FeaturePerspektif

Perempuan, Pengetahuan, dan Peradaban

3 Mins read

Hervina Emzulia

Mau bilang apa. Kita sudah terlanjur bergabung menjadi anggota masyarakat sosial media. Peradaban kita sudah terlanjur turut larut dalam peradaban sosial media. Selamat datang di era baru: era dimana membaca timeline adalah kebutuhan, dan menyimak status adalah keharusan. Selamat datang di peradaban sosial media.

Tom Nichols (2017) menulis buku berjudul The Death of Expertise yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Matinya Kepakaran: Perlawanan Terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya. Di buku itu, sebagai pembuka, Nichols mengemukakan kegelisahannya terkait informasi dan pengetahuan di negaranya: Amerika.

Nichols memotret itu secara gamblang: hidup di era informasi seperti saat ini, justru malah banyak melahirkan apa yang ia sebut ignorance—kedunguan. Celakanya, situasi itu rupanya juga terjadi di Indonesia: dengan memperhatikan banyak faktor. Kita, sudah telanjur hidup di era informasi itu, dan—barangkali—kita juga terjebak pada kedunguan. Secara berjamaah.

Nichols melanjutkan. Masyarakat sudah tidak pernah menganggap penting adanya akademia di kampus-kampus dan merasa tak perlu belajar kepada mereka. Sebab, ada perasaan mereka telah mengetahuinya melalui internet. Dalam bidang agama, misalnya. Lihatlah sekeliling. Barangkali kita acap menemui: orang yang tidak pernah—secara serius dan formal belajar agama, namun tiba-tiba menjadi ahli debat soal fiqih dan tafsir Al-Qur’an, misalnya. Dan tahukah, ternyata, ia pelajari itu semua dari medsos. Dari Google. Jadilah ia: ustadz Google.

Matinya kepakaran merupakan awal mula matinya pengetahuan. Awal mula matinya peradaban. Era sosial media membuat hampir setiap orang bisa bicara tentang apa saja—bahkan mengenai persoalan yang, sama sekali ia tak dimengerti. Sehingga kemudian, minta tolonglah ia ke mahasumber itu: Google.

Baca Juga  6 Resep Menghilangkan Kesedihan

Kepakaran nyaris dapat dibenamkan oleh hanya sekadar status Whatsapp ataupun Instastory. Pada titik itu, status Whatsapp bisa menjadikan pembuatnya dianggap expert di bidang tersebut. Instastory dapat menciptakan—semacam—self imaging bagi pemiliknya. Padahal seluruhnya hasil copy-paste (baca saja: pasti kopi).

Baru-baru ini, FinanceOnline melakukan riset, yang sumber utama datanya diambil dari PEW, Nielsen, dan Burst Media. Tidak perlu kaget: perempuan ternyata lebih sering menggunakan media sosial dibandingkan laki-laki. Platform yang populer bagi kaum hawa ini adalah Facebook, Pinterest, Instagram, dan Twitter. Pinterest menjadi sosial media yang paling banyak digandrungi perempuan. Dalam riset itu, 33 persen perempuan usia dewasa menggunakan platform ini, sedangkan laki-laki hanya 8 persen.

Namun saat berbicara LinkedIn, situs berbagi dokumen ilmiah, kenyataannya berbeda 180 derajat. Jumlah perempuan sebagai pengguna sosial media ini sekitar 19 persen, sedangkan laki-laki 24 persen. Tetapi, ada yang lebih menarik lagi dari riset itu, perempuan ternyata lebih sering mengakses sosial media melalui perangkat mobile. Sebanyak 46 persen perempuan menggunakan smartphone untuk mengecek atau melakukan beragam aktivitas di sosial media. Sementara, hanya 43 persen laki-laki menggunakan smartphone untuk berinteraksi di sosial media.

Hal yang sama juga berlaku untuk penggunaan tablet, yakni perempuan yang mendominasi. Jumlah persentase pengakses sosial media dari tablet antara perempuan dan laki-laki adalah 32 berbanding 20 persen. Selain untuk bersosialisasi, sosial media juga dijadikan sebagai sumber berita. Sejumlah 58 persen perempuan mencari berita melalui jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Sisanya, 43 persen, laki-laki mengakses berita dari situs berita langsung atau newsfeed.

Data ini seolah langsung berbicara: perempuanlah sesungguhnya “penguasa” sosial media. Dengan kata lain, lalu lintas sosial media kita, mayoritas dijejali oleh lalu-lalang perempuan. Setidak-tidaknya, yang sering swafoto manyun-dengan-tubuh-dimiring-miringkan biasanya adalah para perempuan. Dan, jenis foto yang seperti itu, yang, biasanya acap menghiasi timeline sosial media kita.

Baca Juga  Jangan Shalat di Masjid, Ada Corona!

Sebenarnya, hal ini dapat dilihat sebagai (semacam) bekal jika perempuan ingin turut serta memperbaiki peradaban—bahkan menciptakan peradaban. Perempuan sebagai ibu sangat berpeluang untuk menciptakan peradaban unggul, melalui generasi unggul yang mereka lahirkan. Perempuanlah pihak utama yang—disadari atau tidak—adalah sosok yang paling menentukan kemana arah peradaban umat manusia ini akan berjalan dan dijalankan. Peran perempuan tak bisa dipandang sebelah mata.

Sudah sejak lama kita membaca lembar sejarah: betapa uletnya Khadijah. Betapa cerdasnya Aisyah. Yang perannya dikenang oleh sejarah. Menjadi salah satu sumber kekuatan terbesar Rasulullah. Atau, kemerdekaan Indonesia dapat diraih salah satunya atas peran para pahlawan perempuan.

Betapa kesatrianya HR Rasuna Said, juga Cut Nyak Dien. Dan, betapa amat visionernya pandangan RA Kartini, juga Dewi Sartika. Mengajak perempuan Indonesia keluar dari kegelapan. Menuju cahaya. Artinya, perempuan sejak dahulu telah dicatat sejarah: mereka memiliki kontribusi yang tak kecil untuk tegaknya pengetahuan dan peradaban.

Maka, dengan alasan apa lagi untuk mengelak dari sejarah. Saat ini, media dan bahan bacaan tidak kurang-kurang: semuanya melimpah. Sumber literatur kini tumpah ruah, di mana saja, dari mana saja. Bahkan, di rumah sambil tiduran, kita bisa memeroleh ilmu dengan ikut kajian daring, misalnya. Apakah kita tidak ingin turut ambil bagian menegakkan peradaban?

*Penulis adalah Ketua Departemen Kader Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds