Setiap orang pasti hidup dalam bayang-bayang kenangan masa lalunya, pahit, atau manis. Mereka tidak akan bisa melepaskan diri dari pengaruh masa lalu yang telah membentuk hidupnya kini dan untuk hari depannya. Namun barangkali hanya sedikit saja yang mampu menyimpan dokumen atau bukti fisik sejarah hidupnya dengan baik dan rapi. Buya Syafii Maarif adalah bagian dari yang sedikit itu, meskipun ada saja dokumen yang terserak hingga hilang entah ke mana karena satu dan lain hal, termasuk dokumen Buya Syafii yang sebagian tidak bisa diselamatkan akibat banjir saat tinggal di Solo beberapa dasawarsa yang silam.
Pada Senin, 25 Mei 2020, Buya Syafii melalui pesan WA mengabarkan kepada saya bahwa ia menemukan dokumen tulisan tangannya sendiri saat masih siswa kelas V Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, atau setara dengan kelas XI SMA saat ini. Walaupun saat itu adalah kelas akhir bagi Buya dan kawan-kawan sekelasnya, mereka belum langsung dinyatakan lulus karena tahun ajaran berikutnya masih harus menjalani program Anak Panah selama setahun yang disebar ke seluruh pelosok Nusantara. Ada yang dikirim ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya, sedangkan Buya Syafii dikirim ke Lombok, NTB.
Rajin Mencatat dan Pandai Berpidato
Jangankan saya, Buya sendiri merasa kaget saat menemukan dokumen berupa tiga buah buku catatan dalam kurun 1954-1970. Dalam pengakuannya, Buya baru menyadari bahwa ia dulu sejak saat masih siswa telah rajin mencatat, baik saat pelajaran, pengajian, maupun rapat organisasi (saat di Mu’allimin, Buya Syafii aktif sebagai pengurus Sinar Kaum Muhammadiyah atau SKM, Hizbul Wathan, dan Redaktur Majalah Sinar).
“Rik, sy menemukan dokumen ini, nostalgia.” Kata Buya sambil menunjukan foto sebuah buku tulis beserta goresan pena yang tersusun apik dan rapi. Seusia anak sekolah SMA tulisannya seindah itu. Kami sempat berkomunikasi melalui telepon membahas dokumen ini.
“Buya ketika itu tulisannya kok sudah bagus banget, rapi, dan tegak bersambung lagi? Seperti tulisan bapak ibu guru atau orang-orang tua.” Tanyaku.
“Waktu itu kami diajari menulis begitu. Ada pelajarannya di kelas.” Jawab Buya.
Di samping format tulisan yang indah, bahasa yang digunakan oleh Buya juga tidak jamak digunakan oleh anak-anak seusianya hari ini atau tiga-empat windu ke belakang yang cenderung gaul, kalau pun menggunakan bahasa yang baku cenderung kaku. Namun di era itu, seorang Syafii muda seusia anak SMA telah menggunakan bahasa baku namun terasa luwes sekaligus memuat bahasa majas dan peribahasa.
***
Contoh kalimat dalam catatan itu perlu ditampilkan di sini:
“Djangan (…) sewaktu ketjil kita dididik dalam Muhammadijah tapi kemudian setelah kita dilepas sepandjang tali, telah mendjadi pegawai tinggi, atau lebih tegas lagi telah mendjadi buruh republik, kita melupakan Muhammadijah, kalau (…) dan sambil lalu sadja kepada Muhammadijah. Sebab hal demikian sering terdjadi dalam kehidupan manusia, setelah puas lupa katjang pada kulitnya, seakan-akan bukan itu kulitnya jang membungkusnja semenjak ketjil: Tapi saja berdjanji tidak (…) akan bersikap demikian.”
Maksud dari tanda (…) di atas adalah kata atau beberapa kata yang belum bisa terbaca secara pasti.
Perlu menjadi catatan tambahan di sini bahwa meskipun Syafii muda ketika itu masih kelas V Mu’allimin, batang usianya sudah berkisar 20 tahun. Contoh kalimat di atas adalah saduran dari teks pidato Syafii muda saat perkenalan (orientasi) di depan siswa baru pada 5 September 1955 dalam suasana Pemilihan Umum 1955. Sedangkan Buya lahir pada 31 Mei 1935.
“Apakah Buya saat itu selaku Ketua SKM hingga mewakili siswa tingkat akhir untuk berpidato di depan siswa baru?” Tanyaku penasaran.
“Saya memang pengurus SKM, tapi bukan ketua, mungkin ketuanya Saibani.” Jawabnya.
“Lalu mengapa Buya yang berpidato?” Tanyaku lagi.
“Ada adagium begini: Perang-Aceh, Kuasa-Jawa, Cakap-Minang.” Jawab Buya sambil berseloroh.
Menghadiri Pidato M Natsir di Mu’allimaat
Di samping teks pidatonya yang ditulis dalam tiga halaman buku catatan itu, Buya Syafii juga menemukan catatannya saat menghadiri pidato M Natsir di gedung Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta pada Ahad malam, 9 Oktober 1955. Saat itu, Syafii muda sudah kelas V Mu’allimin. Ia datang ke Mu’allimaat bersama dengan kawan seasrama, Saibani namanya, si Ketua SKM.
“Hah, ini catatan saat Buya msh siswa di Mu’allimin?” Tanyaku dengan penasaran sekaligus kagum karena dokumen itu masih tersimpan dengan baik hingga kini.
“Ya, ternyata dulu (saya) rajin mencatat. Baca itu intisari pidato Pak Natsir di Mu’allimaat. Dari asrama yang hadir: Saibani dan saya. Hebat, kan? Dlm kampanye Pemilu 1955.” Jawab Buya.
“Waktu itu Buya di asrama yg mana?” Tanyaku lagi.
“Asrama belakang madrasah. Saibani dari Bantul, pemain sepak bola. Terakhir, jika tak salah jadi pegawai KUA Bantul, coba kontak Murdiyo.” Jawabnya lagi.
Saat itu, Buya sedang gila-gilaan dengan Partai Masyumi. Ia sampai turut kampanye Pemilu 1955 ke daerah Bantul untuk kemenangan Masyumi. Meskipun setelah studi di Amerika ia pun mengritiknya, tapi baginya partai ini, dibandingkan dengan partai lainnya di Indonesia, nyaris tidak ada tandingannya secara tatanan moral politik. Buya juga menyebutnya sebagai partai yang gigih membela sistem demokrasi dan konstitusi hingga akhirnya partai ini pun dibubarkan dalam proses pembelaannya itu. (baca juga di Memoar Anak Kampung)
Berikut di antara poin-poin salinan tulisan tangan Syafii muda saat menghadiri pidato M Natsir di gedung Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta pada Ahad malam, 9 Oktober 1955 yang dipimpin oleh Pak S. Mangunpuspito:
“Tjarilah kekuatan dalam kelemahan, ramah tamahlah terhadap manusia, kalau ingin menangis, menangislah dalam kamar sendiri atau merataplah dalam hati, tapi kepada orang lain sekali djangan ditampakkan. Perlihatkanlah wajah gembira terhadap orang lain, walaupun dalam hati tersimpan ratap dan tangisan.”
***
Kalau kita lihat, Syafii muda saat menghadiri pidato M Natsir pada 9 Oktober 1955 dan keikutsertaannya dalam kampanye Masyumi di daerah Bantul pada tahun 1955 menjadi bukti sejarah hidupnya bahwa ia sangat mengidolakan partai ini yang Muhammadiyah pun menjadi anggota istimewanya. Apalagi partai ini memang didirikan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pun saat menghadiri pidato M Natsir yang memang berasal dari ranah Minang, sama dengan asal Buya Syafii, hanya beda kabupaten.
Dalam pidatonya di depan para siswa baru sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Syafii muda secara terang-terangan mengajak untuk memenangkan Masyumi ini dalam kancah Pemilihan Umum tahun 1955. Berikut sebagian teks pidato itu:
“Kita Umat Islam akan menghadapi suatu peristiwa jang menentukan nasib dan tentang kita di kemudian hari. Atau boleh djuga kita sebut kita umat Islam sedang menghadapi perlombaan ideologis dengan permainan jang tidak sehaluan hidup dengan kita. Siapa jang menang nanti itulah jang akan mengemudikan Negara Indonesia ke arah jang sesuai dengan tjita-tjita dan pandangan hidup mereka. Tapi mudah-mudahan saudara, kemenangan itu akan digondol Umat Islam, terutama Masjumi jang Muhammadijah mendjadi anggota istimewanja dan peladjar Mu’allimin mendjadi anak emasnja jang akan melandjutkan perdjuangan Muhammadijah.”
Selain berasal dari kultur Minang yang menjunjung tinggi nilai agama Islam dengan filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, tampaknya Syafii muda yang ngefans berat pada Masyumi ketika itu juga dipengaruhi lingkungan madrasah dan guru-gurunya. Saat Partai Masyumi didirikan di Mu’allimin pada 7 November 1945, banyak pula Pimpinan Persyarikatan yang menjadi pengurus partai ini.
***
Terbentuknya Partai Masyumi adalah salah satu hasil keputusan penting dalam Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945 di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Karena saat itu Umat Islam tidak memiliki partai politik lain selain Masyumi ini, maka ia mendapatkan dukungan yang luar biasa hingga mendapatkan hasil yang gemilang.
Saya sampaikan kepada Buya Syafii bahwa dokumen yang baru saja ditemukan ini pada saatnya nanti akan menjadi koleksi PUSDALITBANG Suara Muhammadiyah atau Museum Muhammadiyah yang penting dan berharga, khususnya bagi mereka yang ingin belajar tentang pengalaman hidup seorang Buya Syafii Maarif saat masih siswa di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Akhirnya, saya sampaikan selamat ulang tahun kepada Buya Syafii Maarif yang ke 85 pada 31 Mei 2020 ini. Semoga Buya diberi panjang umur, kesehatan, kebahagiaan, dan keberkahan. Saya sangat bersyukur bisa sedekat ini dengan Buya, satu hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Buya adalah ibarat oase bagi keindonesiaan dan kemanusiaan yang lahir dari rahim Muhammadiyah.