Akhir-akhir ini banyak diskursus “viral” dalam permasalahan agama, terakhir penulis membaca wacana bahwa perempuan haid boleh untuk berpuasa. Menarik untuk didiskusikan, lataran dalam dinamika khazanah fikih manapun, tema ini tidak memeroleh porsi di kalangan ulama. Mulai dari yang pemahamanya tekstualis/literal sampai yang terkesan liberal sekalipun.
Perempuan Haid Boleh Berpuasa?
Menurut hemat penulis, dengan berpendapat perempuan haid tidak boleh berpuasa tidak lantas menjadikan seseorang disebut tekstualis dan jumud. Sebaliknya dengan mengatakan bolehnya wanita haid tidak menjadikan seseorang dipandang progresif sekaligus modernis, menyimpulkan hukum dengan mengatakan ini halal atau haram tidak identik dengan kemajuan agama seseorang.
Ulama-ulama salaf-pun sangat berhati-hati dalam menarasikan sebuah kesimpulan hukum. Wilayah fikih juga memiliki framework tersendiri, ranah fikih yang diambil dari dalil yang Qath’i bukanlah tempat untuk berfikiran spekulatif yang bersifat trial and error.
Jamak diketahui pada prinsipnya laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam mendulang pahala (Q.S. An-Nahl 97). Akan tetapi perempuan memiliki kodrat yang berbeda dengan laki-laki, dan hal tersebut yang membuat wanita terhalang beribadah di saat saat tertentu, seperti haid dll. Hadis wanita yang haid tidak boleh berpuasa terdapat dalam riwayat Bukhari dan Muslim
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)
Hadis di atas tidak secara langsung mengatakan, janganlah perempuan haid salat dan berpuasa. Akan tetapi secara implisit bisa difahami, bahwa peniadaan salat dan puasa bagi wanita adalah perkara kodrati. Kemudian hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Muadzah yang bertanya kepada sayyidah Aisyah:
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335)
Berdasarkan hadis tersebut ulama menyimpulkan bahwa perempuan haid tidak wajib berpuasa dan wajib mengqadha’ puasanya.
Analogi yang Jelas Berbeda
Perempuan haid menurut Yulianti Muthmainnah boleh berpuasa di bulan Ramadhan, diqiyaskan pada masalah kebolehan wanita membaca Quran ketika Haid. Tentu hal tersebut menganalogikan sesuatu yang jelas berbeda atau yang biasa disebut Qiyas ma’al Fariq,
Perempuan boleh membaca Qur’an menurut beberapa fatwa termasuk fatwa Tarjih, fatwa al-Azhar dll. Menurut Tarjih wanita yang haid diperbolehkan untuk membaca Al-Quran karena memang tidak ditemukan dalil sahih yang melarangnya. Bahkan ada hadis sahih yang mengisyaratkan bahwa orang yang berhadas besar boleh membaca al-Qur’an.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ. [رواه مسلم وأبو داود والترمذى
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: Adalah Nabi saw menyebut nama Allah dalam segala hal.” [HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Turmudzi].
Ada ayat Al-Qur’an yang dipahami sebagai larangan membaca Qur’an, yaitu firman Allah pada surah al-Waqi’ah ayat 79:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Artinya: tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Menurut Ibnu Jarir At-Thabary dalam tafsirnya berpendapat tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan maksudnya adalah orang-orang yang disucikan Allah dari dosa. Kemudian ia berpendapat mutthaharun dalam ayat di atas bisa berarti juga malaikat yang suci, bisa juga manusia yang bersih dari dosa.
Kemudian ada Fatwa al-Azhar yang membolehkan perempuan ataupun mahasiswi haid membaca Al-Qur’an. Argumentasinya adalah mahasiswi haid dikhawatirkan hafalanya berkurang. Selain itu untuk mahasiswa yang sedang menempuh ujian mata kuliah hafalan Al-Qur’an secara tertulis maupun lisan dimungkinkan bagi mahasiswa tadi membacanya, lantaran demi kemaslahatan.
Mengqiyaskan membaca Al-Qur’an dengan berpuasa wajib di bulan Ramadhan adalah Qiyas yang tidak sesuai. Larangan berpuasa ketika haid adalah perkara yang bersifat Ta’abudi, bukan ta’aquli/ghoiru ma’qulatul ma’na.
Permasalahan Ijtihad
Selama sifatnya ta’abudi maka tidak diperkenankan ijtihad, ada ungkapan yang sangat terkenal dalam kaidah لا إجتهاد مع النص La Ijtihad ma’a nash (tidak boleh berijtihad jika ada nash). Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan dalam kitab Fathul Bari:
“Larangan shalat bagi perempuan haid adalah perkara yang jelas karena kesucian dipersyaratkan dalam salat dan perempuan haid tidak dalam keadaan suci. Adapun puasa tidak dipersyaratkan di dalamnya kesucian maka larangan puasa bagi perempuan haid itu sifatnya adalah ibadah semata/ta’abudi sehingga butuh suatu nash pelarangan berbeda dengan shalat.”
Sementara Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhaddzab mengatakan perkara itu adalah perkara yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Kita hanya boleh menerka-nerka hikmah apa yang hendak Allah berikan kepada wanita. Ahli kesehatan juga mengatakan bahwa hikmah wanita haid tidak berpuasa adalah karena di saat haid banyak mengeluarkan darah sehingga wanita menjadi lemah.
Argumentasi kebolehan perempuan haid berpuasa yang kedua adalah masalah itu termasuk ranah ijtihadi, yang kalau benar memperoleh 2 pahala sedangkan kalau salah dapat 1 pahala. Padahal jika ditelisik lebih dalam ijtihad yang dimaksud dalam hadist Rasulullah saw:
“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.”
Ijtihad dalam hadis di atas adalah ijtihad dalam permasalahan yang baru, mengutip pendapat Imam Al-Ghazali ranah yang boleh kita berijtihad adalah ranah yang dzanny. Seorang muslim tidak boleh memaksakan kehendaknya dengan melihat realitas, kemudian ingin menundukkan teks yang seolah-olah bisa dilakukan ijtihad.
***
Fikih Islam memiliki karakteristik tersendiri dan tidak bisa kita paksakan dengan framework kita hari ini. Meskipun dengan dalih pendapatnya adalah pendapat yang sesuai dengan perkembangan zaman dan mengakomodasi modernitas, terkadang justru modernitaslah yang bisa menghapus kita dari tradisi keilmuan ulama-ulama. Maka sikap kehati-hatian dalam berpendapat bisa menyelamatkan perubahan radikal seperti yang terjadi di agama lain.
Editor: Nabhan