Perspektif

Peran Ulama, Kegelisahan Masyarakat, dan Mitigasi Covid-19

3 Mins read

Mungkin sebelumnya tidak pernah terpikir oleh kita bahwa putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik pusat atau daerah, terkait pandemi malah menambah kegelisahan di masyarakat. Bahkan bisa dibilang sejak Fatwa MUI Pusat dikeluarkan, kegelisahan tersebut terbilang sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda akan berujung pada ketegangan atau aksi pembangkangan. Lalu bagaimana peran ulama dalam mitigasi pandemi Covid-19 ini?

Peran Ulama

Aksi puluhan warga yang memaksa masuk di dua masjid di bilangan Martapura, yaitu Masjid Agung Al-Karomah dan Masjid Bani Ahdal, untuk melaksanakan salat Jumat. Terakhir kasus di Pare-Pare di mana masyarakat memaksa untuk melaksanakan salat Tarawih di langgar. Jamaah berusaha masuk hingga meloncati pagar adalah bukti paling sahih yang bisa kita lihat. Bahwa warga mengabaikan fatwa MUI dan anjuran para tokoh agama terkait panduan beribadah selama situasi pandemi.

Beberapa kegelisahan yang disuarakan lewat postingan atau cuitan di media sosial hingga di aplikasi berbagi pesan seperti WhatsApp.

Kekhawatiran masyarakat sudah memuncak sejak harus menghadapi beragam perubahan pola peribadatan. Mulai harus merelakan pelaksanaan salat Jumat hingga harus menjalani ibadah di bulan Ramadan tidak seperti biasanya.

Keadaan seperti ini tentu bukan perkara yang mudah bagi masyarakat Indonesia. Mengingat agama menempati posisi vital dalam kehidupan mereka selama ini.

Mitigasi Covid-19

Sepanjang pandemi Covid-19 di Indonesia, MUI Pusat minimal telah mengeluarkan dua ketentuan terkait dinamika keagamaan dalam situasi wabah. Pertama, fatwa yang dikeluarkan tanggal 16 Maret 2020, yang berisi beragam ketentuan hukum terkait penyelenggaran ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19. Selang satu bulan kemudian, MUI mengeluarkan taushiyah atau rekomendasi terkait ibadah Ramadhan dalam suasana pandemi virus corona.

Dalam dua beleid tersebut banyak tradisi dan ritual keagamaan yang dipaksa berubah dari kebiasaan selama ini. Seperti salat berjamaah, pelaksanaan salat Jumat, buka puasa bersama, salat Tarawih, salat Ied dan lain-lain. Nada serupa juga disuarakan oleh organisasi otoritatif seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU).

Baca Juga  Konsep Khilafah HTI Vs Konsep Khilafah Ahmadiyah

Respon masyarakat, terutama di media sosial, malah mengarah pada pembangkangan. Di antaranya sebagian masyarakat masih bersikukuh melaksanakan salat Jumat dan Tarawih dengan berbagai trik untuk mengelabui atau tidak menarik perhatian orang banyak. Seperti tidak menyalakan Toa Masjid, hanya melaksanakan, dan lain-lain.

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat yang masih gamang dan ragu menjalankan sepenuhnya putusan tersebut. Mereka melihat keputusan MUI tersebut masih sebagai opsi. Bukan sebagai panduan beribadah yang seharusnya terintegrasi dengan mitigasi dalam situasi pandemi seperti sekarang ini.

Sikap masyarakat tersebut tidak saja menyalakan alarm yang menandai adanya kekurangan dalam fatwa atau himbauan MUI, yang harus segera diperbaiki sebelum terjadi kembali aksi nekat lainnya. Masyarakat masih melihat beleid MUI sebagai opsi “menjauhkan” mereka dari masjid atau langgar, di mana hal tersebut dipandang tidak cukup solutif. Karena bagi mereka masih ada beragam opsi lain yang bisa ditempuh agar masyarakat bisa tetap beribadah seperti biasa di tengah situasi pandemi.

Kegelisahan Masyarakat

Kegelisahan masyarakat di masa pagebluk seperti sekarang ini tentu jawaban “mendekatkan” diri kepada Yang Maha Kuasa dianggap lebih bisa menenangkan mereka. Karena di saat yang bersamaan beragam kegelisahan seperti ketidakjelasan informasi terkait wabah, kesulitan ekonomi, kebosanan menjalani kehidupan di rumah, dan lain sebagainya juga menimpa masyarakat.

Saya melihat kegagalan masyarakat memahami niat MUI mengeluarkan beleid sebagai bagian dari mitigasi di masa pandemi, merupakan pangkal masalah dari beragam aksi nekat masyarakat tetap beribadah seperti biasa. Menimpakan kesalahan hanya kepada MUI atas kegagalan masyarakat memahami keputusan mereka mungkin sikap yang tergesa-gesa. Namun, kita juga tidak bisa mengabaikan peran vital ulama dalam kehidupan masyarakat terutama di tengah situasi pandemi ini.

Baca Juga  Toleransi Positif dan Negatif ala Peter L. Berger

Sebelum terjadi pandemi, keberagamaan masyarakat Indonesia telah mengalami banyak perubahan, terutama dalam pola dan proses transmisi pengetahuan keagamaan. Peran lembaga-lembaga otoritatif, seperti MUI, NU, Muhammadiyah dan kiai langgar, sedikit demi sedikit mulai tergerus perannya. Terutama terkait dengan kehadiran formula yang sebagian besar bersifat pribadi dan berpusat pada “diri-yang-mengonsumsi”.

Setiap pribadi memiliki indenpedensi dalam menentukan informasi yang diterima dan dikonsumsi. Hal ini di antaranya disebabkan pengaruh kehadiran media sosial dan digital di ranah agama.

Asef Bayat menyebut keberislaman seperti itu dengan istilah “Kesalehan Aktif”. Dia merujuk pada model keberislaman baru yang muncul di Mesir, di mana lembaga otoritas keagamaan seperti al-Azhar tidak lagi menjadi episentrum keberislaman masyarakat mesir, terutama yang di perkotaan. Otoritas keagamaan mulai tergantikan dengan kehadiran model dan aktor personal baru yang menghadirkan negosiasi antara identitas dengan berbagai model keberagamaan yang lain.

Greg Fealy menyebutkan muslim berlaku seperti klien yang memiliki kebebasan dalam memilih dari sekian banyak sumber-sumber yang telah tersedia di pasar. Dengan mengutip Roof (1999), Fealy juga menegaskan bahwa selera mereka lebih eklektik, dari fundamentalisme hingga kepercayaan metafisik.

Kesalehan Aktif

Dinamika kesalehan aktif tersebut yang dianggap berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap putusan MUI dan anjuran ulama. Arus informasi yang begitu pesat di masyarakat lewat media sosial dan aplikasi berbagi pesan seperti Facebook dan Whatsapp, menyediakan berbagai pendapat, dari afirmatif atau setuju hingga menolak, bisa dikonsumsi dan dipilih dengan bebas. Termasuk beragam anjuran, fatwa, dan panduan ulama terkait pandemi.

Selain itu, kelambanan pemerintah dalam merespon situasi termasuk memberikan informasi dan penjelasan komprehensif terkait Covid-19, juga berperan besar menjerumuskan masyarakat pada kegelisahan. Namun, kegamangan masyarakat dalam beribadah di masa pandemi harus diselesaikan dengan menghadirkan informasi terkait peribadatan yang komprehensif.

Baca Juga  Ateisme Menguat di Timur Tengah, Ada Apa Sebenarnya?

Kehadiran buku saku “Fikih Pandemi: Beribadah di Masa Wabah” yang digagas oleh Farid F. Saenong dan kawan-kawan bisa menjadi solusi cerdas, minimal bisa menghadirkan informasi yang jelas bagi masyarakat. Namun yang tak kalah penting adalah peran ustadz, kiai atau ulama di daerah.

Terutama yang di Langgar, Masjid atau Mushalla, harus bersatu dan bahu-membahu dalam menyuarakan, entah itu beleid MUI atau buku saku tersebut secara masif. Agar tidak sekedar menjadi pilihan model beribadah belaka, namun sekaligus dipahami sebagai bagian dari instrumen mitigasi pandemi.

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds