Perspektif

Sejarah Sosial Puasa Ramadan

5 Mins read

Bisa kita bayangkan ketika berdiri di tengah gurun pasir yang gersang, dengan suhu di atas 45 derajat Celsius. Pasir yang terhampar begitu luas. Hampir-hampir, tidak ada tempat berteduh seperti pepohonan, dan sepertinya, tidak ada pula sungai yang mengalir. Panas terik berkepanjangan. Mungkin di antara rentang waktu siang hari (12 – 13 jam), gelombang panas matahari yang menyengat lebih dari lima jam. 

Itulah Mekkah. Ditambah bahwa, saat itu musim paceklik tengah tiba. Tidak ada makanan, minuman dan rasa aman. Bahkan seorang perompak yang kejam sekalipun, bisa dengan mudahnya tumbang digerogoti oleh alam yang begitu kuat dan perkasa. Ditambah bahwa, krisis sosial dan kemanusiaan tengah mengemuka sedemikian hebatnya. Demi memuaskan nafsu politik dan urusan bertahan hidup, manusia-manusia tega membunuh sesamanya.

***

Orang-orang nestapa di tengah musim yang serba rentan itu, menyebut apa yang mereka hadapi sebagai musim yang panas membara, kering kerontang dan membakar segala. Dalam lisan Arab, mereka mengenalnya sebagai ramad. Sekali lagi, tidak keliru jika musim itu disebut juga musim paceklik hebat. Pada saat itulah, tatkala kondisi hidup serba tidak menentu datang, maka mereka menyebutnya sebagai bulan Ramadan.

Di tengah situasi yang serba prihatin, gejolak sosial rawan sekali meledak. Pencurian, perampokan, penghisapan dan konflik kerap sekali terjadi. Terutama atas nama bertahan hidup. Orang-orang yang tidak mampu bercocok tanam, berkebun dan beternak, atau disebut kaum Badui-nomaden, biasanya terperosok dalam situasi peperangan. Perebutan sumber-sumber kehidupan juga terjadi di antara mereka yang menguasai pertanian, perdagangan dan politik.

Pada saat itu, ada tiga jenis kebudayaan utama yang mewakili tiga struktur kekuasaan. Pertama, kekuasaan ekonomi, dikuasai oleh kaum pedagang yang tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga dari negeri-negeri lainnya seperti Yunani, Afrika, Iran, India dan Cina. Kedua, kekuasaan politik, dikuasai oleh para bangsawan yang memimpin kaum-kaum nomaden tertentu. Yang paling terkenal adalah Quraisy. Sementara itu yang ketiga, adalah kekuasaan kultural, yang berada di bawah kendali para agamawan-intelektual.

Di lingkungan yang dihuni oleh jenis-jenis kebudayaan dan struktur kekuasaan yang demikian, ada hukum sosio-kultural yang berlaku. Yakni, siapa yang kuat, dialah yang menang. Bukanlah hal yang meragukan, apabila kaum nomaden pada akhirnya menguasai kekuasaan politik. Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, yakni kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan musim panas” (QS Quraisy 106: 1-2).

Baca Juga  70 Tahun Amin Abdullah: Filsuf Membumi dan Mencerahkan

Karena solidaritas yang kuat (ashabiyah), mereka mampu memimpin qabilah, yang terdiri dari sejumlah klan (qawm). Sementara itu setiap qawm, tersusun atas beberapa unit kelompok yang lebih kecil, yang disebut hayy. Hayy sendiri terdiri dari beberapa tenda, di mana di setiap tenda terdiri dari beberapa keluarga.

***

Dalam perkembangannya, kekuasaan politik mereka juga merambah wilayah ekonomi dan sosio-kultural. Bertahap tapi pasti, kehidupan ekonomi masyarakat sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan politik mereka. Bahkan di dalam al-Qur’an, pergerakan politik mereka cukup merepotkan, hingga Nabi Muhammad Saw., tak menghiraukan Ibnu Ummi Maktum (seorang Yahudi tuna netra yang hendak memasrahkan hidupnya untuk Islam) hanya karena situasi negosiasi politik yang sedang genting (QS Abasa ayat 5). Sementara persoalan keagamaan, lebih banyak berperan untuk melegitimasi kepentingan politik kelompok penguasa.

Pada sekitar pertengahan tahun 622 Masehi, perjuangan Nabi Muhammad Saw. mempertahankan keyakinan Islamnya tengah diuji secara bertubi-tubi. Pada saat itu, ujian-ujian yang ada, terutama yang datang dari kaum kafir Quraisy, sukunya sendiri, bukan sekedar berkenaan dengan masalah politik dan ekonomi. Namun, juga erat kaitannya dengan perkara ancaman terhadap jiwa. Intimidasi, teror dan kekerasan senantiasa datang menghantui.

Tepat pada September 622, sayup-sayup terdengar kabar mengagetkan: konspirasi pembunuhan Nabi Muhammad. Mendengar adanya kabar yang membahayakan ini, beliau diam-diam bersama dengan sahabatnya, Abu Bakar, lantas pergi meninggalkan kota Mekkah. Siang dan malam berganti, menemani perjalanan senyap Nabi dan para sahabatnya. Mereka menempuh sekitar 320 Kilometer ke arah utara dari ibu kota, dengan kondisi alam liar yang tidak bersahabat. Mereka menuju Yatsrib. Tidak semua kafilah mampu bertahan mengarungi gurun yang berbahaya sejauh itu. Tapi kali ini, mereka berhasil.

Hari demi hari terus berjalan. Nabi kali ini tidak hanya mempertahankan iman terhadap din al-salam (agama damai, kedamaian dan jalan keselamatan). Namun, sedikit demi sedikit, mulai memperkenalkan kepada khalayak ramai. Para pengikutnya pun, semakin banyak. Beliau terpilih secara alamiah sebagai pemimpin yang dipercaya. Solidaritas di antara pemeluk agama Islam ini, lambat laun semakin kokoh, seiring dengan bertambahnya kekuatan sosial yang terbangun.

***

Yastrib, kemudian, tidak hanya menjadi basis keagamaan umat Islam. Tapi juga sentral pembangunan kekuatan politik, sosial, ekonomi dan militer. Solidaritas kesukuan Arab, bertransformasi menjadi ikatan sosial yang lebih luas. Kaum Muslim Yatsrib yang memiliki berbagai latar belakang sosial dan kebudayaan, terikat oleh tali persaudaraan universal yang berdasarkan nilai-nilai luhur Islam. Karena kemajuan yang dicapai, maka Yatsrib kelak dikenal dengan istilah “kota Nabi” (Madinah al-Nabi).

Baca Juga  Covid-19 Vs Peran Masyarakat dan Himbauan Pemerintah

Detik demi detik menjadi jam. Jam berputar menjadi hari. Hari menjadi minggu dan kemudian menjadi bulan. Setahun setengah kemudian, perintah berpuasa Ramadan diperintahkan oleh Allah SWT. Ini tepat 18 bulan setelah Hijrah Nabi. Saat itu, Sya’ban, tahun kedua Hijriyah, bertepatan dengan 624 Masehi. Situasi di kota (Madinah) memang lebih kondusif. Tapi lumbung pangan sangat terbatas. Sementara itu, kekuatan musuh di Makkah jauh lebih tangguh dari yang dipikirkan.

Mendengar kabar bahwa Islam, agama Muhammad, berkembang pesat di utara, membuat para penguasa penjaga ka’bah gelisah. Mereka khawatir bahwa, dominasi ekonomi dan politik yang selama ini mereka miliki akan terenggut oleh popularitas Sang Nabi. Berbulan-bulan lamanya, kedengkian Quraisy terpupuk. Barisan militer dirapatkan dan sejumlah telik sandi disebarkan di Madinah untuk memantau situasi kaum Muslim.

Sementara itu, Nabi memprakirakan bahwa, dengan logistik yang serba terbatas, setiap jiwa hanya akan mendapatkan jatah sekali makan. Itu satu-satunya cara yang masuk akal untuk mempertahankan solidaritas komunal Ummah Madinah. Karena itulah, mereka berpuasa sejak fajar menyingsing hingga tergelincir terbuai senjakala di kala Magrib tiba.

Nabi menyebut puasa yang menahan hawa nafsu adalah jihad yang akbar. Bahkan lebih tinggi ketimbang jihad menghunuskan pedang di jantung musuh. Namun, jika memang harus berperang di kala bulan puasa yang begitu berat, mereka siap sedia mengorbankan segala-gala. Bagi kaum Muslim, justru dengan berpuasa, kekuatan mereka berlipat ganda.

***

Begitu menginjak hari yang ketujuhbelas di bulan Ramadan (bertepatan dengan 13 Maret 624), perang pecah. Pertarungan sengit antara kaum Muslim dengan kaum kafir Quraisy ini dikenal dengan ghazwah al-badr, yang berarti Perang Badar. Meskipun pasukan tempur Nabi hanya 313 orang, mereka adalah orang-orang yang terlatih, dari segi kemampuan, kecerdasan dan keimanan. Mereka harus melawan seribu petarung Makkah yang tersohor kejam, bengis dan terampil dalam memenggal kepala. Namun, hanya dalam waktu kurang dari dua jam, musuh kaum Muslim tumbang.

Meskipun menang perang dan harta rampasan yang diterima cukup besar, lumbung pangan Madinah, beresiko habis jika tidak dikendalikan dengan baik. Logistik perang tidaklah sedikit. Di samping itu, kemenangan sering membuat para tentara yang rindu pesta pora, limbung. Al-Qur’an menyeru kepada mereka dalam Surat al-Hasyr, “…agar supaya harta itu tidak hanya dikuasai oleh mereka kaum yang berkelebihan semata.” Pada menjelang akhir bulan Ramadan, perintah zakat ditetapkan sebagai kebijakan yang strategis. Zakat adalah pengaman sosial, yang memastikan distribusi ekonomi diterapkan secara adil dan beradab.

Baca Juga  Wakaf Muhammadiyah untuk Indonesia

Di dalam praktik zakat, dua setengah liter makanan pokok seperti kurma dan gandum, mungkin sejumlah 50% dari kekayaan masing-masing Muslim yang masih menyimpan persediaan makanan. Jadi, zakat fitrah yang dibagikan sebelum shalat Idul Fitri, merupakan pemberian sukarela sejumlah separuh dari kekayaan yang dimiliki. Dengan situasi krisis yang menimpa, kaum Muslim masih diwajibkan berbagi sebagian dari apa yang dimiliki, tentu bukanlah hal yang mudah. Keikhlasan selama jihad al-akbar, masih harus diuji dengan ujian akhir yang paling berat. Karena itulah, kitab suci menyeru kaum Muslim, “Berbagilah tatkala lapang maupun sempit.”

***

Tetapi kaum Muslim Madinah bukanlah kerumunan serakah. Mereka prihatin, berpuasa, menahan diri, berperang dan berzakat dalam rangka membersihkan noktah-noktah hitam yang masih tersisa di dalam dada mereka. Pada akhirnya, fakta sejarah membuktikan bahwa, setelah puasa Ramadan dan kemenangan Badar, kehidupan di Madinah semakin harmonis dan semarak. Islam tampil sebagai agama yang berkemajuan, karena mampu membangun peradaban melalui perbaikan moral dan spiritual masing-masing individu Muslim secara sistemik dan menyeluruh.

Enam tahun kemudian, masih dengan semangat spiritual yang sama, tepat pada tanggal 10 Ramadan tahun 8 Hijriyah (630 Masehi), Nabi Muhammad Saw., memimpin sepuluh ribu lebih pasukan militer yang terlatih dan sangat tangguh. Pasukan tempur yang disegani ini, bergerak dari Madinah menuju Makkah. Mereka menjalankan misi pengambil-alihan kota Makkah dari tangan para penguasa korup, otoritarian dan anarkis, ke tangan suci penerus agama hanif Nabi Ibrahim. Misi ini berjalan mulus tanpa halangan yang berarti, tanpa pula pertumpahan darah. Bagi Nabi Muhammad, penguasaan kota di tangan yang tepat, lebih menjamin perdamaian yang abadi. Inilah misi yang masyhur disebut dengan Fathu Makkah.

Akhirnya, puncak puasa Ramadan telah tercapai. Perdamaian dan dengan demikian, pembangunan peradaban termanifestasi melalui peristiwa “Pembebasan Kota Makkah.” Dan sesungguhnya mustahil hal ini dilakukan, kecuali diawali dengan pembangunan sosial kaum bertakwa melalui puasa. Al-Qur’an mengabarkan, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”

Editor: Yahya FR
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds