Perspektif

Menyikapi Secara Adil Pemudik di Tengah Pandemi

3 Mins read

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Tradisi mudik tidak hanya sebagai momentum liburan semata. Mudik Ramadhan punya kesan tersendiri bagi para perantau yang jauh dari kampung halaman. Berharap bisa bersilaturahmi dengan keluarga yang masih ada, atau sekadar makan “ketupat” buatan orang tua. Lalu, bagaimana kalau kita bertemu para pemudik di tengah pandemi?

Pemudik di Tengah Pandemi

Di setiap momentum mudik itu tiba, banyak versi cerita atau keunikan dari para pemudik. Mulai dari Kemacetan, ketawa-ketiwi, kisah menegangkan di jalanan, dan bahkan makhluk dunia lain dikemas dalam cerita mereka masing-masing.

Tahun lalu, mudik jadi perdebatan panjang di media sosial. Saat itu, para pendukung Jokowi melarang oknum yang katanya “anti-insfrastruktur “ melewati jalan tol. Tak ayal, karena tahun lalu masih dalam suasana pilpres yang saling salah menyalahkan, tidak sedikit yang menimbulkan perdebatan sengit.

Namun belakangan ini tradisi mudik akan sangat berbeda, televisi dan media massa tidak lagi menyiarkan berita kaum urban ini. Hal ini terjadi karena pandemi Covid-19 tidak kunjung mereda. Pasien positif pun terus-menerus bertambah dari waktu ke waktu, bahkan perlahan jadi bom waktu.

Dalam satu hari saja, kasus positif Covid-19 naik signifikan. Semakin membuat pemerintah cari cara untuk pencegahan, yang akhirnya melirik momentum mudik (yang katanya) sangat potensial menularkan virus.

Usut punya usut. Saat pemerintah menetapkan bekerja dan belajar di rumah, gelombang pemudik di tengah pandemi dari penjuru daerah sudah naik kepermukaan, bahkan sangat membludak. Hanya saja para pemudik mulanya luput dari pandangan media dan penguasa, karena saat itu semua terkonsentrasi pada kasus positif Covid-19 saja.

Menyikapi Secara Adil

Ketika kasus positif menyentuh angka ribuan, pemerintah kembali mempertegas sikapnya. Untuk  ASN, larangan mudik tertuang di dalam Surat Edaran (SE) Menteri PANRB No. 41 Tahun 2020 tentang perubahan atas Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 36 Tahun 2020, tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian ke Luar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik Bagi Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19.

Baca Juga  Libur Corona, di mana Literasinya, Mas Nadiem?

Di saat situasi semakin genting, tidak sedikit umpatan dan sinisme yang mengarah kepada para calon pemudik. Di media sosial juga sangat ramai campaign larangan mudik tahun ini, kita bahkan melihat bermacam argumentasi dan tulisan bertebaran di lini-lini masa.

“Jangan Mudik ya.. Kalau kamu sayang keluarga. “

Mungkin itu salah satu tulisan yang berseliweran di banyak media sosial. Saya rasa tulisan itu cukup baik, hanya saja sinisme hadir dari masyarakat menengah ke atas. Padahal peristiwa ini tidak semata adegan seremonial pulang kampung saja.

Saya rasa semua juga setuju jika mudik berpotensi besar menjadi ajang penyebaran virus Covid-19, termasuk sayapun beranggapan demikian. Penyebaran virus tak kasat mata, bahkan terkesan terstruktur, sistematis dan masif. Tapi, seharusnya kita tidak terlalu naif mengkaitkan ataupun memberi pemudik dengan lebel “tak sayang keluarga” ataupun semacamnya.

Dalam situasi pandemi ini, memilih mudik atau tidak mudik tidaklah salah. Karena bagi masyarakat miskin kota, mereka menjadi sangat serba salah dan dihadapkan dengan situasi yang berbeda. Mereka harus memilih, bertahan hidup di kota dengan perekonomian yang semakin sulit, dengan Covid-19 yang tetap menghantui, atau pulang ke kampung untuk menumpang hidup (Bersama keluarga), meski mereka akan diberi lebel OTG (Orang Tanpa Gejala) atau ODP (Orang Dalam Pengawasan).

Di titik inilah kita harus menyikapi secara adil fenomena mudik di masa-masa pandemi ini.

Sikap Pemerintah

Di satu sisi, pejabat pemerintahan masih membuat kebijakan yang justru membingungkan, dan tidak jelas, atau mengambang dalam setiap keputusan. Padahal sebagai pemangku kekuasaan, Pemerintah seharusnya menawarkan win-win solutions kepada mereka. Karena mekanisme permudikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Baca Juga  Fatwa MUI: Vaksin Covid-19, Sinovac Suci dan Halal

Mari kita tengok kembali saat pertama kali kasus positif virus Covid-19 diumumkan pemerintah.

Saat itu pemerintah masih acuh tak acuh, dan disaat bersamaan masyarakat khawatir tidak akan bisa makan atau minum ditengah pandemi. Panic buying pun terjadi di setiap supermarket dan menyasar ke pasar tradisional, para pemungut ‘cuan’ menyediakan jasa keberangkatan transportasi murah dan tidak ada tindakan tepat dari pemerintah.

Masih di awal, kebijakan memulihkan kembali sektor pariwisata dengan harga banting setir untuk tiket pesawat murah terjadi. Hal ini terjadi karena pemerintah gagap dan tidak benar-benar serius dalam memikirkan konsekuensi kedepan, bagaimana atau apa yang bakal terjadi.

Kembali ke akhir Maret atau awal April, Pemerintah mengadakan rapat terbatas di Istana. Saat itu, ia meminta Kepala Daerah agar mewanti-wanti warganya agar jangan mudik dulu. Kemudian pernyataan itu ditarik, dan katanya pemerintah tidak akan mengeluarkan larangan resmi untuk mudik tahun ini.

Di saat pemerintah semakin menggalakkan campaign “physical distancing”, di saat itu pula para pekerja harian justru semakin terbebani dan sulit mendapatkan rupiah demi rupiah. Jangankan bertahan untuk sebulan di rumah, satu hari saja; mereka harus berhadapan dengan kelaparan yang berujung pertengkaran dalam rumah tangga bahkan kematian.

Pilihan Terakhir

Lagi dan lagi, pemerintah justru memperdebatkan mudik boleh atau tidak. Padahal,  substansi nya bukan itu. Mereka lapar dan kampung halaman adalah tujuan terakhir mereka berlindung atas ketidakmampuan pemerintah mengambil kebijakan yang baik. Makanya mereka pulang.

Di Jakarta, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah diterapkan pemerintah provinsi. PSBB dinilai lebih efektif diterapkan di tengah-tengah masyarakat, karena masyarakat tetap bisa menjalankan kegiatan sehari-hari namun ada pembatasan. Semoga dengan PSBB, masyarakat akan tetap terbantu walau dalam keadaan sulit.

Baca Juga  Neoliberal, Konspirasi, dan Pandemi

Jadi jangan disalahkan muncul narasi, “mudik adalah tradisi, dan tradisi tidak bisa diganggu gugat.” Karena itu bisa dibenarkan, pemerintah pun tidak bisa mengambil keputusan tepat menyikapi hal ini.

Dengan problem yang belibet ini, nyinyir kepada para pemudik sebenarnya kurang tepat. Terutama sebelum sila kelima benar-benar diterapkan dan dijalankan dengan baik di tengah pandemi Covid-19 ini.

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *