Perspektif

Nyethe, Budaya Ngopi Khas Tulungagung

4 Mins read

Tulungagung dan warung kopi (warkop) seakan tidak bisa dipisahkan. Seperti dua muka mata uang saja. Dan warung kopi ini beragam. Mulai dari diwarnai budaya nyethe, sekadar jualan kopi, sampai jualan pangkon. Jualan kopinya sekunder saja.

Kopi dan ngopi jadi gaya hidup sendiri. Orang Tulungagung nggak ngopi bisa disebut bukan orang Tulungagung. Mbedani dewe karo liyane. Itu mungkin ungkapan yang tepat.

Nyethe

Di balik pengunjung warung kopi yang begitu beragam latar belakang, ada hal yang unik untuk dicermati. Di mana belum tentu sama dengan yang dilakukan oleh daerah lain. Kebiasaan pengunjung yang belum tentu sama ini, menunjukkan kekhasan satu daerah ke daerah yang lain.

Pengunjung warung kopi disini ada yang suka mengolesi atau membatik rokok dengan ampas kopi. Kemudian ada kesepakatan tak resmi menyebut dengan nyethe. Apakah daerah lain tidak ada? Mungkin ada mungkin juga tidak. Kalau ada tentu tidak akan menyebut dengan nama nyethe.

Nyethe berasal dari kata cethe. Cethe sendiri bermakna ampas kopi. Sedang nyethe perbuatannya. Alat untuk membatik bisa bermacam-macam. Ada batang korek, ujung sendok hingga modal celup-celup saja. Kayak batang rokok mandi hitam ampas kopi.

Nyethe dan warkop jadi sebuah identitas baru. Semua kalangan bisa masuk dan santai dengan kopi. Dan akhirnya dilanjutkan dengan nyethe.

Penyeimbang Stigma Negatif

Tulungagung yang merupakan sebuah kabupaten bagian dari Provinsi Jawa Timur memiliki warkop berjumlah ribuan. Data pada tahun 2009 mencapai 1.700 unit tersebar di sembilan belas kecamatan. Satu tahun kemudian, 2010 melonjak tajam hingga 7.000 unit. Tahun lalu saja sudah mencapai 30.000 unit. Dulu setiap desa hanya dua hingga tiga warkop. Sekarang satu desa bisa lima belas sampai dua puluh warkop.

Baca Juga  Posisi Pancasila dan Agama dalam Negara

Dari sekian banyak warkop tersebut, pelayanan hampir merata. Baik dari jenis kopi dan desain tempat. Kopi ijo yang jadi primadona. Kopi ini terbuat dari butiran gula dan sedikit campuran kacang hijau yang telah dihaluskan. Dari warna cenderung hijau dan rasanya lebih khas. Selain kopi ijo, ada juga kopi murni. Kopi hitam tanpa campuran apapun.

Semakin ketat persaingan warkop, bagi mereka yang tidak sabaran kemudian mencari jalan pintas dengan menyediakan jasa plus-plus. Sering disebut dengan kopi pangkon. Warung kopi yang menyediakan purel untuk jasa pelayanan kelamin. Di warkopnya sekedar dipangku, tapi eksekusi bisa dilakukan di hotel atau penginapan. Ini bisa menimbulkan permasalahan tersendiri bagi sebagian masyarakat yang cenderung agamis.

Terlepas dari sisi negatif yang tidak bisa ditolak tersebut, nyethe menjadi penyeimbang. Bahkan ada komunitas sampai melakukan lomba untuk desain dari nyethe itu sendiri. Misal pada tahun 2006, Pemerintah Kabupaten Tulungagung menyelenggarakan kegiatan “Lomba Nyethe” dengan peserta lebih dari 2000 orang. Tahun 2012 juga lebih banyak lagi.

Belum lagi dari komunitas pecinta kopi mengadakan serupa secara sporadis. Bahkan ketika ada agenda politik lima tahunan nyethe bareng menjadi agenda yang tidak luput dari kegiatan untuk menggalang massa. Dan masyarakat asyik saja siapapun kontestan yang mengadakan tetap ramai. Nyethe ini tidak milik kaum adam saja, kaum hawa pun tidak ketinggalan.

Modal yang Menggerakkan

Pierre Bourdien (2009) dalam teori strukturalis genetis mengemukakan dialektika habitus dengan ranah kemudian modal sehingga menciptakan praktik sosial. Hubungan habitus, ranah dan modal berkaitan langsung dan bertujuan menerangkan praktik sosial. Karakteristik modal dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan serta ranah selaku tempat beroperasinya modal.

Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian pola yang diinternalisasikan dengan yang mereka gunakan untuk merasa, mengguna, menyadari dan menilai dunia (Khusna dan Sudrajad, 2012)

Baca Juga  Rakry-Indy Dalam Belantara Media Sosial

Ruang sosial mengacu pada seluruh konsepsi tentang dunia sosial. Konsepsi ini memandang realitas sosial sebagai sebuah tipologi. Dalam hal ini ruang sosial dikonsepsikan sebagai ranah yang memiliki hubungan dari satu titik ke titik yang lain. Bagi Bourdien, modal berperan sebagai pertukaran bersifat material maupun simbol. Modal sendiri menjadi barang mutlak yang ada sehingga ranah bisa memiliki arti (Harker, 2009).

Nyethe dan warkop sebuah ranah yang bisa berati setelah adanya modal yang menggerakkan mereka. Aktivitas ngopi ini muncul dari penikmat kopi yang rela berjam-jam mengeluarkan modal waktu dan tentu saja uang. Jika diakumulasikan tentu bukan barang yang sedikit. Apakah mereka menyadari ini? Tidak penting rasanya.

Mereka akan terus menikmati kopi panas secangkir, mengambil ampas kopi ditaruh di lepek, mengoles batang rokok dengan ampas tadi. Yang memiliki kemampuan melukis, akan melukis dengan batang korek membentuk rupa tertentu. Hampir mirip dengan kegiatan membatik dengan canthing. Ada yang berbentuk motif bunga, garis dan hewan tertentu. Kemudian mendiamkan sejenak beberapa batang rokok. Agar aroma kopi dan rasa meresap ke tembakau pada rokok.

Gambaran Tulungagung

Pesta asap yang memenuhi ruangan adalah kebanggaan tersendiri. Disambut dengan sebelahnya dan sebelahnya. Sehingga ruangan seperti diasapi oleh pengasapan nyamuk. Pekat namun yang ini aroma kopi yang berdesakan di hidung. Bagi mereka yang tidak merokok memang menjadi siksaan tersendiri.

Kehadiran habitus nyethe pengaruhnya dari berbagai arah. Pengaruh keluarga, teman dan lingkungan itu sendiri. Mereka yang bisa nyangkruk ngopi dengan modal waktu yang lama, begitu musykil jika tidak tertular kebiasaan nyethe ini. Kadang dalam aktifitas ngopi ini mereka bisa tidak sadar membatik rokoknya. Begitu terbiasa mereka melakukan itu.

Baca Juga  Aktivisme dalam Al-Qur'an

Budaya minum kopi dengan nama khas ini memiliki gambaran tersendiri tentang Tulungagung dan manusianya. Dimana tidak bisa disamakan dengan manusia Surabaya, manusia Bali, manusia Jogja atau manusia dari tempat manapun. Manusia Tulungagung manusia yang mampu melepas kepenatan hidup dengan secangkir kopi. Kepenatan ini bukan bahasa sederhana. Bukan sekedar urusan pekerjaan dan uang saja.

Kalau mengukur uang saja, Tulungagung yang masih teranggap daerah kecil, uang yang masuk tidaklah kecil. Dari TKI dan TKW saja tiap tahun ada uang masuk 1 triliun per tahun. Dari pasir sungai Brantas saja mencapai 700 juta perhari, sebulan mencapai 210 miliar. Belum lagi dari marmer yang mencapai puluhan miliar tiap bulan.

***

Jika uang sebagai penghilang penat, seharusnya kasus cerai, kendat, narkoba, perselingkuhan dan kriminalitas sudah tertekan tersendiri. Namun yang ada jika diamati kasus-kasus tersebut tetap ada dan trennya naik cuman variasi kasus yang berbeda.

Penat yang dimiliki orang Tulungagung lebih dalam sekedar materi. Seakan ada ruang kosong yang perlu diisi oleh mereka. Dan jatuh pilihan kepada hitamnya kopi untuk mengisi ruang kosong tersebut. Seakan ada ayat yang dibaca dan masuk dari butiran halus yang pahit tersebut.

Apakah ini  disengaja atau tidak sengaja? Entahlah. Hanya, mereka yang menghayati dunia kopi dan nyethe hidupnya lebih santai dan tenang. Tidak terlalu menuntut kesempurnaan meski sisi materialistis ada.

Kopi, warkop, dan nyethe sebuah identitas yang meningkat kepada ruang spiritual bagi manusia Tulungagung. Sumber kebahagiaan dan ketentraman jika berlama-lama mengakrabi ruang spiritual yang satu ini.

Semoga bermanfaat.

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds