Perspektif

Mudik dan Pulang Kampung: Dua Hal yang Memang Berbeda

4 Mins read

Mobilitas penduduk menjadi perhatian utama bagi pemerintah dalam upaya penanggulangan wabah COVID-19. Banyak negara bahkan sampai melakukan lockdown atau karantina wilayah untuk menghentikan segala bentuk mobilitas penduduk baik internal maupun internasional.

Indonesia adalah salah satu negara yang tidak menerapkan karantina wilayah karena berbagai alasan, salah satunya adalah ketakutan akan terhentinya aktivitas ekonomi informal masyarakat. Maklum, Indonesia memiliki pekerja informal yang sangat banyak, bahkan lebih dari 50% dari total pekerja secara nasional. Namun demikian, concern terhadap pembatasan mobilitas penduduk tetap dilakukan dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sayangnya kebijakan ini tidak begitu efektif dalam menekan laju mobilitas penduduk antar daerah.

Pada tanggal 21 April 2020, presiden Indonesia, Jokowi, resmi mengeluarkan kebijakan pelarangan terhadap kegiatan mudik bagi masyarakat. Namun uniknya dalam sebuah wawancara di televisi swasta, Jokowi memberikan pandangan yang berbeda terhadap fenomena mudik dan pulang kampung. 

Jika ditinjau dari pemahaman selama ini, mudik merupakan fenomena tahunan yang dilakukan masyarakat Indonesia menjelang hari-hari besar, ada momennya. Sementara itu, pulang kampung merupakan fenomena migrasi yang yang tidak memiliki momen khusus, bisa terjadi kapan saja. Tapi sejauh ini banyak pendapat yang memilih bahwa keduanya sama, hanya persoalan bahasa saja.

Lalu apakah ada peluang jika keduanya memang berbeda?

Garis Demarkasi “Pulang Kampung” dan “Mudik”

Fenomena mudik dan pulang kampung jika ditijau dari proses bemrigrasinya maka keduanya dapat dikatakan sama. Pada intinya terjadi perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Namun, ada beberapa aspek yang membuat keduanya berbeda.

  • Time and Temporality

TIME – Mudik merupakan kegiatan yang sifatnya pengulangan sesuai degan momen yang berulang setiap tahunnya (natal, tahun baru, dan lebaran), berbeda dengan pulang kampung yang akhir-akhir ini terjadi cukup masif saat wabah. Pulang kampung sifatnya adalah responsive terhadap apa yang terjadi di daerahnya, tekanan yang besar dan kondisi yang tidak meguntungkan akan memaksa seseorang untuk bermigrasi saat itu juga tanpa menunggu momen (lebaran). Hal ini merupakan ciri yang sangat khas dari migrasi terpaksa yang sifatnya unsteady flow.

Baca Juga  Optimisme Pangan Sehat Untuk Dunia, Dimulai Melalui Konferensi Digital

TEMPORALITY – Proses migrasi mudik biasanya memiliki periode yang jelas, H-7 lebaran hingga H+2 lebaran, artinya H-7 seseorang akan mulai melakukan migrasi menuju desa dan pada H+2 lebaran akan melakukam migrasi menuju kota. Hal ini berbeda dengan fenomena pulang kampung yang tidak jelas kapan migrasi keluar dan migrasi kembali ke kota akan terjadi. Keputusan untuk pulang kampung mungkin terjadi saat wabah COVID-19 mulai merenggut penghidupan mereka di kota, tapi hilangnya wabah suatu saat nanti tidak dapat memastikan mereka akan kembali ke kota.

  • Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan untuk bermigrasi menjadi aspek utama dalam menentukan garis demarkasi keduanya. Pada fenomena mudik, proses pengambilan keputusannya dilakukan secara sukarela, artinya ada atau tidak adanya wabah maka fenomena ini akan tetap terjadi. Alasan utama dalam pengambilan keputusan adalah keinginan untuk berkumpul bersama keluarga.

Berbeda dengan kasus pulang kampung, pengambilan keputusan yang terjadi dilatar belakangi oleh tekanan yang besar yang memaksa seseorang untuk bermigrasi keluar dari suatu daerah, dalam hal ini tekanan tersebut berkaitan dengan wabah COVID-19.

Keterpurukan perekonomian yang luar biasa di kawasan perkotaan telah sedemikian rupa memaksa seseorang untuk kembali ke daerah asalnya demi melangsungkan hidup, hal ini setidaknya pernah terjadi di Venezuela saat krisis ekonomi melanda. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keputusan sukarela melatarbelakangi proses mudik sementara keputusan terpaksa melatarbelakangi proses pulang kampung.

  • Karakteristik Sosial Ekonomi Subjek

Mudik merupakan kegiatan migrasi yang tidak berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi, kaya atau miskin tidak menentukan  akan apakah seseorang akan mudik atau tidak. Sementara  itu, keputusan migrasi dari jenis Pulang Kampung sangat berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi, terkhusus sektor pekerjaan.

Baca Juga  Radikalisasi Simbol

Mereka yang bekerja pada sektor formal tentu akan memiliki resiliensi lebih tinggi, sebab kebutuhan hidup mereka terjamin karena mereka tetap mendapat gaji yang pasti selama wabah, jauh berbeda degan mereka pekerja informal. Pekerja informal adalah pekerja yang mampu memenuhi kebutuhan hidup bersamaan degan mampunya mereka mendapat pendapatan, lalu jika saat wabah mereka kehilangan pendapatan maka berarti kebutuhan hidupnya tidak dapat terpenuhi.

Pekerja formal sebenarnya tidak selalu berada pada zona aman, sebab bayang-bayang pengurangan pegawai akibat bangkrutnya perusahaan tetap ada. Para pekerja formal yang memiliki skill rendah atau biasa disebut blue collar labors biasanya lebih rentan terhadap ancaman ini.  Saat ini pekerjaan-pekerjaan mereka, pelayan misalnya, dapat digantikan dengan tekonologi.

Pembeli tidak perlu lagi datang ke toko dan dilayani oleh pelayan sebab mereka dapat melakukannya secara mandiri melalui gadget mereka masing-masing. Maka, bagaimana pun juga meskipun mereka berada di kelompok pekerja formal tidak berarti mereka aman dari keputusan migrasi, ini hanya persoalan waktu sampai kapan mereka dapat bertahan dengan tekanan itu.

Implikasi Kebijakan

Pemahaman dari perbedaan dua gejala migrasi ini menjadi sesuatu yang penting, sebab berpengaruh terhadap bentuk intervensi yang perlu dilakukan pemerintah. Pembatasan moda transportasi dan pemberlakuan sanksi bagi masyarakat yang memaksakan mudik mungkin menjadi kebijakan yang tepat dalam melakukan kontrol migrasi ini. Meningkatkan hambatan bermigrasi akan secara otomatis menekan laju migrasi, sehingga berarti pula menekan potensi penyebaran virus di daerah lain. Namun kebijakan serupa menjadi kurang pas jika diterapkan bagi mereka yang bermigrasi secara terpaksa, pulang kampung.

Masyarakat yang pulang kampung pada dasarnya terpaksa untuk bermigrasi sebab tidak ada lagi penghidupan di kota akibat wabah COVID-19. Menghambat mereka untuk bermigrasi berarti menghambat mereka untuk memilih strategi bertahan hidup. Oleh karena itu kebijakan pelarangan tentu menjadi kebijakan yang tidak -bijak- karena melanggar hak untuk bertahan hidup dari seseorang. Namun di sisi lain, memperbolehkan mereka untuk bermigrasi tentu melanggar hak hidup masyarakat lainnya untuk merasa aman dari kemungkinan terjangkit virus. Lalu bagaimana kebijakan yang tepat?

Baca Juga  Lukman Hakim Saifuddin: Moderasi Beragama adalah Inti Agama

Intervensi kebijakan migrasi sebenarnya dapat dilakukan dari berbagai sisi. Jika dalam migrasi sukarela (mudik) pemerintah dapat melakukan intervensi dengan meningkatkan hambatan bermigrasi, dalam migrasi terpaksa (pulang kapung) pemerintah dapat mengurangi faktor pendorong.

Kita tahu bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya migrasi kembali secara terpaksa saat wabah adalah karena tekanan perekonomian yang tinggi di perkotaan, yang kemudian menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup menjadi sulit. Oleh karena itu, untuk mengurangi faktor pendorong ini pemerintah dapat melakukan intervensi dengan memberikan akses pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih mudah, dan hal ini telah dilakukan pemerintah. Namun permasalahannya adalah masih banyak intervensi tersebut yang salah sasaran, maka dalam hal ini perlu sekiranya pemerintah lebih serius dan dan konsisten dalam memberi intervensi tersebut.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Seorang mahasiswa Geografi yang tertarik pada isu migrasi dan migrasi terpaksa
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds