Perspektif

Kegalauan Hari Raya Idulfitri di Tengah Pandemi

4 Mins read

Hari Raya Idulfitri merupakan momentum hari besar Islam yang tidak dapat dilupakan. Bahkan saking istimewanya, kebahagiaan umat di hari tersebut tidak bisa ditukarkan dengan segala sesuatu yang berbentuk materi. Oleh karena itu, momentum Hari Raya Idulfitri lebih terasa jika dibandingkan dengan Hari Raya Idul Qurban ataupun hari-hari besar lainnya. Namun, kegalauan menyertai Hari Raya Idulfitri tahun ini.

Kegalauan Hari Raya Idulfitri

Hal tersebut dikarenakan pada hari itu kaum muslimin merayakan kemenangannya setelah sebulan penuh  khusyu’ menunaikan perang dengan segala bentuk ritual peribadatan yang telah disyari’atkan. Maka tak ayal jika kaum muslimin merayakan kemenangannya dengan penuh gembira, bahagia, dan suka cita.

Terlebih bagi masyarakat Indonesia, sudah menjadi tradisi budaya bagi sebagian orang untuk mudik melepas kerinduan kepada keluarga dan kampung halamannya. Tak hanya itu, kaum muslimin Indonesia pada umumnya melaksanakan silaturahmi dari satu rumah ke rumah yang lain untuk saling berminta maaf dan melepas kerinduan.

Akan tetapi, pada masa sekarang penduduk dunia telah dihebohkan oleh makhluk mikroskopis virus corona (Covid-19) yang diduga berasal dari salah satu pasar di Kota Wuhan, Tiongkok. Dikarenakan proses penyebarannya yang sangat masif, virus tersebut telah mewabah ke seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali di Indonesia yang telah dinyatakan oleh pemerintah sebagai pandemi.

Tidak hanya itu, saking ganasnya virus tersebut juga memakan banyak korban jiwa. Seperti yang dilansir di laman tirto.id, pada tanggal 4 Mei 2020, Kementerian Kesehatan mengonfirmasi jumlah data kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai angka 11.587 kasus. Hal ini merupakan fenomena yang tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang sepele.

Untuk itu, pemerintah bertindak cepat dan tegas mengatasi persebaran wabah tersebut dengan cara menganjurkan rakyatnya untuk senantiasa cuci tangan dengan sabun, melakukan physical distancing, bahkan sementara melarang perantau untuk tidak mudik ke kampung halamannya di Hari Raya Idulfitri tahun ini.

Baca Juga  Enggan Bertanya, Menutup Pintu Ilmu

Sebagai rakyat yang patuh, harusnya setiap WNI menaati semua protokol yang telah digariskan oleh pemerintah. Karena semua yang diupayakan oleh pemerintah pastinya memiliki nilai kebaikan yang diharapkannya. Meskipun harus diakui kegalauan terkait Hari Raya Idulftri tahun ini terjadi dalam masyarakat.

Hari Raya Idulfitri dan Perspektif Teologis

Masalah cukup serius yang terjadi pada saat ini terkait protokol penanganan persebaran wabah virus corona. Yaitu penetapan larangan mudik ke kampung halaman bagi sebagian orang yang hidup di kota perantauan. Inilah yang menyebabkan kegalauan Hari Raya Idulfitri tahun ini.

Masalah ini cukup menarik untuk dikaji secara lebih dalam dan luas lagi. Hal tersebut menimbulkan pro dan kontra di dalam ruang masyarakat, terkhusus kaum muslimin dalam menyikapi keputusan pemerintah ini.

Karena seperti yang diketahui bahwa ritual-ritual keagamaan sekaligus pernak-pernik budaya pada Hari Raya Idulfitri merupakan momen yang ditunggu oleh setiap kaum Muslimin. Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan dua pendekatan untuk membahas secara lebih luas lagi terkait masalah ini. Pendekatan yang digunakan yaitu melalui perspektif teologi dan perspektif sosiologi-antropologi.

Jika ditinjau dari perspektif teologi, maka ada riwayat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasanya Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْه   

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah SWT untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari dari padanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).

Baca Juga  Urgensi Pendidikan Kedesaan

Wabah Dulu dan Kini

Dari redaksi hadis tersebut dapat diketahui bahwa adanya wabah itu sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa peristiwa wabah bukanlah persoalan yang baru melainkan persoalan yang harus segera diselesaikan dan dituntaskan. Adanya keputusan pemerintah tentang adanya pelarangan mudik senada dengan bunyi hadis di atas.

Makna kata ‘negeri’ di atas bisa dipersempit maknanya menjadi kota bahkan sampai desa, jikalau wabah tersebut sudah sangat besar. Maka wajib bagi kaum Muslimin untuk membatasi dirinya dalam beraktivitas di luar rumah. Bahkan aktivitas ibadah juga harus dilaksanakan di rumah saja.

Terkait ini, bisa dikukuhkan dengan diberlakukannya Tafsir Maqashidi yang dikatakan oleh Prof. Abdul Mustaqim (salah seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) beliau mengatakan dalam kaidah tafsirnya

إذا تعارض بين حفظ الدين و حفظ النفس قدم حفظ النفس

Apabila terjadi pertentangan antara menjaga agama dan menjaga jiwa, maka menjaga jiwa harus didahulukan.

Dari kaidah tafsir di atas, penting kiranya untuk diketahui bahwa beribadah di rumah mesti digiatkan jikalau suatu daerah sudah mendapati zona merah. Selain itu, masih banyak lagi ayat al-Qur’an dan hadis yang membahas lebih spesifik terkait penanganan wabah.

Dari paparan di atas, penulis kira bahwa dengan ditiadakannya kegiatan mudik bukanlah menjadi persoalan yang harus diperdebatkan. Karena menahan sementara untuk tidak mudikanjuran tidak mudik yang telah ditetapkan oleh pemerintahmerupakan tindakan yang bernilai ibadah dan bernilai sosial yaitu menaati perintah Allah dan Rasul-Nya (Lihat Q.S an-Nisa’ (4); 59) serta mencegah sedini mungkin penyebaran wabah virus corona.

Perspektif Sosio-antropologis

Selanjutnya, jika dilihat dari perspektif sosiologi-antropologi, bermula dengan adanya pandemi virus corona yang pada akhirnya memunculkan keputusan pemerintah untuk tidak ada mudik di tahun ini, dapat dikatakan bahwa dinamika sosial pada masa ini mengalami kegalauan atau kepincangan yang cukup serius.

Baca Juga  Ilmu Sosial Otonom: Motor Penggerak Perubahan

Upaya-upaya penanganan wabah tersebut telah menghilangkan budaya-budaya kearifan lokal. Seperti tidak adanya gotong royong, pertemuan warga masyarakat, serta perkumpulan-perkumpulan yang melibatkan motif agama seperti salat jama’ah, pengajian, majelis shalawat, dan kegiatan keagamaan lainnya yang melibatkan masyarakat sosial.

Selain itu, adanya wabah juga berdampak pada ketidak-seimbangan laju ekonomi di negeri ini. Adanya pembatasan-pembatasan dalam bekerja membuat banyak masyarakat kehilangan pekerjaannya, banyak pegawai yang di-PHK oleh perusahaannya lantaran bangkrut, dan lain-lain. Ini menjadi PR penting buat pemerintah dan warganya untuk menyengkuyung bersama mengatasi kepincangan sosial ini.

Pada akhirnya, penulis berharap agar setiap tindakan dalam penanganan fenomena ini harus disertai dengan keilmuan. Karena dengan melibatkan ilmu tentunya akan mengantarkan kepada keselamatan yang sesungguhnya.

Dengan disertakannya ilmu, manusia tidak akan gegabah dan panik dalam menghadapi virus ini yang telah menjadi pandemi. Kegalauan Hari Raya Idulfitri pun dapat dicegah agar tidak terlalu berlarut-larut.

Editor: Nabhan

Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds