Perspektif

Fast Fashion yang Membawa Petaka

3 Mins read

Bulan Ramadan di Indonesia memiliki beragam konsep kebudayaan yang menarik dan terjadi dari dahulu hingga sekarang. Mulai dari jalan-jalan sore, makan makanan yang tinggi kolestrol, hingga kepada membeli pakaian lebaran yang seolah menjadi kewajiban bagi kebanyakan keluarga di Indonesia.

Setiap menjelang satu minggu sebelum lebaran, gerai-gerai toko besar seperti mall hingga pasar memasang pakaian yang beragam motif dan tren fashion dijual dengan harga beragam. Mulai dari yang mahal hingga yang murah bahkan tidak jarang pihak toko memasnag lebel diskon hingga 80%. Hal ini menjadi kebiasaan yang membudaya dalam banyak keluarga di Indonesia untuk memanjakan diri dan menghadapi hari yang fitri.

Namun apakah lebaran tahun ini akan masih sama di tengah pandemi Covid-19 ini? Apakah orang tetap di rumah atau malah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah? Hal ini masih menjadi pertanyaan karena belum menginjak seminggu sebelum hari raya Idul Fitri. Seandainya terjadi, maka memang sudah dipastikan bahwa budaya berbelanja pakaian memang menjadi mendarah daging di setiap keluarga yang ada di Indonesia.

Pembahasan kali ini saya bukan mempersoalkan bagaimana nantinya physical distancing,  melainkan ada hal menarik dari budaya belanja pakaian ini. Bahwa masyarakat kita yang menjadikan kebiasaan turun temurun ini, berdampak kepada ranah lingkungan hidup. Industri pakaian yang sering juga di sebut fast fashion merupkan pabrik besar untuk membuat pakaian dengan skala yang besar dan jumlah yang banyak. Sehingga, bisnis kapitalis ini menjadi ladang usaha yang tepat di tengah tingginya budaya belanja pakaian masyarakat Indonesia.

Gejolak Industri Fashion

Tidak hanya perempuan, tetapi laki-laki pun tak jarang menikmati fashion karena merupakan bentuk barang yang wajib dimiliki setiap manusia. Berbeda halnya dengan masyarakat adat yang memiliki kebudayaan tersendiri sehingga mereka tidak memerlukan barang yang branded. Dari sini, kebutuhan yang mutlak dalam fashion sering terjadi peningkatan kebutuhan. Maka akan ada dampak ekologis yang terjadi.

Baca Juga  Kiamat Datang Ketika Bumi tak Dapat Lagi Dihuni

Di balik gemerlapnya industri fashion yang sedang dihadapkan dengan pertumbuhan fast fashion, sebuah industri di mana produk fashion beredar ke toko lebih cepat dari seharusnya tidak seasonal tetapi per dua mingguan, dan tidak berdasarkan the true cost. Dan itu membuat konsumerisme semakin merajalela.

Dengan dampak lingkungan yang mengerikan termasuk penggunaan air berlebih sehingga meningkatkan emisi karbon berlebih. Serta menambah deretan kasus pencemaran lingkungan atas limbah pabrik fashion. Dari sini, produksi pabrik pakaian dengan langkah hidup ekologis tidak kompatibel dalam konsepsi keadilan asri.

Fast fashion dengan harga yang tergolong murah karena diproduksi massal dan juga ongkos produksi yang bisa ditekan serendah-rendahnya, berdampak kepada munculnya sisi gelap dalam dunai pakaian. Bahkan sekitar tahun 2015, Greenpeace menyoroti persoalan limbah fast fashion yang ada di Kabupaten Bandung Jawa Barat di sekitar sawah milik masyarakat,  mengalami pencemaran dari limbah pewarna yang berdampak sekitar 1.200 hektare.

***

Maka, krisis lingkungan dan berbagai masalah ekologi, tentu menjadi problemnya perempuan. Pun industri fashion adalah industri yang sungguh haus dan rakus. Haus dalam artian yang sesungguhnya membutuhkan 2720 liter air dalam pembuatan satu kaos dan untuk celana blue jeans, menghabiskan 919 galon air dalam masa pemakaiannya.

Hal ini menjadi persoalan yang semakin sulit. Bahwa semakin banyak kita membeli pakaian, yang faktanya kita masih punya banyak dan masih bisa dipakai, tetapi kita merasa perlu. Hal tersebut lah yang menyebabkan semakin meluasnya bisnis fast fashion dan semakin banyaknya produksi pakaian maka dampaknya semakin besar juga kita mencemari lingkungan dari limbah kimia perwarna pakaian.

Sehingga, diperlukan buy less untuk mengontrol pikiran-pikiran jahat untuk tidak membeli pakaian secara terus menerus yang akhirnya manusia belanja tanpa berpikir maka yang berdampak adalah lingkungan.

Baca Juga  Baramulo (1): Kehidupan Keagamaan di Pulau Sangkar

Pekerja Perempuan di Balik Neraka Fast Fashion

Perempuan sering menjadi obyek dari fashion itu sendiri melalui iklan-iklan brand ternama. Sehingga menarik konsumen semakin banyak, bahkan dari  yang menjadi obyek adalah perawakan yang bertubuh tinggi, putih, dan langsing. Sehingga kata ideal akan menjadi pusat kapitalistik untuk menjual produk mereka. Tidak hanya manusia asli, tetapi juga patung manekin pun terlihat sangat patriarki yang sangat jarang ditemukan bentuk tubuh yang berbeda ukuran. Padahal manusia baik perempuan maupun laki-laki tidak semua memiliki ukuran badan yang sama.

Tidak hanya persoalan lingkungan yang terjadi tetapi di balik itu semua, ada banyak buruh-buruh yang dipekerjakan dalam memperkaya industri ini. Bahkan Unicef membuat pernyataan di The Guardian, bahwa tercatat 260 juta anak di bawah usia 18 tahun di seluruh dunia dipekerjakan dan 170 juta sekitar 11% dari total populasi anak di dunia di antarnya adalah buruh yang mayoritas bekerja di bidang industri fashion, pabrik kapas, menenun kain, penahitan/border, hingga menjadi produk siap jadi untuk dipasok ke Eropa, Amerika, dan seluruh dunia.

Para buruh anak ini sering ditemui di negara-negara seperti Bangladesh, China, Thailand, India, Mesir, Uzbekistan, bahkan tidak ketinggalan adalah Indonesia. Dalam bisnis fast fashion dikenal dengan target produksi yang memang setiap minggunya para pekerja harus menyelesaikan produksinya.

Seperti yang terjadi di beberapa negara Asia yang mempunyai kasus sekitar tahun 2018 di beberapa produk fast fashion yaitu tentang buruh perempuan yang kerap mendapat pelecehan  seksual dan fisik yang meliputi pelecehan verbal, ancaman, sampai pemaksaan lembur.

***

Di Sri Langka, pekerja perempuan sering dimarahi oleh petugas apabila target tidak terpenuhi, kemudian di Indonesia sendiri terjadi pelecehan perkataan mulai disebut “bodoh” hingga ancaman pemutusan kerja.

Baca Juga  Mengatasi Krisis Lingkungan dengan Etika Profetik Kuntowijoyo

Dari pelbagai isu kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak ini tidak berhenti di situ saja. Mungkin ada banyak persoalan kelas pekerja yang terjadi di seluruh dunia. Di helai kain yang kita pakai hari ini, ada keringat dan darah yang menetes dari para pekerja yang berjuang demi pekerjaan dan terus ditindas atas bentuk tuntutan produksi.

Apakah kita masih bisa menikmati gemerlap berbelanja pakaian dengan harga diskon yang terkadang sangat murah, padahal dibuat dengan harga yang tidak sebanding dari kerusakan lingkungan hingga keringat para pekerja yang terus disiksa. Sudah saatnya bijak dalam membeli pakaian dan membangun karakter less buy untuk menekan kejahatan ekologis.

Editor: Yahya FR
Avatar
3 posts

About author
Anggota bidang PIP PP IPM & Kader Hijau Muhammadiyah Yogjakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds