Harus diakui di setiap pembelajaran mengenai Islam, agama ini sangat mengajarkan sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain, bisa disebut pluralisme agama. Hal ini dapat dilihat pada masa nabi Muhammad ketika ia berhijrah ke Madinah.
Di Madinah banyak pemeluk agama lain yang bukan hanya islam tetapi nabi Muhammad tidak memaksakan mereka untuk masuk dan memeluk agama islam malah nabi Muhammad membuat alternatif lain yaitu dengan Piagam Madinah.
Pluralisme Piagam Madinah
Perjanjian di dalam Piagam Madinah tersebut menunjukan toleransi Islam terhadap agama lain, walaupun ketika itu Islam sudah menjadi agama yang besar. Memang keberagaman suku dan ras yang terjadi sekarang ini tidak dapat disamakan dengan keberagaman suku yang ada pada zaman Nabi Muhammad akan tetapi kita dapat belajar mengenai toleransi keberagaman yang sudah diajarkan oleh nabi Muhammad sejak dulu.
Sebab, salah satu munculnya konlik adalah adanya perbedaan suku dan ras antar umat beragama. Sehingga perlu adanya toleransi antar sesama dan Islam sudah mengajarkan itu sejak dulu.
Karena dalam konflik yang timbul akibat keberagaman agama setiap agama memberikan dua macam respon terhadap agama dan tradisi-tradisi lain dalam masyarakat, sampai tingkat tertentu ia bersikap toleran dan pada tingkat yang lain ia bersikap intoleran.
Dalam hal ini seharusnya kita dabat besikap toleran terhadap agama lain. Karena fakta keragaman masyarakat di era sekarang sangatlah terlihat dan sikap toleranlah yang sangat diperlukan agar terciptanya pluralisme agama yang akan dipaparkan dalam tulisan ini.
Sejarah Pluralisme
Pluralisme agama muncul sekitar abad ke 18 tepatnya pada masa pencerahan di Eropa. Ketika itu sedang terjadi perdebatan antar manusia yang berorientasi pada rasionalitas dan tidak lagi terkukung dalam doktrin-doktrin agama. Karena adanya pemikiran logis disebabkan adanya konflik antara gereja dan kehidupan dil luar gereja maka muncullah paham yang dikenal dengan liberalisme. Komposisi utamanya adalah kebebasan, persamaan dan keragaman atau pluralisme.
Memasuki abad ke 20 pluralisme agama semakin kuat dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Ernst Troeltsch seorang teolog Keristen Liberal mengatakan bahwa konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak hanya satu. Maka tidak ada satu agamapun di muka bumi ini yang memiliki kebenaran mutlak.
Tetapi sebenarnya jika ditelusuri cikal bakal pluralisme ini sudah ada dan sudah muncul sejak abad ke 15 di Timur tepatnya di India dalam gagasan Kabir dan muridnya pendiri agama “Sikhisme” yang merupakan perpaduan antara Hindu dan Islam tetapi pemikiran ini belum bisa menerobos batas-batas geografis regional.
Selain itu pemikiran mengenai pluralisme ini dalam Islam baru muncul pasca perang dunia kedua. Itu disebabkan karena proses pernetrasi antara kultural Barat modern dan Islam. Seyyed Hossein Nasr seorang tokoh muslim Syi’ah moderat merupakan salah satu tokoh yang mempopolerkan pluralisme agama di kalangan Islam tradisioanal.
Hal ini dituangkan dalam tesisnya dalam kemasan sophia perennis atau perennial wisdom (kebenaran abadi). Sebuah wacana menghidupkan kembali “kesatuan metafisikal” yang tersembunyi dibalik ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam a.s. sampai kini.
Menurut Nasr memeluk atau meyakini suatu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti memeluk seluruh agama. Karena semuanya berporos kepada poros yang sama yaitu kebenaran hirarki.
Pengertian
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa inggris “religious pluralism” untuk mendifinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa Inggris. Pluralism berarti “jama” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian.
Pertama, pengertian kegerejaan. Sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan.
Kedua, pengertian filosofis. Berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis. Suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang di antara kelompok-kelompok tersebut.
Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksitensinya berbagai kelompok atau keyakinan dari satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Makna Mendalam
Dalam buku lainnya pengertian pluralisme antara lain:
Pertama,semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang trasenden dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya semua agama harus selalu terbuka untuk dikritisi dan direvisi.
Bukan berarti pluralisme menganggap bahwa semua agama adalah sama. Tetapi mereka mengangap bahwa semua agama mewakili kebenaran yang sama hanya saja porsinya yang berbeda.
Karena semua agama menunjukkan jalan menuju Tuhan, adanya janji mengenai keselamatan dan kebahagiaan walaupun di setiap agama resepnya berbeda-beda. Maka dari itu kita perlu bersikap toleran terhadap agama lain.
Perkembangan di Indonesia
Wacana mengenai pluralisme di Indonesia dapat di mulai dari awal mula pada masa kemerdekaan Indonesia. Sejak deklarasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, yang menandai kemerdekaan atau kelahiran Indonesia sebagai negara yang berideologi nasional yang disebut Pancasila.
Fakta menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang mayoritasnya muslim tidak pernah menjadi Negara Islam. Pemerintahannya pun tidak pernah dipegang oleh pemimpin yang menjadikan Islam sebagai identitas negara.
Di Indonesia ada usaha yang serius yang dilakukan oleh beberapa pemimpin yang berorientasi Islam dari berbagai partai Islam, pada saat sejak merdeka Indonesia hingga saat ini memperjuangkan secara perlembagaan dari pengalaman syariah Islam. Namun mereka selalu gagal dalam memperoleh dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR), atau pemilihan umum.
Mereka juga tidak berhasil dalam memperkenalkan pengalaman syariah Islam. Setelah perdebatan yang cukup panjang antara dua kekuatan utama yang beroposisi (Nasionalis Islamis dan Nasionalis Sekuler). Piagam Jakarta pada akhirnya benar-benar dikuatkan secara formal oleh BPUPKI dalam sesi menyuarakan yang terakhir pada bulan juli 1945, sebagai mukaddimah dan jiwa bagi perlembagaan Negara yang akan diwujudkan.
Politik Islam dan Pluralisme
Perdebatan yang sangat sengit dalam kelembagaan negara Indonesia yang baru lahir mencerminkan realitas polarisasi pemikir yang begitu dalam di antara pemimpin Indonesia saat menjelang kemerdekaan. Pada abad ke-20 yang lalu polarisasi pemikiran tentang Indonesia ketika merdeka nantinya harus menjadi sebuah negara Islam atau negara sekuler yang muncul secara terbuka di media masa.
Kelompok nasionalis sekuler meyuarakan negara sekuler diwakili oleh Soekarno. Dia melihat bahwa Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas berbagai agama dan berbagai budaya. Oleh sebab itu, mendirikan negara Indonesia berdasarkan syariah Islam bermakna mengabaikan kemajemukan keberagaman masyarakat Indonesia.
Namun, sementara itu dalam sisi lain, kelompok nasionalis Islamis yang mengaspirasikan negara Islam diwakili oleh M.Natsir yang berkata bahwa Indonesia adalah milik kaum muslimin. Sebab itu mereka adalah penduduk mayoritas yang pada masa itu sekitar 90% dari jumlah penduduk Indonesia.
Dengan demikian, hak mereka untuk mendirikan sebuah negara Islam atau untuk mengamalkan syariah Islam meskipun terhadap untuk mereka sendiri di negara yang merdeka.
Semenjak kemerdekaan Indonesia yang mengalami transisi yang sangat kritikal, perlahan tapi pasti dan menghampiri sebuah negara yang demokratik. Sebuah negara yang mana semua wargannya mempunyai posisi yang sama dan setara tidak memandang warna, ras, dan agama. Wacana pluralisme agama dianggap penting. Karena plurisme agama secara teoretikal maupun praktik merupakan sebuah keniscayaan untuk terwujudnya sebuah negara bangsa yang beasaskan demokrasi.
Pluralistik dan Kebhinnekaan
Oleh sebab itu, wacana pluralisme agama bersifat politik, yang sekurang-kurangnya dialami secara empirikal dalam konteks Indonesia. Pemikiran pluralisme agama muncul dan berkembang dari sebuah realiti sosio dan politik, bukan dari wacana teologi.
Dalam konteks ini, Indonesia dan pluralisme agama merupakan sebagai kesan logikal daripada ideologi “Negara Bangsa” yang berteraskan “Demokrasi Pancasila”. Dengan demikian, negara berarti telah mencipatakan agama barunya sendiri yang disebut agama civil. Seperti teori Robert N dalam artikerlnya “Civil Religion in America”.
Hal ini secara nyata menegaskan sebuah teori yang dikembangkan oleh Robert N.Bellah dan Philip E Hammond. Agama Civil di Indonesia mungkin berbeda secara perinciannya dari yang ada di Amerika, namun esensi keduanya tetap sama, khususnya dalam hal pemenuhan kehidupan politik bangsa.
Kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Faktor penyebab pluralitas masyarakat Indonesia adalah keadaan geografis, yang merupakan faktor utama terciptanya pluralitas suku bangsa.
Indonesia terletak antara samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh pertama kali yang menyentuh masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu dan Bufdha dari India sejak 400 tahun sesudah Masehi.
Pengaruh agama Hindu, Buddha, Islam dan Kristen mempengaruhi kebudayaan Indonesia yang pluralistik. Pluralisme merupakan salah satu ciri dari multikulturalisme. Dua ciri lainnya ialah adanya cita-cita mengembangkan rasa kebangsaan yang sama dan kebanggaan untuk terus mempertahankan kebhinekaan itu.
***
Secara konstitusional, Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat multikultural. Faktanya, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, baik terkait dengan persoalan kebangsaan maupun keagamaan. Memerlukan tiga pilar utama untuk menuju masyarakat multikultural tersebut.
Editor: Nabhan