Institution Jilid I & II. Dikutip dari Islam Berkemajuan, aktivis muda Muhammadiyah Hasnan Bahtiar mengulas bahwa Amin Abdullah mengelaborasi warisan peradaban dunia, yakni religion, philosophy, dan science.

Pengembaraan yang lama membawa Amin Abdullah melahirkan suatu gagasan bernama teori Integrasi-Interkoneksi Sistemik (I-KONS) sebagai ”nama sebuah pengetahuan”. Memahami agama Islam yang luhur, terlebih Islam sebagai ilmu, tidak cukup hanya mengandalkan ilmu-ilmu keislaman dan fikih. Diperlukan pula memanfaatkan ilmu-ilmu seni, sosial, dan humaniora seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, hukum, sejarah, hermeneutika, etika, filsafat, dan sebagainya. Juga ilmu-ilmu alam dan terapan seperti matematika, fisika, astronomi, kimia, biologi, biokimia, dan seterusnya.

Baca Juga  Semangat Sri Kusmiyarsih Membangun Madrasah Berbasis Kewirausahaan

Terkait dengan pemikiran gurubesar filsafat UIN Sunan Kalijaga tersebut, Hasnan membaca bahwa dengan adanya I-KONS, sesungguhnya pemahaman yang lebih komprehensif terhadap agama Islam dapat diraih. Amin Abdullah telah menggagas ilmu pengetahuan yang sangat menarik, yang mampu menjawab problematika umat manusia di era kekinian, di tengah arus globalisasi, kosmopolitanisme, dan tren kewarganegaraan global (the world citizenship).

Guru Abad 21

Salah satu roh dunia pendidikan ada pada guru. Untuk menyongsong abad 21 ini, guru tak bisa ditanggalkan begitu saja dari afeksi. Dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2018 lalu, Mendikbud Muhadjir Effendy menyentil bahwa profesionalisme guru masih menjadi PR bersama. Tahun ini menjadi momentum untuk meningkatkan profesionalisme guru. ”Artinya, guru yang bisa menyiapkan generasi muda yang cocok dengan dunia kerja dan sosial abad 21,” kata Muhadjir sebagaimana dinukil dari Jawa Pos (26/11/2018).

Pengangkatan tema Meningkatkan Profesionalisme Guru Menuju Pendidikan Abad 21 dalam HGN tahun ini bukannya tanpa alasan. Di era ini, guru mesti mereformulasi model pembelajaran tradisional ke multistimulan. Menurut Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi, peran guru mesti berubah: dari yang semula memberi pengetahuan menjadi mentor, fasilitator, motivator, inspirator, serta pengembang imajinasi dan kreativitas.

Guru pun harus mampu membangun kolaborasi yang apik dengan anak didik. Peran guru, yang juga tak kalah vital, adalah turut memfilter anak dari tsunami internet yang tak terbendung. Sebab, anak didik yang kita ajar adalah generasi Z, sebagian malah sudah generasi alfa. Mereka adalah generasi digital native, yakni generasi yang lahir dan besar di dunia internet.

Lantas, bagaimana menjadi guru ideal di abad 21? Najib Sulhan dalam bukunya, Karakter Guru Abad 21, mengklasifikasikan guru di abad 21 ini menjadi empat kategori. Pertama, guru yang berkarakter. Menjadi guru yang berkarakter bisa dilakukan melalui empat hal: diterima, dicintai, dipercaya, dan dirindukan.

Baca Juga  KH Abdullah Hasyim (2): Sosok Ulama Berkarakter Sederhana

Kedua, guru yang inspiratif. Guru inspiratif memiliki berbagai karakter, mulai cara pandang positif, daya magnet, membuka pintu pikiran, terbuka, mengubah mindset, hingga memiliki daya kejut.

Ketiga, guru yang inovatif. Punya strategi jitu dalam pembelajaran, membuat karya inovasi, dan menelurkan karya penelitian adalah bagian tak terpisahkan dari menjadi guru inovatif. Terakhir, menjadi guru literasi, terdiri atas clasical literacy, audiovisual literacy, digital literacy, dan media literacy.

Secara jamak juga sudah dibahas, guru di masa depan harus memiliki kemampuan 4C. Istilah 4C dalam bahasa Inggris, atau 4K dalam bahasa Indonesia, terdiri atas critical thingking (berpikir kritis), creative (kreatif), communication (komunikasi), dan collaboration (kolaborasi).

Sementara itu, Kiyai Dahlan jauh-jauh hari malah sudah mencetuskan jargon filosofis kenamaan ini: ”jadilah guru sekaligus murid”. Dengan menjadi guru, ia bertugas menyebarkan ilmu dan gagasan kepada anak didiknya. Sementara dengan menjadi murid, ia harus membuka diri belajar kepada siapa pun dan di mana pun untuk menambah ilmu.

Kata-kata bijak menyebutkan, belajar bisa kepada siapa saja, kepada yang umurnya lebih muda sekalipun. Termasuk di abad 21 ini, guru tidak boleh berpuas diri dengan apa yang dimiliki. Ia harus punya kemauan meng-upgrade pikiran. Proses transformasi ilmu antara guru dan murid juga berlangsung secara demokratis, tidak sepihak, tidak satu arah. Pasalnya, murid generasi milenial, Z, bahkan alfa punya ruang untuk mencari sumber-sumber ilmu lain yang terhampar di luar ruang kelas.

Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds