Perspektif

Beda Penanganan COVID-19, antara Malaysia dan Indonesia

5 Mins read

Virus Corona atau COVID-19 telah memasuki Malaysia pada akhir bulan Januari, tepatnya pada tanggal 23 Januari 2020. Kementerian Kesehatan Malaysia (KKM) telah menerima laporan bahwa virus tersebut dibawa oleh 3 turis asing  (2 turis di Sabah dan 1 turis di Selangor). 

Datuk Seri Dr Dzulkefly Ahmad yang saat itu sebagai Menteri Kesehatan Malaysia langsung bertindak cepat dengan melarang bepergian ke Tiongkok, memperketat lalu lintas masuk di pintu masuk Malaysia, dan melakukan repatriasi warga Malaysia yang berada di Hubei, Tiongkok. Selain itu, YDPA Sultan Abdullah Riayatuddin juga menyerukan agar semua masjid melakukan Salat Hajat pada 28 Januari 2020. Ihwal tersebut dilakukan hanya dalam kurun waktu 1 minggu sejak COVID-19 masuk ke Malaysia.

Dalam kurun waktu 4 bulan sejak bulan Januari hingga bulan Mei, pihak Kerajaan Malaysia terus melakukan langkah preventif, antisipatif, dan kuratif dalam melawan pandemi COVID-19. Peran pihak Kerajaan begitu menggembirakan sehingga mendapat apresiasi dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Kerajaan Malaysia dianggap mengerti, memahami, dan menguasai medan perang melawan pandemi COVID-19. 

Determinasi kekuasaan betul-betul digunakan secara efektif dan efisien. Sehingga data yang diperoleh begitu akurat, koordinasi antar lembaga pemerintahan juga teratur, tongkat komando langsung di bawah Perdana Menteri, dan kesadaran masyarakat begitu tinggi untuk melakukan physical distancing. Tidak heran bila dalam jangka waktu 4 bulan, Malaysia telah dianggap berhasil menekan angka penyebaran virus dan  membuat kurva COVID-19 menjadi lebih flat

Berbanding terbalik dengan Malaysia, Indonesia justru terlihat masih tertatih-tatih dalam menghadapi COVID-19. Layaknya seperti tubuh tua renta yang kelimpungan diterjang badai virus Corona yang melanda Tanah Air tercinta. Sampai-sampai pihak pemerintah meminta kita untuk ‘berdamai’ dengan COVID-19. Apakah ini pertanda pemerintah Indonesia menyerah dengan keadaan? Atau justru ada yang salah dengan kebijakan pemerintah Indonesia? Mungkin ada baiknya kita melihat negara tetangga yang boleh jadi satu langkah di depan Indonesia.

PKP, PKPD, dan PKPB

Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) menjadi senjata pamungkas bagi Malaysia untuk melawan COVID-19. Pihak Kerajaan Malaysia telah menetapkan PKP pada tanggal 18 Maret hingga 9 Juni 2020. PKP tersebut telah diperpanjang 4 kali menyesuaikan dengan kondisi. Perdana Menteri Malaysia, Tan Sri Muhyiddin Yassin, yang langsung mengumumkan kebijakan tersebut. Sinyal bahwa tongkat komando ada di tangan beliau. 

Tidak sampai di situ, PKP juga didukung dengan landasan hukum yang jelas, yakni Akta Pencegahan dan Pengawalan Penyakit Berjangkit 1988 dan Akta Polis 1967. Jika dilanggar, hukumannya 6 bulan penjara atau denda RM 1000 atau sekitar 3 juta rupiah. Pihak kepolisian dan tentara di Malaysia diterjunkan untuk mengawal kebijakan PKP.

Baca Juga  Guru Sesungguhnya, Guru di Masa Pandemi

Selama periode PKP tersebut berbagai aktivitas dilarang beroperasi. Anjuran untuk tetap di rumah dengan menjaga physical distancing betul-betul ditekankan. Seluruh kegiatan perdagangan, bisnis, perkantoran, penerbangan, ibadah, pendidikan ditutup sementara waktu. Hanya kantor pelayanan publik yang boleh beroperasi. 

Pasar dan restoran hanya boleh buka dari jam 8 pagi hingga 8 malam. Jika ingin membeli makan di restoran, maka syaratnya harus dibungkus (take away) dan tidak boleh makan di tempat (dine in). Bagi keluarga yang ingin membeli kebutuhan pokok di pasar atau supermarket, maka hanya 1 orang yang boleh keluar untuk setiap keluarga.

Sementara itu, pada tanggal 27 Maret 2020 pihak Kerajaan Malaysia menaikkan status PKP menjadi Perintah Kawalan Pergerakan Diperketat (PKPD). PKPD tersebut termasuk dalam lockdown penuh di mana beberapa wilayah yang masuk dalam kategori zona merah dikunci sementara waktu. Tidak diizinkan keluar masuk wilayah tersebut. 

Semua kebutuhan pokok dijamin oleh pihak Kerajaan selama periode PKPD yang berjalan selama 14 hari. Hal ini juga berlaku bagi mahasiswa yang tinggal di asrama kampus. Baik itu mahasiswa lokal maupun internasional, kebutuhan pokok kami dijamin oleh pihak Kerajaan. Ini mirip seperti kebijakan karantina wilayah di Indonesia meskipun tidak diterapkan.

Selama penerapan PKP dan PKPD tersebut hasilnya cukup signifikan. Hal ini juga didukung dengan rapid test besar-besaran di Malaysia. Sehingga memudahkan tracing dan tracking kepada orang yang diduga terkena COVID-19. 

Data yang diambil dari situs Worldometers (18/5), di Malaysia dengan total kasus 6,894  orang, 5,571 pasien sudah dinyatakan sembuh. Sinyal elemen ini menjadi petunjuk bahwa kebijakan yang dilakukan cukup berjalan efektif dan efisien. Hasil ini menjadi acuan bagi Kerajaan Malaysia untuk melonggarkan kebijakan PKP, utamanya dalam kegiatan perekonomian. 

Maka pada tanggal 1 Mei 2020, PM Malaysia, Tan Sri Muhyiddin Yassin mengumumkan berlakunya Perintah Kawalan Pergerakan Bersyarat (PKPB) untuk membuka kembali kegiatan perekonomian secara eksponensial. Kendati demikian, semua aktivitas harus mengimplementasikan standard operating procedure (SOP) yang telah ditetapkan oleh pihak Kerajaan. Misalnya, seorang pelanggan restoran yang datang untuk membeli makanan harus dicatat identitas diri beserta waktu dan tanggal kedatangan di restoran tersebut.

Baca Juga  Gejala Macetnya Kajian Keislaman di Indonesia

Paket Kebijakan Ekonomi

Kerajaan Malaysia juga membuat paket kebijakan ekonomi untuk menanggulangi pandemi COVID-19 dan detoksifikasi ekonomi pasca COVID-19. Disadur dari situs liputan6.com, Kerajaan Malaysia mengalokasikan RM 250 billion atau setara dengan 929 triliun rupiah untuk Bantuan Prihatin Nasional bagi rakyat Malaysia (asumsi RM 1 = Rp 3,178). 

Anggaran ini dimaksudkan untuk melawan COVID-19 dan merangsang kegiatan perniagaan bagi 36.2 juta penduduk Malaysia. Paket ini merupakan stimulus kedua yang diluncurkan PM Yassin. Pembagiannya, yakni 128 miliar ringgit untuk kesejahteraan masyarakat, 100 miliar ringgit untuk dukungan terhadap sektor bisnis, dan 2 miliar ringgit untuk memperkuat ekonomi nasional.

Di samping itu, tunjangan khusus juga akan diberikan kepada tenaga kesehatan, keamanan, imigrasi, bea cukai, dan lain-lain. Tunjangan untuk tenaga medis dan kesehatan sebesar RM 600 hingga pandemi berakhir. Selanjutnya, untuk pihak kepolisian, tentara, polisi, bea cukai, imigrasi sebesar RM 200. 

Bantuan lainnya mencakup internet gratis hingga akhir periode PKP, diskon pembayaran listrik, dan ada pembebasan sewa selama enam bulan untuk perumahan dan flat berbiaya rendah. Selain itu, ada pula bantuan langsung tunai RM 10 billion atau setara 32 triliun rupiah untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Malaysia dan Indonesia

Membandingkan kondisi di Malaysia dan Indonesia memang bukan pada posisi yang pas alias tidak apples to apples. Karena secara luas geografi dan demografi penduduknya begitu besar jika dibandingkan dengan Malaysia. Kendati demikian, kita sepatutnya tidak autarki atau menutup diri dari dunia luar. 

Ada berbagai hikmah yang dapat dipetik dari Negeri Jiran sebagai pembelajaran bagi Indonesia dalam menangani wabah COVID-19. Yakni soal good governance Kerajaan Malaysia dalam menanggulangi COVID-19. Meski belum usai, kita dapat melihat Kerajaan Malaysia mampu melahirkan telaga harapan, membasuh dahaga kekhawatiran, tindak-tanduknya mengagumkan dan menjadi oase di tengah kegelisahan masyarakat akibat wabah COVID-19.

Sementara itu, di Indonesia publik seringkali disuguhkan friksi dan misinformasi yang membuat situasi tidak kondusif. Pemerintah Indonesia tampak bingung dan bimbang seperti kehilangan elan vitalnya. Konflik kebijakan antar lembaga pemerintahan (inter-ministerial conflict) begitu terlihat nyata dari kacamata publik. 

Kebijakannya simpang siur, timbulnya sekonyong-konyong, sering kontradiktif, boleh jadi hari ini bilang ‘A’ besoknya sudah berubah menjadi ‘B’. Belum lagi banyaknya kepentingan terselubung (vested interest) yang memperlihatkan maksiat moralitas dan struktural terlihat eksis belakangan ini. Pengesahan RUU Minerba dan kenaikan iuran BPJS di tengah pandemi adalah salah satu contohnya.

Baca Juga  Konstitusi: Piranti Terciptanya Negara Demokratis

Tidak hanya itu, kesadaran masyarakat juga masih dirasa belum optimal. Masih banyak masyarakat yang cenderung meremehkan COVID-19 dengan berkumpul melebihi dua orang. Imbauan pemerintah mengenai physical distancing kerap dilupakan. Kejadian kontroversial momen penutupan gerai McD Sarinah merupakan hal yang ironis dan miris. 

Kelakuan generasi ‘ambyar’ tersebut merupakan tindakan konyol karena tidak mengindahkan imbauan pemerintah untuk tetap di rumah dan menjaga jarak. Selain itu, pada hari Kamis (14/5) juga terlihat antrean menumpuk di Bandara Soekarno-Hatta yang cenderung mengabaikan physical distancing. Kondisi tersebut memungkinkan penyebaran virus akan dibawa oleh para pemudik ke kampung halaman masing-masing. Mudah-mudahan saja tidak.

Sungguh berat jika membayangkan bagaimana kondisi Presiden Jokowi saat ini. Menghadapi masalah yang sungguh kompleks dengan lika-liku kerumitannya. Kendati demikian, secercah harapan itu diyakini pasti ada. Wabah COVID-19 sepatutnya menjadi momentum untuk menyatukan langkah kolektif untuk melawan virus tersebut. Tak perlu lagi menyalahkan satu sama lain. Rasa superioritas dan ego sektoral perlu diletakkan di atas kepentingan bersama. Pendekatan akomodatif-integratif harus digalakkan.  

Wabah COVID-19 ini menjadi ujian untuk mengetahui kualitas dari sebuah pemerintahan. Jika sebuah negara sanggup menangani COVID-19 dengan cukup efektif, boleh jadi pejabat pemerintahannya berkompeten. Sebaliknya, ketika banyaknya pertikaian, cibiran, hujatan yang menghiasi jagat diskursus publik, maka boleh jadi ada yang tidak sehat di lingkaran istana.

Dari Negeri Jiran kita bisa belajar bahwa melawan COVID-19 tidak dapat diselesaikan dengan nasi kucing, susu kuda liar, acuh terhadap imbauan pemerintah atau sekadar pasrah kepada Tuhan. Jawabannya tentu tidak. Bila negara lain mampu melawan COVID-19 tentunya Indonesia juga bisa melawannya. COVID-19 dapat diselesaikan dengan sistem, pola, metode, dan penanganan yang tepat dan akurat. Dan tidak kalah pentingnya adalah kesadaran masyarakat sebagai modal sosial yang memberikan andil besar dalam menanggulangi COVID-19.

Maka momentum Ramadan perlu menjadi pemantik semangat untuk berjihad sosial dalam melawan COVID-19 secara bersama-sama. Demi mewujudkan kebaikan masyarakat dan menolak kerugian yang lebih besar (Jalbu al-Mashalih wa Dar’ul al-Mafasid). Kita perlu syukuri setiap perkembangan yang terjadi, perbaiki kekurangannya, berikan urun angan dan lakukan turun tangan jika kita mampu. Akhir kata, semoga atmosfer kejiwaan selama satu bulan berpuasa akan melahirkan kemenangan bersama yakni Indonesia yang bebas virus. Semoga saja.

Editor: Arif

Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds