Sebuah jajak pendapat pernah dilakukan untuk mengetahui apa yang paling berharga dalam hidup. Berbagai jawaban kemudian muncul. Dari pekerjaan yang menyenangkan, keluarga yang bahagia, hingga dapat bermanfaat untuk masyarakat menjadi jawaban-jawaban yang paling sering muncul.
Namun, ketika ditanyakan tentang apa yang menjadi simbol sukses dalam hidup. Ternyata, mayoritas memilih jawaban, yaitu bila berlimpah uang dan dapat memiliki barang-barang impian.
Boleh jadi, hasil jajak pendapat tersebut adalah gambaran umum dari masyarakat global saat ini. Terutama, perihal bagaimana menentukan ukuran sukses dalam hidup.
Lantas, mengapa bisa seperti itu? Tentu saja, dapat disebabkan oleh bermacam faktor.
Namun, tidak sedikit yang lalu menyalahkan kepada praktik-praktik pemasaran yang selama ini berlangsung. Bahwa, sistem pemasaran dianggap sudah terlampau jauh mempengaruhi perilaku masyarakat, sehingga mereka menjadi begitu posesif terhadap materi. Akibatnya, timbul berbagai masalah konsumerisme yang kompleks dan akut dalam kehidupan sosial-budaya manusia.
Dari waktu ke waktu, strategi pemasaran kerap kali sengaja digunakan untuk ‘menjebak’ masyarakat melalui trik-trik yang kotor. Akibatnya, pemasaran kemudian diyakini telah ikut berkontribusi nyata terhadap perubahan perilaku masyarakat. Yaitu, dari masyarakat yang ‘sosial’ menjadi masyarakat yang ‘konsumtif’. Perubahannya ditandai dengan muncul beragam kebutuhan atau keinginan yang superfisial, gaya hidup yang materialistik, serta pola konsumsi yang berlebihan.
Sesungguhnya, sudah sejak lama kalangan Cendekiawan Pemasaran memahami dan mengkhawatirkan kondisi seperti itu. Termasuk, Begawan Ilmu Pemasaran, Philip Kotler. Kotler menilai bahwa kini Konsumen menginginkan Pemasar yang dapat memperlakukan mereka sebagai manusia seutuhnya. Yaitu, Pemasar yang memahami bahwa kebutuhan Konsumen ternyata melampaui masalah konsumerisme semata.
Maka, berangkat dari kegelisahan terhadap kondisi yang ada, beberapa Cendekiawan lalu bersemangat meresponnya. Mereka menawarkan berbagai gagasan dan konsep baru, sebagai pilihan alternatif untuk teori pemasaran yang konvensional. Yaitu, gagasan-gagasan antara lain seperti, Humanistic Marketing, Ethical Marketing, Socially Responsible Marketing, Welfare Marketing, dan Faith-based Marketing.
Para Cendekiawan Muslim juga memiliki antusiasme yang serupa. Mereka memanfaatkan momentum dengan menoleh pada ajaran-ajaran Islam. Mereka juga ingin membangun sebuah teori dan strategi pemasaran baru berdasarkan nilai-nilai dan etika Islam, dengan menyerap aturan, filsafat, dan moral yang bersumber pada Qur’an dan Hadits/Sunnah. Maka pada tahun 2010, melalui Journal of Islamic Marketing, Baker Ahmad Alserhan mengenalkan ‘Islamic Marketing’ sebagai cabang baru dari ilmu Pemasaran kepada dunia.
Jadi, apa itu Islamic Marketing? Apakah itu tentang menjual produk halal dan syar’i? Apakah itu tentang menjual produk yang digunakan dalam ritual ajaran Islam? Apakah itu tentang memasarkan konten atau aplikasi Islami pada berbagai media komunikasi? Atau, apakah itu tentang memilih nama atau simbol yang terkait (langsung atau tidak langsung) dengan Islam untuk sebuah merek atau tagline produk?
Hakikatnya, Islamic Marketing bukan hanya tentang itu semua.
Islamic Marketing adalah tentang bagaimana menghadirkan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam sebuah perilaku terbaik dari Pemasar atau Konsumen ketika berpartisipasi di pasar. Dalam Islamic Marketing, nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam bukan sebagai tool, melainkan sebagai resource. Islam menjadi referensi utama dalam memengaruhi aktivitas pemasaran.
Jika kemudian membandingkannya dengan pemasaran konvensional, keterlibatan Allah menjadi suatu pembeda yang krusial. Bagi Islamic Marketing, Allah menjadi titik temu dari niat Pemasar dan Konsumen. Selain itu, kehadiran Allah juga menjadi fundamental bagi Pemasar dan Konsumen ketika mengambil sebuah keputusan. Karenanya, relasi kepercayaan dan komitmen antara Pemasar dan Konsumen kemudian menjadi lebih mudah dibangun atau dirawat.
Islamic Marketing mengusung gagasan bahwa praktik pemasaran merupakan ibadah. Maka, implementasi ketakwaan kepada Allah menjadi kontrol bagi aktivitas-aktivitas Pemasar dan Konsumen dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan mereka. Sehingga, Pemasar dan Konsumen tidak boleh melakukannya secara berlebih-lebihan.
Bukan seperti pemasaran konvensional yang menempatkan ‘keinginan’ menjadi pondasi. Pemasar yang ingin selalu memperoleh keuntungan dan Konsumen yang ingin terus merasakan kepuasan. Mereka tidak pernah merasa cukup, bahkan ketika kebutuhannya sudah terpenuhi. Pemasar terus-menerus memberikan kepuasan sebanyak mungkin kepada Konsumen, sehingga Pemasar memperoleh keuntungan yang maksimal (profit-maximization) dari Konsumen.
Dalam Islamic Marketing, Pemasar perlu memastikan niatnya lebih dulu. Bahwa, pemasaran bukan untuk memperoleh ketenaran atau menghasilkan keuntungan sebagai tujuan akhir. Melainkan, pemasaran digunakan untuk menyebarkan apa yang baik dan bermanfaat. Yaitu, dengan menawarkan solusi nyata dan berharga kepada Konsumen. Sehingga, Pemasar kemudian memperoleh nilai yang maksimal (value-maximization) dari Konsumen.
Sementara pada sisi yang lain, Konsumen juga perlu memperhatikan perilakunya. Dengan tidak membelanjakan uang melebihi kebutuhan (Qur’an 25:67). Namun bukan pula, Konsumen lalu menjadi ‘pelit’, dengan mengurangi apa yang memang sudah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupannya. Aktivitas konsumsi selalu ditempatkan pada posisi pertengahan. Yaitu, tidak kikir, tidak menahan, tidak berlebihan, dan tidak boros (Qur’an 17:29).
Islamic Marketing dapat menjadi harapan baru bagi masyarakat yang sudah terlalu letih karena selama ini dijadikan sebagai ‘dompet’ yang dapat dikuras terus-menerus oleh Pemasar. Sudah waktunya, pemasaran tidak lagi membuat ‘luka’ dan meninggalkan ‘perih’ untuk masyarakat. “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (Ibnu Majah, no. 2340). No Harm and no harming.
Editor: Arif