Karakteristik yang kedua dari Tafsir At-Tanwir adalah membangkitkan dinamika. Adapun yang dimaksud dengan membangkitkan dinamika adalah Tafsir At-Tanwir diharapkan urainnya (tafsirnya) tidak hanya sekedar menyajikan petunjuk-petunjuk kehidupan secara normatif, tetapi juga berisi gagasan-gagasan dan pikiran yang dapat menjadi inspirasi bertindak kepada pembacanya dan sumber motivasi berbuat dalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Dalam membangkitkan dinamika ini, menurut Syamsul Anwar, dimensi kedalaman ruhani, sensitivitas nurani, dan kesadaran kalbu yang dijalin dengan rasionalitas pemikiran menajadi titik sasar penting dalam kupasan tafsir (Tafsir At-Tanwir Juz 1, hlm. viii-ix).
Membangkitkan Dinamika
Jika dimensi kedalaman ruhani, sensitivitas nurani, dan kesadaran kalbu yang dijalin dengan rasionalitas pemikiran menajadi titik sasar penting dalam kupasan tafsir, maka peran pendekatan irfani dibutuhkan dalam Tafsir At-Tanwir. Hal inilah yang juga disinggung pada kata pengantar Tafsir At-Tanwir yang menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bayani, burhani dan irfani.
Namun sayangnya, nuansa dari pendekatan irfani ini masih belum begitu ketara dalam Tafsir At-Tanwir. Misalnya, ketika menafsirkan surat Al-Fatihah Tafsir At-Tanwir lebih menekankan kepada pendekatan bayani dan burhani.
Dalam Tafsir At-Tanwir surat Al-Fatihah ditafsirkan cukup panjang, yaitu 84 halaman. Namun jika dicermati lebih mendalam yang menjadi bahasan dalam surat Al-Fatihah ranah irfaninya belum begitu terlihat. Sub tema yang dimunculkan dalam menafsirkan surat Al-Fatihah diantaranya adalah masalah kedudukan surat Al-Fatihah, nama-nama surat Al-Fatihah, perdebatan mengenai jumlah ayat dan hukum membaca basmallah, kandungan pokok surat Al-Fatihah dan lain-lainnya.
Tema masalah keutamaan surat Al-Fatihah tidak menjadi perhatian mendalam dalam Tafsir At-Tanwir. Padahal keutamaan-keutamaan surat Al-Fatihah ini banyak disinggung oleh para mufasir, terutama tafsir bi al-Ray’i sekalipun, sebut saja misalnya Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. Terlebih pada tafsir-tafsir bi al-Matsur. Dalam penafsirannya, Tafsir At-Tanwir membagi penafsiran surat Al-Fatihah menjadi dua tema, yaitu tema Pandagan Hidup (tafsir ayat 1-4) dan Jalan Hidup (tafsir ayat 5-7).
Ketika menjelaskan tentang keutmaan surat Al-Fatihah hadis yang diukutip hanya dua, yaitu hadis riwayat Al-Bukhari dengan nomor hadis 4622 tentang keutmaan surat Al-Fatihah dan hadis riwayat Al-Bukhari dengan nomor hadis 714 tentang tidak ada salat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah.
Padahal banyak sekali hadis-hadis shahih tentang keutaman surat Al-Fatihah. Masih banyak dimensi lain dari surat Al-Fatihah yang bisa ditafsirkan dengan menyeimbangkan pendekatan bayani, burhani dan irfani. Sehingga nuansa spiritual dengan dimensi kedalaman ruhani, sensitivitas nurani, dan kesadaran kalbu yang dijalin dengan rasionalitas pemikiran akan lebih mewarnai.
Tafsir yang Membangkitkan Etos
Walaupun kemudian pendekatan irfani ini sedikit tampak dalam penafsiran yang mengusung etos ibadah yang akan lebih dikupas pada karakteristik membangkitakan etos dibawah nanti. Corak irfani dalam Tafsir at-Tanwir diakui oleh tim penulis memang belum begitu menonjol. Dalam Tafsir at-Tanwir yang lebih menonjol adalah pendekatan bayani dan burhaninya, khusunya pada Jilid 1. Namun demikian, untuk jilid-jilid betikutnya pendekatan irfani akan lebih diseimbangkan dengan pendekatan bayani dan burhani.
KarakteristikTafsir At-Tanwir yang ketiga adalah tafsir yang membangkitkan etos. Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar, menjelaskan bahwa, etos sangat perlu dalam mendorong kehidupan masyarakat dalam membangun diri dan melampaui ketertinggalan. Dalam Tafsir At-Tanwir ada empat etos yang dibangun, yaitu: etos ibadah, etos ekonomi dan etos kerja, etos sosial, dan etos keilmuan. (Bersambung)
Editor: Nabhan